Patahnya Suriah; Pisau Terakhir Perlawanan Negara Arab terhadap Zionis
Satu-satunya negara Arab yang berstatus perang terhadap Israel menyerah, setelah operasi Blok Barat 1 dekade lebih.

Jakarta, TheStanceID - Hayat Tahrir al-Sham (HTS)—milisi yang dicap teroris oleh Rusia—menguasai ibu kota Suriah, Damaskus, setelah rezim berkuasa Bashar Assad memutuskan mundur. Israel pun bersorak dan langsung menginvasi Suriah.
Suriah adalah jantung geopolitik di Timur Tengah, yang menjadi tarik ulur lima sumbu kepentingan: proyek zionisme Israel, perlawanan Iran-Hizbullah, pan-nasionalisme Turki selaku anggota Organisasi Pakta Atlantik Utara (North Alliance Treaty Organization/NATO), hegemoni Amerika Serikat (AS), dan pengaruh Rusia.
Dengan luas 187.000 meter persegi, menjadi negara terluas kedelapan di Timur Tengah, ia menjadi wilayah penyangga antar kekuatan yang bersaing tersebut. Terutama, bagi Iran untuk mendukung milisi syiah Hizbullah di Lebanon melawan Israel.
Terletak di persimpangan utama antara Asia, Eropa, dan Afrika, negara yang dihuni 23 juta orang ini memang memengaruhi stabilitas regional dan dinamika kekuatan global.
Ia juga menjadi satu-satunya negara Arab yang masih berstatus perang terhadap Israel, menjadi simbol terakhir Arab dalam melawan proyek zionisme. Dataran Tinggi Golan, wilayah Suriah, saat ini dicaplok oleh Israel.
Pada Minggu (9/12/2024), setelah Bashar Assad secara sepihak memutuskan berhenti melawan milisi pemberontak dan mengungsi ke Rusia bersama keluarganya, milisi yang didukung Turki itu pun resmi menguasai Suriah.
Tak menunggu lama, Israel langsung mengumumkan sepihak bahwa kesepakatan gencatan senjata dengan Suriah tahun 1974 tidak lagi berlaku. Perdana Menteri Israel Benjamin Netanyahu mengumumkannya langsung di Dataran Tinggi Golan.
Militer Israel bergerak menganeksasi wilayah Golan dan sekitarnya tanpa perlawanan dari HTS dan terus mengebom instalasi militer Suriah untuk memastikan poros kekuatan tersebut benar-benar patah.
Tentara unit elit Sheldag dan divisi 810 Israel menduduki Gunung Hermon di Suriah dengan kehadiran komandan wilayah utara, Brigadir Jenderal Uri Gordin. Demikian juga di wilayah Jabal al-Sheikh di Suriah selatan, dan bahkan Quneitra.
Letak Suriah jadi Incaran Pipa Gas
Suriah memiliki cadangan minyak dan gas alam yang signifikan, terutama di Deir Ezzor, meskipun banyak ladang telah diperebutkan oleh berbagai faksi, termasuk oleh Syrian Democratic Force (SDF) yang didukung AS dan milisi Kurdi.
Lokasi Suriah juga membuatnya penting untuk perdagangan regional, termasuk rute pipa gas potensial. Turki dan Qatar berkepentingan besar untuk mendongkel Assad karena menolak menyetujui proyek gas mereka yang akan melintasi Suriah.
Sebaliknya, Rusia berkepentingan mencegah proyek gas Turki terwujud karena lebih menyetujui Iran yang membangun pipa gas ke Eropa. Assad telah menyetujui rencana pipa gas Iran ini pada 2012.
Namun, sekonyong-konyong Arab Spring pecah. Pemberontak bermunculan di Suriah, dan proyek gas tersebut pun tak kunjung jalan.
Di sisi lain, Turki mengintervensi Suriah dengan dalih memerangi separatis Kurdi yang menurutnya adalah ancaman langsung terhadap keamanan nasionalnya. Milisi Kurdi (Partiya Karkeren Kurdistan/PKK) berjuang menuntut kemerdekaan dari Istanbul.
Perlintasan Kepentingan Politik
AS berkepentingan untuk membatasi pengaruh Iran di Suriah, terutama mencegah perluasan pengaruh Iran dan kehadiran pertahanan militernya di negara penyangga tersebut. Mereka pun mendukung SDF dengan dalih menyemai demokrasi di Suriah.
Negara Adidaya ini melanggar kedaulatan Suriah dengan melakukan intervensi militer tanpa izin dari pemerintah Suriah atau Persatuan Bangsa-Bangsa (PBB), dan membangun pangkalan militer di Deir Ezzour serta menguasai ladang minyaknya.
Meskipun mengklaim memerangi ISIS, AS secara tidak langsung telah memicu ekstrimisme di Suriah. Washington mendukung kelompok oposisi, termasuk mereka yang memiliki hubungan dengan Al-Qaeda.
Sementara itu, Israel memandang Dataran Tinggi Golan sebagai harga mati untuk menjaga keamanan negara penjajah ini, meski aneksasi dan kehadiran militernya di sana melanggar hukum internasional, dan menuai kritikan global.
Israel juga berusaha mengendalikan sumber daya air Suriah di Dataran Tinggi Golan. Pelanggaran Israel terhadap kedaulatan Suriah dan perluasan permukiman di dataran tinggi tersebut merusak upaya perdamaian.
Usai Hamas, Hizbullah, Giliran Assad
Israel sejak 7 Oktober 2023 menggempur Hamas di Gaza, Palestina, mengobarkan genosida atas warga sipil. Selang beberapa hari kemudian, Hizbullah menunjukkan solidaritasnya dengan menggempur wilayah Israel.
Selama setahun lebih, Hizbullah menghabiskan ribuan rudal, dan ribuan personelnya mengalami luka serta cidera akibat serangan pengecut Israel, lewat pesawat tempur dan pager.
Mereka pun terpaksa menyetujui gencatan senjata tersebut, meninggalkan Hamas berjuang sendirian. Sebelumnya, Hizbullah ngotot tidak ada gencatan senjata di Lebanon tanpa gencatan senjata permanen di Gaza.
Yang menarik, dalam sambutan resmi terkait perjanjian gencatan senjata tersebut, Netanyahu terang-terangan mengancam Assad. “Assad harus mengerti bahwa dia bermain dengan api,” tuturnya.
Tepat sehari setelah gencatan senjata Israel-Hizbullah, militan HTS memenuhi seruan Netanyahu dengan melanggar perjanjian de-eskalasi di Suriah yang disetujui pada tahun 2017 di Astana, Kazakhstan antara Turki, Iran, dan Rusia.
Mereka menyerbu Suriah, melanggar butir kesepakatan terkait penghentian konflik dan kekerasan bersenjata yang memastikan tidak ada kekuatan bersenjata yang dikerahkan ke wilayah deeskalasi.
Dikenal sebagai Jabhat al-Nusra, yang terafiliasi dengan Al-Qaeda Suriah, mereka berganti kostum menjadi HTS pada 2017 menyusul kesepakatan de-eskalasi Astana. Negara Barat berusaha mengubah citra kelompok itu sebagai oposisi moderat.
Awal Desember lalu, mereka bergabung dengan militan lain yang menyebut diri "Tentara Nasional Suriah" (Syria National Army/SNA), setelah sebelumnya menamakan diri Free Syrian Army (FSA) yang mendapat dukungan medis dan dana dari Israel.
FSA juga menerima pelatihan di pangkalan militer AS di Al-Tanf, Suriah.
Tentara Suriah Kalah Perang Hibrida
Gabungan milisi ribuan orang ini membuat tentara Suriah kerepotan. Mereka diserang HTS dan SNA, dan juga milisi Kurdi, terutama di provinsi Aleppo dan Hama yang didukung negara pelindung masing-masing: Israel, Turki, Qatar, AS, dan NATO.
Tentara Suriah dengan dibantu Angkatan Udara Rusia melakukan serangan udara terhadap gudang, posisi artileri, dan target teroris lainnya di Aleppo, Idlib, dan Hama.
Selain itu, penasihat militer dari Korps Pengawal Revolusi Iran (IRGC) hadir di negara itu. Hanya saja, Assad menolak masuknya Brigade Fatimiyun (milisi syiah) karena Suriah sedang berupaya mendekati poros Saudi.
Dalam upaya rekonsiliasi dengan Liga Arab, Assad bahkan menendang delegasi Ansarullah di Kedutaan Yaman di Damaskus pada 2023, seperti diungkap pejabat Ansharullah Yaman Nasruddin Amer di akun X.
Di sisi lain, Assad menyepakati pengalihan wilayah Raqqa yang dikontrol tentara Suriah kepada SDF. Kini SDF dan HTS beserta sekutunya masih terlibat konflik di kantong-kantong milisi Turki tersebut.
Namun, Liga Arab tak memberikan bantuan sama sekali. Yang mengejutkan, tanpa konsultasi dengan pendukungnya, Assad memutuskan mundur dari konflik.
Assad dan keluarganya meminta suaka ke Rusia dan dikabarkan telah mendarat dengan selamat di Negeri Tirai Besi tersebut, berkebalikan dari propaganda Reuters soal kematiannya.
Secara bersamaan, dua ribu tentara Suriah mengungsi ke Irak melalui koridor Al-Qa’im dengan membawa perlengkapan militer lengkap. Patahnya poros Suriah semakin kentara.
Namun, mereka yang tertinggal di Suriah yakni 2 juta lebih minoritas Sunni Alawi—yang sering dipropagandakan sebagai Syiah, kini kehilangan perlindungan. Demikian juga dengan minoritas Kristen dan Druze.
Masa depan mereka, dan perlawanan Palestina, seketika buram seiring patahnya Suriah. (ags)