Indonesia Ubah Pendekatan Hukum Korupsi dari Retributif ke Restoratif

Dengan restorative justice, koruptor tidak harus dipenjara—dan tetap kaya, melainkan cukup mengembalikan uang negara.

By
in Big Shift on
Indonesia Ubah Pendekatan Hukum Korupsi dari Retributif ke Restoratif
Ilustrasi penegakan hukum dengan pendekatan keadilan restoratif (restorative justice). (Sumber: https://alverna.co.id/)

Jakarta, TheStanceID – Setelah seabad pemberantasan korupsi dijalankan dengan pendekatan retributif (balas dendam) sejak era kolonial Belanda, pemerintah berencana mengubahnya menjadi pendekatan rehabilitatif. Praktiknya rawan penyalahgunaan.

Rencana perubahan ini terkuak di acara diskusi bertemakan Agenda Pemberantasan Korupsi Kabinet Merah Putih yang digelar secara virtual oleh Forum Insan Cita, pada Minggu (15/12/2024) malam.

Menteri Koordinator Bidang Hukum dan Hak Azasi Manusia (HAM) Yusril Ihza Mahendra mengatakan Indonesia masih memakai pendekatan Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) era kolonial Belanda dalam paradigma pemberantasan korupsi.

Padahal, lanjut dia, KUHP telah diperbarui dengan UU Nomor 1 Tahun 2023 yang membuka ruang rehabilitasi dalam penegakan hukum pidana. Hanya saja, ruang tersebut belum diakomodir dalam berbagai aturan pemberantasan korupsi.

Untuk itu, pemerintah akan mengubahnya dengan tak hanya menekankan pemenjaraan yang sifatnya balas dendam seperti di KUHP warisan kolonial Belanda, tapi lebih menekankan keadilan kolektif, restoratif dan rehabilitatif.

Filosofi restorative justice muncul pada awal 1980 di Amerika Serikat (AS) dan Kanada. Fokusnya pada rehabilitasi pelanggar hukum. Konsekuensi hukum dijalankan dengan permintaan maaf, mengganti kerugian, mengembalikan barang, dll.

Sementara itu, filosofi retributive justice yang kini berlaku lebih fokus pada tanggung jawab individual pelanggar hukum yang memikul konsekuensi pelanggaran hukum dengan denda dan/atau kurungan.

Di Indonesia, baru ada empat perkara yang bisa diselesaikan dengan pendekatan rehabilitasi, yaitu:

  1. Perkara tindak pidana ringan, seperti pencurian ringan, perkelahian tanpa senjata, atau kerusakan properti

  2. Perkara yang melibatkan anak atau perempuan

  3. Perkara yang melibatkan korban atau saksi anak

  4. Perkara yang melibatkan individu yang mengalami kecanduan atau penyalahgunaan zat terlarang

Yusril menegaskan pemberantasan korupsi ke depan akan lebih difokuskan untuk mencegah terjadinya kerugian negara, meski dia mengakui bahwa pendekatan ini kurang populer di masyarakat Indonesia.

"Misalnya pengusaha melakukan korupsi semua rekening diblokir, habis bulan rekening buat bayar gaji gak bisa dibuka. Pengusaha ditangkap dan ditahan. Aset diblokir, disita, dibawa pengadilan, belum apa-apa perusahaan oleng dan kolaps," ujarnya.

Lalu, lanjut dia, perusahaan bangkrut, karyawan diberhentikan, penyuplai kehilangan pesanan, negara kehilangan pajak. “Apa yang kita dapat dari sistem pemberantasan korupsi seperti itu. Kita memiskinkan orang atau memiskinkan negara?”

UU Penegakan Korupsi Bakal Direvisi

Oleh karena itu, pemerintah tahun ini akan fokus mengubah pasal dan undang-undang korupsi, agar sesuai dengan Konvensi PBB Anti Korupsi atau United Nations Convention against Corruption (UNCAC).

“Yang harus kita lakukan dalam setahun, kita harus mengubah pasal-pasal undang-undang korupsi itu menyesuaikan dengan ketentuan Convention against Corruption,” kata Yusril.

Indonesia telah meratifikasi Konvensi PBB Anti Korupsi pada 2006, tetapi hingga kini belum juga menyesuaikan aturan perundang-undangan yang ada sehingga banyak di antaranya belum sejalan dengan konvensi tersebut.

Salah satu perubahan yang akan diusung, kata Yusril, adalah pengusutan kasus korupsi dengan melibatkan institusi yang lebih tepat. Saat ini, tiga institusi yang mengusut perkara korupsi menurut Yusril masih kurang efektif.

“Tidak banyak di dunia ini yang menyerahkan kepada tiga institusi yang berwenang melakukan penyelidikan penyidikan dan pengusutan serta eksekusi perkara korupsi itu. Seperti kita polisi sudah dikasih wewenang, Jaksa sudah, KPK juga sudah diberikan kewenangan, tapi kok tetap tidak efektif?” kata Yusril.

Kedepankan Moral & Pemulihan Aset

Yusril juga akan menyelaraskan pasal di undang-undang korupsi dengan KUHP Baru yang telah dirilis tahun lalu, dan akan berlaku mulai Januari 2026. Salah satunya pasal tentang hukuman kepada koruptor yang selama ini hanya hukuman badan.

Namun realitanya, kata dia, hukuman badan (penjara) tak memberikan efek jera. Terdakwa korupsi tetap kaya raya setelah keluar penjara, Oleh sebab itu, ia ingin membuat formulasi bagaimana agar korupsi bisa dicegah dan membuat jera pelakunya.

“Kemudian lebih banyak tekanan-tekanan kepada korupsi itu bukan lagi kepada penghukuman badan tapi arahnya kepada mencegah terjadinya kerugian negara kalau sudah terjadi kerugian bagaimana kita melakukan asset recovery,” tutupnya.

Dia menegaskan penyesuaian aturan tersebut ditujukan untuk membuat upaya pemberantasan korupsi menjadi lebih efektif dengan pengembalian aset negara (recovery asset) akibat korupsi.

Pemerintah akan membangun kesadaran bernegara dan memperkuat moral bangsa agar sistem pemberantasan korupsi lebih efektif berjalan, didukung kaidah hukum yang lebih sesuai dengan perkembangan zaman.

Secara bersamaan, kerja-sama bidang hukum antar negara akan diperkuat, agar aliran uang korupsi ke luar negeri bisa dikembalikan ke Tanah Air, karena kedua negara telah memiliki aturan yang sama.

“Dunia ini makin canggih, orang dengan sekejap aja bisa mentransfer uang ke luar negeri, pindah ke mana-mana. Itu tidak mungkin kita memberantas korupsi, kalau tidak ada suatu kerjasama internasional dan kalau pengertian korupsinya itu kita sama, kalau nggak sama bagaimana kita mau kerjasama,” katanya.

Restorative Justice Rawan Fraud

Meski pendekatan rehabilitatif (restorative justice) bertujuan mulia, sayangnya sangar rentan dengan risiko fraud. Hal ini terlihat dalam pendekatan restorative justice yang dipakai dalam penegakan hukum pidana di Indonesia dalam 2 tahun terakhir.

Sebagaimana diketahui, Polri merilis Peraturan Kepolisian Nomor 08 Tahun 2021 Tentang Penanganan Tindak Pidana Berdasarkan Keadilan Restoratif. Tempo memberitakan 15.000 perkara bisa diselesaikan dengan mekanisme restorative justice.

Namun, terjadi praktik abuse of power di mana restorative justice tidak sepenuhnya berangkat dari keinginan masyarakat. Hal ini terungkap dalam penelitian “Penerapan Keadilan Restoratif dan Celah Praktik Korupsi” yang dimuat di jurnal Integritas (2023).

Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa dalam praktiknya terdapat sejumlah kerentanan terjadinya praktik koruptif yang tidak sejalan dengan nilai ideal yang ingin dicapai dalam restorative justice. Fungsi mediator yang dijalankan oleh pihak penyidik dan penyelidik rentan disalahgunakan akibat tidak harmonisnya pengaturan, kurangnya mekanisme pengawasan, dan kepentingan para pihak yang berperkara. Perilaku koruptif muncul melalui adanya “jual-beli” perkara yang dapat diselesaikan melalui proses penanganan perkara dengan mekanisme restorative justice

Kedua peneliti, yakni Iqbal Felisiano dan Amira Paripurna dari Universitas Airlangga, menyoroti penyalahgunaan aparat Kepolisian sebagai mediator dalam penyelesaian perkara pidana dengan  pendekatan keadilan restoratif/restorative  justice.

Terungkap bahwa aparat memaksa menghentikan perkara dengan mekanisme keadilan restoratif. Padahal, tindak pidana tersebut tidak termasuk dalam ruang lingkup perkara yang bisa diselesaikan dengan pendekatan restorative justice.

Dalam beberapa kasus lain, aparat cenderung “mendorong” atau “memaksakan” salah satu pihak untuk menyetujui  penyelesaian perkara dengan pendekatan restorative justice.

Jangan Ulangi Kesalahan Jokowi

Usai mendengar paparan Yusril, mantan pimpinan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) Saut Situmorang mengaku memiliki harapan besar pada Prabowo Subianto dalam pemberantasan korupsi di Indonesia.

Dia berharap Prabowo tidak mengulang kesalahan Joko Widodo yang memperlemah KPK dalam 10 tahun pemerintahannya dengan mengubah Keppres Nomor 55 tahun 2012 tentang Strategi Nasional Pencegahan dan Pemberantasan Korupsi Jangka Panjang Tahun 2012-2025 dan Jangka Menengah Tahun 2012-2014.

“Keppres itu diubah di era Jokowi menjadi pencegahan saja. Logikanya dibalik sama sekali. Detilnya pun tidak jelas, sehingga kemudian jadinya seperti ini. Ada perbedaan dalam aspek pencegahan,” ungkap Saut.

Namun Saut mengingatkan bahwa pemberantasan korupsi harus linier dengan pertumbuhan ekonomi, untuk mencapai kesejahteraan masyarakat. Indeks persepsi korupsi (IPK) yang stagnan akan menurunkan daya saing dalam menyerap investasi.

Skor IPK Indonesia stagnan di angka 34 pada tahun 2023. Untuk diketahui, Indeks persepsi korupsi memiliki skor 0-100. Angka 0 berarti paling korup dan angka 100 berarti paling bersih. 

Selama 5 tahun terakhir, IPK Indonesia terus anjlok sehingga posisi Indonesia merosot menjadi 115, dari 180 negara di tahun 2023. Indonesia jauh tertinggal dari Singapura. Demikian juga, kalah dari Malaysia, Vietnam, dan Thailand.

Artinya, restorative justice harus benar-benar efektif memberantas korupsi, manakala aparat penegak hukum yakni Polri dipersepsikan sebagai lembaga penegak hukum terburuk menurut Indonesia Political Opinion (IPO) pada 2023. (est)

\