Senin, 04 Agustus 2025
Term of Use Media Guidelines

Nurani di Era Logika Biner

Bahasa mesin dalam konteks logika algoritma bukanlah ancaman yang dapat menggantikan posisi Tuhan Yang Maha Esa. Namun, ketidakmampuan manusia dalam mengendalikan teknologi AI dapat berpotensi merusak alam semesta.

By
in Soul Nutrient on
Nurani di Era Logika Biner
Pemuka agama Islam (sunni dan syiah) duduk bersama pemuka agama Druze dan Kristen, di Brih Lebanon, pada 17 Mei 2014. (Sumber: www.ecumenicalnews.com)

Ishadi Ishak

Oleh Ishadi Ishak, Anggota Biro Komunikasi Informasi & Humas Korps Alumni Himpunan Mahasiswa Islam (KAHMI) Sulawesi Selatan.

Kemajuan teknologi China saat ini sangat cepat, apalagi dengan teknologi yang menerapkan kecerdasan buatan (artificial intelligence/AI) selangkah lebih maju di Asia bahkan bisa dibilang sejajar dengan kemajuan teknologi Amerika Serikat (AS).

Teknologi AI kini nyaris memasuki sendi-sendi kehidupan kita, cukup memberi instruksi (prompt) melalui gawai dapat merespon dan mengubah sistem aplikasi dengan kecerdasan menyerupai manusia, bahkan dapat menjawab soal agama.

Namun, satu pertanyaan mendasar muncul mungkinkah teknologi AI bisa mengganti Tuhan dalam kehidupan manusia? Pertanyaan ini bukan sekedar spekulasi futuristik, tetapi panggilan untuk merenung siapa diri kita di tengah laju teknologi.

Sebab, pada dasarnya AI adalah hasil ciptaan manusia yang dapat digunakan berdasarkan logika algoritma.

Sedangkan bilangan biner pada logika algoritma telah dapat diubah dari gaya bahasa mesin menjadi lantunan ayat suci Al-Qur’an digital, meskipun teknologi AI ini tidak dapat mengetahui bagaimana rasanya manusia melakukan sujud yang khusyuk pada Tuhan Yang Maha Esa.

Walaupun teknologi AI mampu menirukan suara azan, AI tidak memiliki qalbu yang dapat merasakan makna dari ketakutan, harapan, dan kepasrahan saat berdoa kepada Tuhan. Berbeda dari AI, manusia tidak hanya memiliki akal, tetapi juga qalbu.

Kita ketahui bersama bahwa orang Bugis Makassar mempunyai budaya “tau temmappa masseddi’ yang artinya manusia itu mahluk yang punya rasa gelisah, yang selalu mencari arti hidup.

Jawaban Cepat Bukan Segalanya

hujanKita bukan cuma perlu jawaban cepat, tapi perlu petunjuk moral dan ketenangan hati. Di sinilah kehadiran Tuhan Yang Maha Esa sangat berperan penting.

Maka dari itu kehadiran Tuhan Yang Maha Esa tidak hanya sebagai pemilik alam semesta melainkan sumber ilmu, nilai dan kebijaksanaan yang melampaui akal dan hitungan teknologi kecerdasan yang dibuat manusia seperti AI.

Falsafah budaya Bugis yang terkenal adalah Sipakatau, Sipakalebbi, Sipakainge yang artinya saling memanusiakan, saling menghormati, saling mengingatkan. Nilai-nilai inilah yang mesti dijaga supaya kita tidak lupa akan rasa kemanusiaan kita di tengah kemajuan teknologi.

Olah rasa seperti empati, ikhlas, dan rasa hormat hanya dimiliki manusia sedangkan AI hanya bisa saja pintar ngolah data yang diberikan oleh manusia menggunakan logika algoritma.

Mengutip pernyataan da'i kondang Ustad Das’ad Latif, “Teknologi harus menjadi alat untuk memanusiakan manusia, bukan untuk mengurangi kemanusiaan.”

Baca Juga: Artificial Intelligence; Jalur Cepat Jurnalisme Digital yang Penuh Jebakan

Oleh karena itu, penting bagi kita untuk menerapkan prinsip ini agar tidak salah langkah dalam memahami kemajuan teknologi. Kehadiran AI diharapkan dapat membantu manusia lebih mendekatkan diri kepada Tuhan Yang Maha Esa, bukan sebaliknya.

Bahasa mesin dalam konteks logika algoritma bukanlah ancaman yang dapat menggantikan posisi Tuhan Yang Maha Esa. Namun, ketidakmampuan manusia dalam mengendalikan teknologi AI dapat berpotensi merusak alam semesta.

Jika iman manusia lemah, teknologi yang canggih sekalipun tidak akan membawa perbaikan; sebaliknya, hal itu bisa menghancurkan kehidupan kita.

Tantangan Menjaga Nilai Spiritual

Oleh karena itu, tantangan terbesar umat manusia bukanlah teknologi kecerdasan buatan, melainkan bagaimana individu dapat menjaga hati agar tetap terbuka terhadap nilai-nilai spiritual.

Penting bagi manusia untuk mempertahankan iman sebagai kompas di tengah pesatnya kemajuan teknologi. Tuhan Yang Maha Esa dan kecerdasan buatan merupakan entitas yang berbeda, namun keduanya perlu berada dalam keseimbangan.

Kecerdasan buatan adalah hasil kreativitas manusia, sementara Tuhan Yang Maha Esa adalah pemilik dan pencipta alam semesta.

Sang maestro di balik "idealisme transendental", Immanuel Kant, pernah bilang, "pemikiran tanpa isi itu kosong melompong, intuisi tanpa konsep itu buta". Bisa dibilang mirip kayak, "berpikir tanpa logika itu kosong, logika tanpa berpikir itu hampa".

Sementara itu, Aristoteles, filsuf Yunani, punya pandangan beda soal memisahkan antara logos (logika) dan nous (pemikiran intuitif), menekankan pentingnya harmoni antara akal rasional dan penalaran aktif.

Kalau kita gabungkan pemikiran Immanuel Kant dan Aristoteles, bisa dibilang, di tengah gemuruh logika biner dan kemajuan teknologi, yuk kita ambil jeda untuk introspeksi.

Gimana kabar iman kita? Masih ingatkah sama Tuhan di balik semua algoritma ini? Kalau iya, Insya Allah kita masih jadi manusia sejati, karena kita punya otak dan akal, tapi juga qalbu, nurani, dan iman.***

Simak info publik, kebijakan & geopolitik dunia di kanal Whatsapp dan Telegram TheStanceID

\