Kamis, 17 Juli 2025
Term of Use Media Guidelines

Budaya Korupsi dan Masa Depan Indonesia: Sebuah Renungan

Relasi praktek korupsi sangat erat kaitannya dengan kekuasaan dan berkelindan membentuk kebiasaan. Kekuasaan dalam budaya Jawa dianggap sebagai substansi metafisik, bukan hasil dari legitimasi rakyat atau konsensus sosial. Praktik korupsi pun dianggap konsekuensi dari kekuasaan.

By
in Social Podium on
Budaya Korupsi dan Masa Depan Indonesia: Sebuah Renungan
Ilustrasi barang yang menumpuk tak berguna karena alokasi anggaran yang tak sesuai kebutuhan. (Sumber: leonardo.ai)

Kurniawan Zulkarnain

Oleh Kurniawan Zulkarnain, mantan Ketua Umum Himpunan Mahasiswa Islam (HMI) periode 1978-1980 yang kini aktif sebagai Konsultan Pemberdayaan Masyarakat dan Dewan Pembina Yayasan Pembangunan Mahasiswa Islam Insan Cita (YAPMIC) Ciputat

Pada 26 Juni 2025, Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) melakukan Operasi Tangkap Tangan (OTT) terhadap Tofan Ginting yang merupakan Kepala Dinas Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat (PUPR) Sumatra Utara karena suap pembangunan jalan.

Topan dikabarkan sebagai orang dekat Gubernur Sumatra Utara Bobby Nasution yang notabene menantu Presiden ke-7 Joko Widodo. Ini merupakan cerita bersambung dari OTT-OTT sebelumnya atas tindakan korupsi oknum pejabat NKRI kita.

Korupsi dilakukan oleh oknum pejabat negara dengan spektrum luas mulai dari legislatif (DPR dan DPRD) hingga yudikatif (Mahkamah Agung dan Pengadilan) dan eksekutif (Kementerian/Lembaga, Pemerintah Daerah dan Kepala Desa).

Perbuatan ini juga dilakukan oleh oknum pejabat BUMN. Menurut Kepala PPATK Ivan Yustianvandana, total transaksi aliran dana pada kasus dugaan korupsi selama tahun 2024 mencapai Rp984 triliun, atau hampir sepertiga anggaran negara.

Indeks Persepsi Korupsi (IPK) Indonesia menurut Transparency Indonesia pada 2024 menempati urutan 99 dari 180 negara, dengan skor 7. Skor IPK berkisar antara 0 (sangat korup) sampai 100 (sangat bersih dari korupsi).

IPK Indonesia terburuk di Asia Tenggara, sementara Singapura mencetak IPK terbaik dengan skor 85 yang berada pada urutan 5 dari 180 negara. Negara paling bersih dari korupsi adalah Denmark, sementara yang paling korup adalah Somalia.

Undang-Undang 31/1999 jo UU 2001 menyatakan bahwa korupsi adalah setiap perbuatan melawan hukum yang dilakukan oleh siapa saja dengan menyalahgunakan kewenangan, kesempatan atau sarana yang ada karena jabatan/kedudukan, dengan tujuan memperkaya diri sendiri/orang lain/suatu korporasi yang merugikan keuangan negara atau perekonomian negara.

Baca Juga: Ponzi Korupsi Para Politisi

Menurut sosiolog Syed Husein Nasr Alatan dalam buku Sociology of Corruption, korupsi adalah penyalahgunaan kepercayaan untuk keuntungan pribadi yang melibatkan tindakan seperti suap, pemerasan, nepotisme dan penipuan dalam jabatan publik.

Sementara menurut Gunnar Myrdal (ekonom pemenang Nobel) dalam buku Asian Drama, korupsi disebut sebagai hambatan pembangunan karena merusak efisiensi birokrasi, memperlambat pertumbuhan ekonomi dan merusak legitimasi negara.

Budaya Korupsi

Ilustrasi Dana Kampanye Parpol

Perbuatan korupsi oleh oknum pejabat dari tingkat pusat, hingga daerah, bahkan tingkat desa, terjadi dalam kurun waktu yang cukup lama dan berulang-ulang seolah menjadi budaya.

Perbuatan tersebut dilakukan tanpa malu dan rasa bersalah dan menyesal. Tampaknya budaya korupsi tengah menggantikan budaya malu.

Tindakan perbuatan korupsi terjadi karena gaya hidup konsumtif dan hedonis, yang mendorong pejabat menyalahgunakan wewenang dan kekuasaannya di tengah lemahnya nilai kejujuran, tanggung jawab, rasa malu dan rasa takut pada hukuman.

Tindakan korupsi juga terjadi karena lemahnya penegakan hukum. Pelaku korupsi sering lolos atau dihukum terlalu ringan.

Rendahnya transparansi dan akuntabilitas birokrasi, sistem rekrutmen politik yang mahal (politik biaya tinggi) memicu praktik "balik modal" saat menjabat. Partai politik menjadi alat mencari dana bukan perjuangan ideologi.

Gaji Aparat Sipil Negara (ASN) atau pejabat yang rendah mendorongnya mencari pemasukan secara ilegal. Ketimpangan ekonomi telah menciptakan rasa ketidakadilan dan menjadi dorongan untuk memperkaya diri.

Dari sisi budaya, tradisi patronase dan nepotisme berupa "asal bapak senang", balas budi dan kolusi sangat kuat. Masyarakat kian permisif terhadap suap dan gratifikasi. Korupsi dianggap "lumrah" atau "risiko jabatan."

Korupsi pun merajalela pada semula lini kehidupan mulai mengurus Kartu Tanda Penduduk (KTP), surat-surat perizinan, mark-up biaya proyek dan lainnya, serta yang lebih tragis lagi korupsi terjadi di dunia pendidikan.

Praktik korupsi telah terjadi dalam kurun waktu lama dan terjadi berulang-ulang, maka korupsi dipandang sebagai bagian hidup sehari-hari dan seolah telah menjadi budaya.

Korupsi dan Budaya Jawa

Ben Anderson

Relasi praktek korupsi sangat erat kaitannya dengan kekuasaan dan berkelindan membentuk kebiasaan.

Dalam budaya Jawa, kekuasaan menurut Benedict Anderson-- pengarang buku The Ideas Power in Javanese Culture--dianggap sebagai substansi atau energi metafisik, bukan hasil legitimasi rakyat atau konsensus sosial, melainkan sebagai daya (kesaktian) yang melekat pada individu tertentu.

Selanjutnya masih menurut Benedict, kekuasaan diekspresikan lewat simbol dan ritus, bukan melalui ideologi politik atau pernyataan kebijakan.

Seorang raja atau pemimpin menunjukkan kekuasaannya melalui keraton, pakaian, pusaka, gamelan, upacara dan bukan melalui perdebatan politik. Bahasa keraton yang halus dan berlapis-lapis menjadi bagian dari kekuasan simbolik ini.

Lebih jauh, Benedict menjelaskan bahwa dalam budaya Jawa, oposisi tidak dianggap sah karena kekuasaan dianggap sebagai sebagai yang tunggal dan tidak terbagi. Oposisi dianggap sebagai gangguan kosmis atau sebagai tanda kekacauan.

Dalam sejarah Jawa, pergantian kekuasaan sering kali bermuara pada perebutan atau kudeta, bukan transisi yang terstruktur.

Kuncaraningrat, seorang antropolog dan pengarang buku Manusia Indonesia dan Kebudayaan berpandangan bahwa budaya tradisional melihat kekuasaan sebagai sesuatu yang sakral dan absolut.

Kekuasaan cenderung dipusatkan dan didekati dengan sikap feodal yaitu menghormati pemimpin secara mutlak dan menghindari kritik.

Dampak Nyata Korupsi di Indonesia

Dua pandangan di atas mengonfirmasi bahwa di masyarakat yang memiliki struktur hierarkis dan patron-klien, kekuasaan sering dipandang sebagai alat untuk memperkaya diri dan kelompok.

Korupsi pun dianggap wajar atau "berhak" dilakukan oleh mereka yang "sudah berjuang meraih kekuasaan." Selanjutnya, korupsi terjadi karena loyalitas lebih kuat kepada kelompok (keluarga, suku, teman dekat) dibanding hukum dan negara.

Perbuatan korupsi sangat merusak masa depan bangsa. Tindakan tersebut berdampak secara luas dan merugikan di berbagai sektor. Korupsi menghambat pertumbuhan ekonomi karena investasi menurun.

Korupsi juga menyebabkan inefisiensi anggaran negara, yang seharusnya digunakan untuk pembangunan, digunakan ke kantong pribadi oknum, sehingga proyek vital tertunda.

Proyek pembangunan jalan, jembatan, sekolah dan rumah sakit seringkali dikorupsi sehingga hasilnya rapuh dan cepat rusak.

Tindak pidana korupsi berdampak pada terjadinya ketimpangan sosial dan kemiskinan, karena bantuan sosial dan program bantuan untuk warga miskin disalahgunakan.

Penyalahgunaan dana Bantuan Operasional Sekolah (BOS), bansos dan korupsi fasilitas publik mengakibatkan fasilitas dan layanan kesehatan jadi buruk.

Tenaga profesional frustrasi, guru, dokter dan pekerja publik lain kehilangan semangat karena sistemnya bobrok dan tidak adil. Akibat penyalahgunaan kekuasaan, pejabat lebih mementingkan kepentingan pribadi/kelompok daripada kepentingan rakyat.

Korupsi juga menyebabkan publik kehilangan kepercayaan, masyarakat apatis terhadap pemerintah dan politisi karena merasa tidak didengar dan dikhianati.

Pemberantasan Korupsi di Indonesia

Untuk menuju Indonesia yang lebih baik dan bebas korupsi, perlu upaya untuk mendorong pemberantasan korupsi yang dilakukan sungguh-sungguh dan ekstra keras.

Upaya itu antara lain dapat dilakukan dengan: pertama melakukan penguatan lembaga antikorupsi seperti Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK), Kejaksaan Agung dan Kepolisian.

Penguatan dapat dilakukan dengan membangun independensi KPK dan menerapkan meritokrasi pada lembaga antikorupsi tersebut.

Kedua, penerapan hukuman maksimal dan efek jera, termasuk pencabutan hak politik dan denda besar, dan mendorong para pihak untuk menyusun dan mengesahkan Undang-Undang Perampasan Aset.

Upaya pencegahan perlu dipastikan dengan sistem pelayanan publik yang lebih transparan dan digitalisasi guna mengurangi kontak langsung yang rawan suap.

Pendidikan antikorupsi sejak dini perlu digalakkan lagi dengan memasukkannya dalam kurikulum sekolah dan pendidikan karakter.

Partisipasi masyarakat dengan membangun keterbukaan informasi publik, memungkinkannya untuk mengakses anggaran, laporan keuangan dan kegiatan pemerintahan. Kolaborasi dengan media massa perlu digalakkan, dibangun dan dijaga.

Dengan memahami akar masalah korupsi dan mendorong upaya pemberantasan lebih keras, kita berharap dapat membangun negara Indonesia--yang kaya sumber daya alam tapi saat ini sebagian besarnya rakyatnya terjerat lingkaran kemiskinan.

Bagai ayam mati di lumbung padi, sebuah paradoks. Wallahu 'Alam Bisshowab.

Simak info publik, kebijakan & geopolitik dunia di kanal Whatsapp dan Telegram TheStanceID.

\