Rabu, 16 Juli 2025
Term of Use Media Guidelines

"Tumbuh dari Bawah": Membaca Ulang Polemik HMI-PMII

Jangan lagi bertanya "dari mana asalmu?" tapi "mau ke mana kita bersama?" Masa depan umat terlalu berat untuk dipikul sendirian, tapi akan ringan ketika kita pikul bersama-sama. Organisasi besar bukan yang paling keras meneriakkan identitasnya, tapi yang paling ikhlas mengabdi untuk umat.

By
in Social Podium on
"Tumbuh dari Bawah": Membaca Ulang Polemik HMI-PMII
Menteri Koordinator (Menko) Pemberdayaan Masyarakat Muhaimin Iskandar (Cak Imin) memberikan sambutan dalam pengukuhan Pengurus Besar (PB) Ikatan Keluarga Alumni (IKA) Persatuan Mahasiswa Islam Indonesia (PMII) periode 2025-2030 pada Minggu (13/7/2025). (Sumber: PB IKA PMII Official)

Oleh Fahrus Zaman Fadhly, Dosen Universitas Kuningan (UNIKU), pegiat linguistik yang kini aktif sebagai pengurus harian Majelis Nasional Korps Alumni Himpunan Mahasiswa Islam (KAHMI).

Pernyataan Cak Imin (Muhaimin Iskandar) itu menggema seperti dentang gong di tengah gelapnya malam: "Kalau ada yang tak tumbuh dari bawah pasti bukan PMII [Persatuan Mahasiswa Islam Indonesia], itu HMI [Himpunan Mahasiswa Islam]."

Sederhana dalam susunan kata, namun kompleks dalam lapisan makna.

Sebagai seorang pengamat bahasa dan gerakan sosial, saya melihat ini bukan sekadar klaim identitas, melainkan sebuah pertunjukan teater linguistik yang memanggil kita untuk duduk bersama, membaca dengan kepala dingin, dan merajut kembali benang-benang persaudaraan yang mungkin mulai kendur.

Kalimat ini adalah masterpiece strategi framing politik identitas. Perhatikan strukturnya yang simetris namun asimetris: "Tumbuh dari bawah" adalah metafora organik yang menyiratkan kesahajaan, proses alami, dan akar rumput.

Dalam teori linguistik kognitif Lakoff & Johnson (1980), metafora semacam ini membangun pemahaman abstrak (kepemimpinan) melalui konsep konkret (tumbuh-tumbuhan).

"Pasti bukan PMII, itu HMI" menggunakan dikotomisasi eksklusif. Menurut Van Dijk (2006), pola "kita vs mereka" seperti ini adalah ciri khas wacana identitas kelompok.

Yang menarik, Cak Imin memakai struktur definisi negatif—menjelaskan PMII dengan menyebut apa yang bukan PMII. Ini teknik retoris kuno tapi efektif.

Tiga Lapis Makna

bendera HMI

Dalam laboratorium linguistik, pernyataan ini mengkristal menjadi tiga lapisan makna. Lapisan pertama adalah metafora organik "tumbuh dari bawah" yang dengan cerdik membangun citra grassroot.

Lapisan kedua adalah dikotomi halus antara "PMII" dan "HMI" yang sebenarnya adalah saudara sekandung dalam Keluarga Besar Generasi Muda Islam (Gemuis).

Lapisan ketiga, yang paling halus namun paling penting, adalah seruan untuk pengakuan atas jalan yang berbeda dalam mencapai cita-cita yang sama.

Ketika pisau analisis wacana kita tusukkan lebih dalam, kita menemukan bahwa polemik ini sebenarnya adalah bagian dari ritual kedewasaan organisasi.

Setiap gerakan mahasiswa perlu melalui fase "krisis identitas" seperti ini - sebuah momen dimana ia bertanya pada dirinya sendiri: "Siapa aku?" "Dari mana asalku?" "Apa yang membedakanku dengan yang lain?"

Proses pencarian jati diri ini, meski kadang terasa pedih, sebenarnya adalah tanda kesehatan organisasi.

Tapi bahasa adalah pedang bermata dua.

Di satu sisi, ia bisa membangun tembok pemisah; di sisi lain, ia bisa menjadi jembatan penghubung. Pilihan kata "pasti bukan" dalam pernyataan Cak Imin, jika dibaca secara dangkal, bisa menciptakan kesan eksklusivitas.

Namun jika kita menyelami lebih dalam, ini sebenarnya adalah bentuk kecintaan seorang anak pada rumahnya, sebuah pengakuan jujur tentang karakter khusus yang ingin dipertahankan.

Dua Sungai yang Sama

PMII

Sejarah panjang hubungan HMI-PMII ibarat dua sungai yang berasal dari mata air yang sama namun mengalir melalui lembah yang berbeda.

HMI, yang lahir lebih dulu pada 1947, membawa tradisi intelektual yang kuat. PMII, yang lahir tahun 1960, menawarkan nafas segar gerakan akar rumput.

Perbedaan ini seharusnya menjadi kekayaan, bukan sumber perpecahan. Seperti dua sayap burung, keduanya justru saling membutuhkan untuk terbang lebih tinggi.

Gemuis hari ini dihadapkan pada pilihan: apakah akan terjebak dalam debat identitas yang tidak produktif, atau maju bersama menghadapi tantangan zaman yang semakin kompleks. Krisis ekologi, kesenjangan sosial, dan berbagai tantangan internal ummat membutuhkan kolaborasi, bukan kompetisi.

Daripada berdebat siapa yang lebih "asli", mungkin lebih baik kita bertanya: "Apa kontribusi nyata kita untuk umat dan bangsa?" Bahasa memiliki kekuatan untuk menyembuhkan. Mari kita gunakan kata-kata yang membangun jembatan, bukan tembok.

Daripada mengatakan "kami berbeda", mungkin lebih baik kita ucapkan "kami saling melengkapi". Daripada mempertanyakan legitimasi, lebih baik kita duduk bersama merancang agenda bersama.

Karena pada akhirnya, ukhuwah islamiyyah bukan tentang keseragaman, tapi tentang kemampuan merayakan perbedaan dalam bingkai persaudaraan.

Menjaga Adab Perbedaan

Cak Nur

Pelajaran terbesar polemik ini adalah bahwa kedewasaan berorganisasi diukur dari kemampuan membaca maksud baik di balik setiap kritik, menemukan benang merah di balik perbedaan, dan yang terpenting: tetap menjaga adab perbedaan pendapat.

Seperti kata bijak, "Kita boleh berbeda cara asal tidak berbeda tujuan."

Dari alam nun jauh di sana. Cak Nur dan Mahbub Junaidi, dua tokoh HMI yang tumbuh dalam taman NU (Nahdlatul Ulama) berpesan pada kita:

"Organisasi itu seperti pohon. Akarnya harus kuat di tanah, tapi dahannya harus lapang menerima angin dari segala penjuru. Kita boleh berbeda cara, asal tidak berbeda tujuan."

Daripada memperdebatkan siapa lebih "asli", mari kita menyingsingkan lengan untuk kerja-kerja konkret membangun negeri. PMII dengan akar rumputnya, HMI dengan tradisi intelektualnya-keduanya adalah anugerah untuk gerakan Islam Indonesia.

Mari kita akhiri dengan semangat baru: tidak lagi bertanya "Dari mana asalmu?" tapi "Mau ke mana kita bersama?" Karena masa depan umat ini terlalu berat untuk dipikul sendirian, tapi akan ringan ketika kita pikul bersama-sama.

Inilah hakikat sebenarnya dari "tumbuh dari bawah": bahwa kita semua, tanpa terkecuali, adalah bagian dari proses pertumbuhan yang sama.

Sejarah akan mencatat: organisasi yang besar bukan yang paling keras meneriakkan identitasnya, tapi yang paling ikhlas mengabdi untuk umat. Ukhuwah sejati bukan tentang dari mana kita mulai, tapi ke mana kita bersama-sama melangkah.

Baca Juga: Luka di Tanah Zamrud

Akhir kata, "tumbuh dari bawah" bukanlah slogan untuk memisahkan, melainkan pengingat bahwa semua pohon besar—seperti semua organisasi besar—berawal dari biji yang kecil.

Tugas kita sekarang adalah memastikan bahwa pertumbuhan itu tidak hanya meninggikan diri sendiri, tetapi juga memberi manfaat bagi lingkungan sekitar.

Karena pada akhirnya, ukuran sebuah organisasi bukan pada seberapa dalam akarnya mencengkeram tanah, tetapi pada seberapa rindangnya ia memberi teduh bagi yang membutuhkan.***

Simak info publik, kebijakan & geopolitik dunia di kanal Whatsapp dan Telegram TheStanceID.

\