Jumat, 08 Agustus 2025
Term of Use Media Guidelines

Nyi Iteung & Teater Angka: Dialog tentang Kepercayaan dan Kebohongan Data Ekonomi (1)

Pertumbuhan ekonomi itu seperti kue yang membesar. Tapi kue yang lebih besar tidak otomatis artinya semua orang kebagian potongan yang lebih besar. Yang penting ke depan, manfaat pertumbuhan harus lebih merata. Pertumbuhan tanpa pemerataan itu tidak berkelanjutan.

By
in Social Podium on
Nyi Iteung & Teater Angka: Dialog tentang Kepercayaan dan Kebohongan Data Ekonomi (1)
Ilustrasi mengenai data dan polemik yang menyertainya. (Sumber: fotor.ai)

GWS

Oleh GWS, lulusan Institut Teknologi Bandung (ITB) yang pernah didapuk menjadi direktur utama sebuah BUMN dan kini memimpin sebuah perusahaan teknologi. Aktif menuangkan tulisan dan pemikirannya tentang isu keindonesiaan, kebangsaan, dan kemajuan negara, meski dengan nama samaran.

Di ruang konferensi pers yang megah di Gedung Badan Pusat Statistik (BPS) Jakarta, berlangsunglah salah satu pertunjukan paling menarik dalam sejarah ekonomi Indonesia modern.

Bukan karena angka-angkanya—meski 5,12% memang mengejutkan—melainkan karena sosok yang duduk di kursi panas:

Dr. Iteung Suryani, ekonom lulusan Harvard yang berbicara dengan aksen Sunda yang kental, membela data kontroversial BPS dengan gaya yang unik—setengah profesor, setengah tukang cerita di saung.

"Dangukeun," katanya membuka sesi yang sudah ditunggu-tunggu itu, "saya tahu kalian semua sudah siap-siap mau menyerang angka 5,12% ini. Saya persilakan."

"Di Harvard dulu, profesor saya bilang: 'If you can't defend your thesis from attacks, then it's not worth defending.' Nah, hari ini tesis saya adalah: angka ini benar, caranya sudah tepat, dan keraguan kalian—meski berharga—perlu konteks yang lebih dalam."

Pernyataan pembuka yang percaya diri, namun disampaikan dengan kerendahan hati khas Sunda.

Inilah Nyi Iteung—sosok yang merepresentasikan paradoks Indonesia kontemporer: tradisional tapi modern, lokal tapi global, sederhana dalam penyampaian tapi canggih dalam substansi.

Pertanyaan pertama datang dari Dr. Bhima Yudhistira, ekonom CELIOS yang skeptis.

"Dr. Iteung, bagaimana menjelaskan PMI manufaktur kita konsisten di bawah 50 selama April-Juni—46,7 di April, 47,4 di Mei, 46,9 di Juni—tapi BPS klaim industri pengolahan tumbuh 5,68%? Ini kontradiksi yang mendasar."

Nyi Iteung tersenyum.

Ketika Angka Menjadi Teater

"Kang Bhima, pertanyaan yang bagus. Ini mengingatkan saya pada dongeng Sufi tentang enam orang buta yang meraba gajah. Yang satu bilang gajah itu seperti tembok karena meraba badannya, yang lain bilang seperti tali karena memegang ekornya, yang lain lagi bilang seperti pohon karena memeluk kakinya. Semua benar dari sudut pandang masing-masing, tapi tidak ada yang melihat gajah secara utuh."

Dia kemudian menjelaskan dengan lebih rinci:

"Mari kita bedah dulu apa itu PMI dan apa itu Produk Domestik Bruto industri. PMI itu kependekan dari Purchasing Managers' Index—survei kepada manajer pabrik tentang persepsi mereka soal perubahan bulan ke bulan. Angka di atas 50 artinya mereka merasa situasi membaik dibanding bulan lalu, di bawah 50 artinya merasa memburuk."

"Sekarang, PDB industri itu mengukur nilai total produksi aktual dalam rupiah selama satu tahun penuh. Dia melihat berapa banyak barang yang benar-benar diproduksi, berapa nilai ekonomi yang tercipta dari kegiatan industri."

Analoginya begini:

Teteh penjual es campur di Cicaheum ditanya, 'Bulan ini gimana dibanding bulan lalu?' Dia mungkin bilang 'menurun' karena hujan terus, jadi PMI-nya di bawah 50.

Tapi kalau ditanya, 'Pendapatan tahun ini gimana dibanding tahun lalu?' dia bilang 'alhamdulillah naik 20%' karena pelanggan tetap bertambah, lokasi strategis, dan dia sudah punya gerobak baru."

Lalu dia menghadirkan bukti konkret:

"Kapasitas produksi terpakai kita 73,58%—tertinggi dalam setahun. Artinya mesin-mesin di pabrik bekerja hampir tiga perempat waktu, bandingkan dengan kuartal sebelumnya yang cuma 71%. Konsumsi listrik sektor industri naik 8,55%—kalau pabrik sepi, masa listriknya malah naik? Impor mesin naik 28,16%—kalau industri lesu, masa pengusaha malah beli mesin baru?"

"Ini seperti melihat warung yang ramai pelanggan, listriknya nyala terang, tapi si juragan bilang 'lagi sepi nih bulan ini.' Mana yang kita percaya, omongannya atau bukti di depan mata?"

Diplomasi Data di Panggung Global

TabelRepresentatif dari Capital Economics mengajukan tantangan berikutnya: "Dr. Iteung, Capital Economics has long questioned reliability of Indonesian GDP data. How do you respond to international skepticism?"

"Terima kasih atas pertanyaan yang jujur," Nyi Iteung menjawab dengan nada yang tetap santun tapi tegas. "Keraguan itu wajar dalam ekonomi. Tapi mari kita bedakan antara keraguan yang membangun dengan prasangka yang sudah mengakar."

"Cara menghitung PDB kita mengikuti standar internasional yang disebut SNA 2008—System of National Accounts 2008. Ini seperti resep masakan internasional yang dipakai negara-negara OECD [Organisation for Economic Co-operation and Development] seperti Amerika, Jerman, Jepang. Kalau resepnya salah, masa semua negara maju pakai resep yang sama?"

Dia melanjutkan dengan penjelasan yang lebih dalam: "Setiap tahun, IMF [Dana Moneter Internasional] mengirim tim untuk mengevaluasi cara kita menghitung ekonomi dalam yang disebut Article IV consultation. Ini seperti inspeksi mendadak dari bos besar—kalau caranya salah total, pasti sudah ditegur. Tapi selama ini, tidak ada temuan besar soal cara kita menghitung."

"Yang menarik, Bank Dunia masih bekerja sama dengan kita untuk mengukur kemiskinan. Kalau data kita tidak bisa dipercaya, masa mereka mau risiko reputasi dengan berkolaborasi?"

Kemudian dia menyentil dengan halus:

"Media internasional seperti Fortune, Reuters, dan CNBC memberikan liputan positif soal pertumbuhan kita. Yang meragukan itu analis tertentu—dan keraguan mereka bukan berdasarkan penelaahan mendalam terhadap cara kita menghitung, tapi lebih ke perasaan 'ini terlalu bagus untuk jadi kenyataan.'"

"Analoginya begini: kalau dokter A periksa saya pakai rontgen, tes darah, dan USG [Ultra Sono Graphy], lalu bilang saya sehat. Tapi dokter B yang cuma lihat dari jauh bilang saya sakit tanpa periksa langsung. Saya akan percaya hasil laboratorium dulu sebelum panik."

Transparansi dalam Era Pasca-Kebenaran

Gedung BPS

Wartawan investigatif mengajukan pertanyaan yang lebih menusuk: "Kenapa BPS menghentikan publikasi rutin Indikator Ekonomi sejak Januari? Apakah ini upaya mengurangi keterbukaan saat data menjadi kontroversial?"

Nyi Iteung menghela napas panjang. "Wah, ini kebetulan waktu yang jelek sekali, tapi bukan teori konspirasi. Keputusan itu diambil November 2024, jauh sebelum data kuartal kedua keluar."

"Mari saya jelaskan masalahnya. Dulu kita menerbitkan data ekonomi yang sama dalam tiga sampai empat format berbeda: Indikator Ekonomi bulanan, Berita Resmi Statistik kuartalan, laporan tahunan, plus versi ringkas untuk media. Bayangkan kalau satu berita ditulis ulang dalam empat gaya berbeda—alih-alih memperjelas, malah bikin pembaca bingung."

"Keputusannya murni teknis untuk mengurangi kebingungan. Tapi saya akui: waktu pelaksanaannya sangat buruk. Dalam komunikasi publik, persepsi itu penting."

Marshall McLuhan pernah bilang: 'The medium is the message.' Cara kita menyampaikan informasi sama pentingnya dengan informasinya itu sendiri.

Dia kemudian menekankan: "Pelajaran yang dipetik: keputusan soal keterbukaan harus dikomunikasikan jauh-jauh hari dengan penjelasan yang jelas. Kita akan perbaiki ini ke depan."

"Yang penting, data mentahnya tetap tersedia lengkap di situs web. Yang berkurang hanya kemasannya, bukan isinya. Keterbukaan bukan soal berapa banyak buku yang diterbitkan, tapi soal seberapa mudah masyarakat mengakses informasi yang akurat."

Kenyataan Lapangan versus Kenyataan Statistik

PHK Media

Pengusaha yang hadir mengajukan pertanyaan yang paling menyentuh: "Dr. Iteung, di lapangan PHK naik 32%, kepercayaan konsumen turun, tapi pemerintah klaim pertumbuhan 5,12%. Di mana putusnya?"

Inilah momen paling krusial. Nyi Iteung terdiam sejenak, ekspresinya berubah lebih serius. "Ini pertanyaan paling penting hari ini, karena menyentuh kehidupan nyata masyarakat, bukan cuma angka di atas kertas."

"Mari kita uraikan satu per satu. PHK naik 32%—itu memang mengkhawatirkan dan saya tidak akan minimalisir dampaknya pada keluarga-keluarga yang terkena. Tapi konteksnya: tahun dasar 2024 itu secara historis rendah karena pemulihan pasca-COVID. Dalam angka absolut, level PHK sekarang masih di bawah masa sebelum pandemi."

Dia melanjutkan dengan analogi yang mudah dipahami:

"Bayangkan tahun lalu cuma 100 orang di-PHK di sebuah kota, tahun ini jadi 132 orang. Secara persentase naik 32%—terdengar mengerikan. Tapi dulu sebelum COVID, rata-rata 200 orang per tahun. Jadi meski naik dari tahun lalu, masih jauh lebih baik dari normal."

"Sekarang soal kepercayaan konsumen versus belanja aktual—ini fenomena psikologi ekonomi yang menarik. Indeks kepercayaan konsumen turun dari 121,1 menjadi 117,5, tapi indeks penjualan eceran riil naik 1,19%, transaksi uang elektronik naik 6,26%. Artinya orang bilang pesimis tapi tetap belanja."

"Daniel Kahneman, ekonom peraih Nobel, menyebut ini stated preference versus revealed preference—apa yang orang katakan versus apa yang benar-benar mereka lakukan sering berbeda. Seperti orang bilang mau diet tapi tetap beli gorengan setiap hari."

Kemudian dia memberikan konteks yang lebih luas:

"Pertumbuhan ekonomi itu seperti kue yang membesar. Tapi kue yang lebih besar tidak otomatis artinya semua orang kebagian potongan yang lebih besar. Yang penting ke depan, manfaat pertumbuhan harus lebih merata. Pertumbuhan tanpa pemerataan itu tidak berkelanjutan."***

Simak info publik, kebijakan & geopolitik dunia di kanal Whatsapp dan Telegram The Stance

\