Kamis, 17 Juli 2025
Term of Use Media Guidelines

Artificial Intelligence; Jalur Cepat Jurnalisme Digital yang Penuh Jebakan

AI menyodorkan peluang besar untuk mendukung jurnalisme, tapi mengancam profesi jurnalis dan industri pers.

By
in Big Shift on
Artificial Intelligence; Jalur Cepat Jurnalisme Digital yang Penuh Jebakan
Ilustrasi kecerdasan buatan (artificial intelligence/AI). Sumber: https://urbeuniversity.edu/

Jakarta, TheStanceID - Teknologi kecerdasan buatan (artificial intelligence/AI) membawa perubahan signifikan di berbagai bidang, termasuk jurnalisme. Ada peluang besar di baliknya, tapi juga bisa mengancam profesi jurnalis dan industri pers.

AI mampu membuat produksi berita lebih efisien sehingga memungkinkan jurnalis dan redaksi memproses data dalam jumlah besar, menyusun artikel otomatis, hingga menganalisis tren topik yang sedang hangat di masyarakat.

Namun, adopsi AI dalam ruang redaksi memiliki tantangan tersendiri. Salah satunya keakuratan sumber informasi yang belum bisa diandalkan. Belum lagi soal tantangan profesi jurnalis dan etika AI.

Atas kondisi ini, Ketua Dewan Pers Ninik Rahayu mengingatkan jurnalisme untuk cepat beradaptasi demi kemandirian dan keberlanjutan media massa, sehingga bisa menyintasi era disrupsi digital.

”Sekaligus upaya diversifikasi dan penyajian konten berkualitas. Serta, pemanfaatan teknologi AI terkini pada organisasi media secara bijak,” ujarnya dalam Seminar Nasional bertajuk 'Jurnalisme versus Artificial Intelligence (AI): Peluang dan Tantangan' di Jakarta, Rabu (11/12/2024).

Menurut Ninik, setiap perusahaan pers harus mampu menjaga independensi dan profesionalitasnya sehingga menghasilkan karya jurnalistik yang bermanfaat dan dipercaya publik.

Kepercayaan publik merupakan aset penting dalam keberlangsungan hidup media. “Terutama di era digital yang penuh disinformasi, misinformasi dan malinformasi,” kata Ninik.

 

Kunci Manfaatkan AI dalam Jurnalisme

Praktisi media dan Chief Content Officer Kapan Lagi Youniverse, Wenseslaus Manggut menyebut penggunaan AI dalam jurnalisme merupakan sebuah keniscayaan, di tengah ketatnya persaingan industri media.

AI, kata Wens, adalah teknologi yang mampu mempercepat proses kerja, tapi tetap membutuhkan manusia sebagai pengendali. "Jika komputer itu adalah sepeda, maka AI adalah mobil,” ujarnya menganalogikan.

Berdasarkan survei LSE Journalism AI Project dan Google News Initiative, 73% responden percaya bahwa AI menawarkan peluang baru, dan 85% dari mereka sudah mulai menggunakan AI, terutama dalam penulisan.

“Tugas kita adalah mengedukasi bagaimana memakai AI dalam konteks jurnalisme,” kata mantan jurnalis Tempo ini.

Menariknya, dalam survei terhadap 105 organisasi media di 46 negara tersebut, Indonesia disebutkan menjadi salah satu negara dengan kecemasan tinggi terhadap potensi AI yang bisa menggantikan pekerjaan manusia.

Namun, Wens mengingatkan bahwa ancaman itu hanya berlaku bagi mereka yang tidak mampu beradaptasi. "Orang yang tergantikan dengan AI adalah orang yang tidak bisa memakai AI."

AI Bikin Badan, Jurnalis Mengisi Rohnya

Wens mengingatkan kembali pentingnya menulis. Bukan sekadar memenuhi kebutuhan search engine optimization (SEO), karena SEO hanyalah alat.

Menurutnya, AI hanyalah alat bantu dalam pencarian data dan informasi. Jurnalis lah yang menentukan topik dan memberikan ruh sehingga tercipta produk jurnalistik yang berkualitas.

"Pake barang [AI] ini lebih efisien, lebih cepat, lebih digging tulisannya. Pake barang ini lebih bertenaga rasanya. Karena itu, rasanya yang harus kita lakukan adalah bagaimana supaya roh jurnalismenya tidak hilang ketika kita memakai barang ini," kata Wens.

Dus, Ketua Umum Asosiasi Media Siber Indonesia (AMSI) periode 2020-2023 ini menilai AI bukanlah ancaman, melainkan alat yang dapat membawa jurnalisme kembali ke esensinya: melayani masyarakat dengan informasi berkualitas.

”Jurnalisme dapat menemukan model bisnis dalam ekosistem AI. Sehingga, AI bisa jadi jalan pulang jurnalisme,” ujarnya.

 

Perlu Pengaturan Pemanfaatan AI

CEO KG Media Andy Budiman Kumala mengingatkan pentingnya perusahaan media sebagai pemilik konten untuk mempertahankan dan melindungi kontennya agar tidak digunakan secara semena-mena oleh platform AI.

Perlu ada batasan-batasan yang diatur, sebelum memutuskan menggunakan AI dalam kerja jurnalistik, mengingat adanya risiko besar yang dihadapi dalam pemanfaatan AI.

"Kita sebagai media harus bisa memproteksi harta terbesar kita yakni karya jurnalistik dari ancaman perkembangan dunia digital termasuk perusahaan AI," tuturnya.

Andy mengungkapkan meski KG Media juga memanfaatkan AI, khususnya untuk membantu jurnalis memproduksi konten baik artikel maupun video khususnya dalam hal penyuntingan, tapi pemanfaatannya tetap harus diatur.

Di antaranya, lanjut dia, dengan menggunakan akun berbayar agar tidak menjadi obyek pengembang AI, dan agar konten berita yang disunting menggunakan aplikasi AI tidak digunakan sebagai bahan training model perusahaan AI tersebut.

Pada gilirannya, mesin AI menjadi semakin canggih dan makin mendekati karya jurnalis sementara perusahaan media yang "melatih" tidak mendapatkan apa-apa.

"Kalau kita ngumpanin secara sukarela ke aplikasi AI untuk penyuntingan, bikin laporan segala macam, tapi tidak ada kompensasi apa-apa selain hasil suntingan, sebetulnya kita memberikan harta terbesar kita ke perusahaan AI," ujar Andy.

AI Turunkan Kunjungan ke Media

KG Media mengakui aplikasi AI memicu penurunan lalu lintas kunjungan ke media massa yang dikelola, karena masyarakat beralih menggunakan AI untuk mencari data atau informasi.

Perusahaan konglomerasi media yang semula bernama Kompas Gramedia tersebut adalah pemilik koran terbesar nasional Kompas, media online Tribunnews, dan harian bisnis dan ekonomi Kontan.

"Dengan adanya Google AI Overview, traffic [media online] via link dari Google menurun, karena begitu mereka udah dapat jawaban, mereka gak akan ngeklik link berita," jelasnya.

Begitu juga dengan direct audiens. Semula publik datang langsung ke situs berita untuk mengonsumsi informasi dan pemberitaan, sekarang mereka melakukan aktivitas pencarian (search) langsung ke Chat GPT.

Karena penurunan jumlah pengunjung berbanding lurus dengan menurunnya pendapatan iklan, Andy berharap perusahaan media sebagai publisher bisa membangun hubungan setara dengan platform digital untuk mendukung jurnalisme berkualitas.

"Jadi pesannya, adalah kita sebagai yang membutuhkan AI dan dibutuhkan oleh perusahaan AI, kita bisa memposisikan diri," kata Andy. (est)

\