Partisipasi Publik Dimanipulasi, Muncul Petisi ”Tolak Revisi KUHAP Abal-Abal”
Penolakan terhadap RKUHAP menguat setelah Komisi III DPR dan pemerintah merampungkan pembahasan ribuan Daftar Inventarisir Masalah (DIM) RKUHAP hanya dalam 2 hari. Alih-alih memperbaiki kelemahan fundamental dalam hukum acara pidana, ada 11 poin bermasalah di Rancangan KUHAP.

Jakarta, TheStanceID – Penolakan terhadap Rancangan Kitab Undang-undang Hukum Acara Pidana (RKUHAP) mengalir kencang, tak terkecuali di jagat maya.
Sebuah petisi daring penolakan pun diluncurkan di laman change.org oleh Koalisi Masyarakat Sipil untuk Pembaruan KUHAP. Sejak diluncurkan pada Jumat (11/7/2025) hingga Senin (14/7/2025), sudah ada lebih dari 5000 warga menandatangani petisi.
Dalam petisi yang diberi judul ”Tolak Revisi KUHAP Abal-abal” tersebut, koalisi menilai penyusunan draf RKUHAP oleh pemerintah dan DPR menunjukkan praktik penuh kejanggalan dan praktik meaningful manipulation yakni manipulasi makna partisipasi publik dalam penyusunannya.
Selain itu, pasal-pasal yang diatur dalam substansi RKUHAP justru bermasalah dan gagal menjawab masalah faktual praktik KUHAP selama ini, seperti laporan mandek (undue delay), salah tangkap, kriminalisasi, penyiksaan, dan penjebakan.
Materi RKUHAP justru berpotensi memperkuat impunitas, melemahkan hak tersangka dan terdakwa, serta mempertahankan praktik korup dan penyalahgunaan wewenang aparat.
Untuk diketahui, pembahasan RKUHAP ini juga mendapat sorotan masyarakat, terlebih 1.676 poin Daftar Inventasir Masalah (DIM) RKUHAP berhasil dituntaskan Komisi III DPR dan pemerintah hanya dalam dua hari, yaitu 9-10 Juli 2025.
"Ini bukan meaningful participation, tapi meaningful manipulation. Prosesnya cepat, tertutup, dan tidak melibatkan publik secara utuh. Sama seperti pola UU KPK dan Omnibus Law," kritik Anggota Koalisi, Fransisca Fitri dari YAPPIKA-ActionAid.
11 Poin Bermasalah di RKUHAP
Selain proses pembahasan yang super kilat dan dianggap tidak memenuhi partisipasi bermakna, Koalisi Masyarakat Sipil untuk Pembaruan KUHAP menyoroti setidaknya ada 11 poin bermasalah di Rancangan KUHAP yang baru. Berikut poin-poin tersebut:
1.) Polri jadi makin superpower karena akan membawahi penyidik non-polri kecuali untuk KPK, Kejaksaan, dan TNI. Penyidik Polri menjadi Penyidik utama yang diberi kewenangan menyidik semua tindak pidana. Syarat kepangkatan, pendidikan, dan sertifikasi akan diatur dengan peraturan perundang-undangan. (Pasal 6 s/d 8 jo Pasal 20)
2.) TNI semua matra bisa menjadi penyidik tindak pidana. (Pasal 7 Ayat (5), Pasal 87 Ayat (4), Pasal 92 Ayat (4)). Hal ini akan membuka ruang bagi TNI untuk menjadi Penyidik dalam Tindak Pidana Umum.
3.) Polisi bisa melakukan penangkapan sampai dengan 7 hari. Pasal ini berbahaya karena bertentangan dengan standar HAM internasional dan lebih buruk dari KUHAP lama yang membatasi waktu penangkapan maksimal 1x24 jam.
4.) Polisi bisa melakukan penahanan kapan saja tanpa izin Pengadilan dengan dalih mendesak. Makna mendesak diserahkan kepada Penyidik. Ruang diskresi ini menjadi rentan untuk disalahgunakan.
5.) Alasan penahanan dipermudah. Jika dianggap tidak bekerjasama dalam pemeriksaan atau dianggap memberikan informasi tidak sesuai fakta dapat ditahan oleh Penyidik. (Pasal 93 Ayat (5))
6.) Penggeledahan sewenang-wenang dilegitimasi. Penggeledahan bisa dilakukan tanpa izin Pengadilan jika dalam keadaan mendesak dan bukan hanya pada benda yang terkait dengan tindak pidana. Makna mendesak diserahkan kepada penilaian subyektif Penyidik. (Pasal 105 jo Pasal 106)
7.) Penyitaan sewenang-wenang dilegitimasi. Penyitaan bisa dilakukan tanpa izin pengadilan jika dalam keadaan mendesak. Makna mendesak diserahkan kepada penilaian subyektif Penyidik. (Pasal 112 Ayat (3))
8.) Pengaduan atau laporan masyarakat yang tidak ditindaklanjuti berpotensi terus menumpuk karena tidak tersedia mekanisme penyelesaian yang jelas dan independen. Jika Penyidik mengabaikan laporan, masyarakat hanya diarahkan untuk mengadu kepada atasan Penyidik atau pejabat pengawas penyidikan, itupun baru bisa dilakukan setelah 14 hari.
Mekanisme ini sepenuhnya berada di lingkup internal kepolisian, yang selama ini terbukti gagal menangani pelanggaran, terutama jika pelakunya adalah anggota kepolisian itu sendiri.
9.) Keadilan untuk semua hanya akan jadi jargon karena bantuan hukum tidak untuk semua orang, hanya untuk tersangka yang tidak mampu atau tidak mempunyai advokat sendiri yang diancam pidana kurang dari 5 tahun. Sedangkan bantuan hukum untuk kelompok rentan tidak diakomodir.
10.) Hak untuk memilih kuasa hukum sendiri dihapus dalam draf KUHAP baru. Jika tersangka tidak mampu atau tidak punya kuasa hukum, justru Penyidik yang akan menunjuk pengacara, bukan si tersangka yang memilih. Ini membuka ruang praktik kuasa hukum formalitas atau pocket lawyer, yang hanya jadi pelengkap tanpa membela kepentingan hukum tersangka. (Pasal 145 ayat (1))
11.) Ada bahaya penyadapan sewenang-wenang. Poin ini diatur dalam Pasal 124 yang bilang bahwa Penyidik dapat menyadap tanpa izin pengadilan dengan alasan mendesak yang salah satu indikatornya adalah situasi berdasarkan penilaian subyektif Penyidik.
Menghadapi situasi ini dan demi menjamin penegakan hukum yang adil dan hak asasi manusia, Koalisi Masyarakat Sipil untuk Pembaruan KUHAP menuntut DPR dan Pemerintah menghentikan proses ugal-ugalan dan kilat pembahasan RKUHA.
Selain itu, DPR dan Pemerintah juga didesak untuk mengulang proses penyusunan RKUHAP dengan cermat dan tidak terburu-buru dengan menjamin partisipasi yang bermakna masyarakat.
Sebagai alternatif, Koalisi Masyarakat Sipil juga telah menyusun dan mengajukan draf RKUHAP tandingan yang bisa diakses di laman reformasikuhap.id. Ini dilakukan mengingat RKUHAP yang tengah dibahas di Senayan, gagal menjamin perlindungan terhadap hak-hak sipil.
“Kita menyusun draf ini karena draf resmi dari DPR maupun pemerintah sama-sama bermasalah. Mereka tidak memperbaiki mekanisme upaya paksa, malah melegalkan praktik penyalahgunaan kekuasaan,” tegas Peneliti senior dari Institute for Criminal Justice Reform (ICJR) Iftitah Sari.
Pembahasan Rancangan KUHAP Tergesa-gesa
Ketua Umum Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia (YLBHI) Muhammad Isnur mengatakan pembahasan RKUHAP terkesan tergesa-gesa. Banyak persoalan krusial dalam sistem hukum pidana yang justru diabaikan dalam rancangan regulasi tersebut.
“Ketergesa-gesaan akan banyak merusak proses,” ujar Isnur dalam keterangannya, Senin (14/7/2025).
Penyusunan RKUHAP seharusnya menjadi momentum untuk memperbaiki sejumlah kelemahan fundamental dalam hukum acara pidana. Akan tetapi, pada kenyataannya justru berbagai persoalan utama tak disentuh sama sekali dalam draf revisi tersebut.
“Banyak hal yang seharusnya dibahas, seperti mekanisme mengevaluasi penyidik yang melanggar, tapi sama sekali tidak ada perumusannya,” ungkapnya.
Isnur melihat banyak pasal dalam draf RKUHAP justru mengandung potensi masalah baru yang bisa memperburuk perlakuan aparat terhadap masyarakat.
“Proses legislasi yang terburu-buru hanya akan menghasilkan produk hukum yang tidak berpihak pada keadilan, dan membuka ruang lebih besar bagi penyalahgunaan wewenang oleh aparat,” jelasnya.
Baca Juga: Indonesia Ubah Pendekatan Hukum Korupsi dari Retributif ke Restoratif
Lantas apa konsekuensi jika pasal-pasal bermasalah dalam RKUHAP dipertahankan ?
Isnur menjelaskan beberapa di antaranya akan membuat masyarakat mudah mengalami pelanggaran hak asasi, intimidasi, dan kekerasan dari aparat penegak hukum.
“Masyarakat lagi-lagi menjadi korban dari aparat. Korban kesewenang-wenangan, korban penganiayaan, korban kekerasan, bahkan korban penyiksaan,” ujarnya.
Ia menilai DPR telah melangkahi prinsip partisipatif yang seharusnya menjadi dasar dalam pembentukan undang-undang, terutama yang menyangkut hak dasar warga negara.
“Bagaimana mungkin ribuan pasal hanya dibahas dalam waktu 2 hari? Ini benar-benar menjijikkan. Dalam proses membuat undang-undang, semua dilewati, hak rakyat dilewati,” katanya.
Respon DPR
Ketua Komisi III DPR Habiburokhman mengeklaim DIM RKUHAP yang dibahas telah memenuhi prinsip partisipasi bermakna (meaningful participation) seperti dimandatkan MK dalam proses penyusunan undang-undang.
Bahkan, Habiburokhman menyebutkan, DPR juga telah mengundang 53 pihak untuk memberikan masukan dan tanggapan terhadap draf RKUHAP.
Selain itu, porsi pembahasan terkait keadilan restoratif juga cukup besar dalam rapat dua hari ini. Hal ini bertujuan untuk penyelesaian hukum yang menekankan kepada kepentingan korban.
Ia justru mempertanyakan pihak-pihak yang menilai pembahasan RKUHAP tidak memenuhi aspirasi publik.
”Ini kami sangat terbuka, gitu lho. Jadi, silakan masyarakat yang menilai. Kami yang omong kosong atau mereka yang omong kosong. Kami juga mengkritisi lembaga-lembaga yang mengklaim mereka masyarakat sipil. Kami juga bagian dan wakil dari masyarakat sipil,” kata politisi Partai Gerindra ini.
Hingga saat ini, lebih dari 150 pasal RKUHAP telah disisir dan dirapikan penulisannya. Proses penyisiran ini akan dilanjutkan pada Senin (14/7) dengan Tim Perumus dan Tim Sinkronisasi DPR dan pemerintah yang akan terus bekerja sama.
Setelah proses sinkronisasi selesai, Habiburokhman mengatakan, hasil perumusan akan diserahkan kepada Panitia Kerja (Panja) untuk dikaji ulang sebelum akhirnya diserahkan ke Komisi III.
"Kami berharap lebih banyak informasi yang bisa tersampaikan dan dipahami masyarakat. Kami di sini bekerja secermat mungkin," jelasnya. (est)
Simak info publik, kebijakan & geopolitik dunia di kanal Whatsapp dan Telegram TheStanceID.