Oleh Arip Musthopa, pengguna jasa penerbangan dan pemerhati layanan publik, pernah berkiprah sebagai Ketua Umum Pengurus besar (PB) Himpunan Mahasiswa Islam (HMI) 2008-2010.
Telah cukup lama masyarakat ramai mengeluhkan tentang mahalnya tiket pesawat, terlebih saat peak season.
Bahkan sering kali terjadi, harga tiket pesawat ke negara tetangga, malah lebih murah, meski jaraknya relatif sama, dibandingkan harga tiket domestik.
Contohnya, harga tiket Jakarta-Batam, untuk penerbangan tanggal 7 Juni 2025, dicari pada 5 Juni 2025 melalui sebuah platform digital, harga termurah adalah Rp979.300. Sedangkan, harga tiket Jakarta-Singapura, harga termurahnya Rp775.300.
Contoh lain, Jakarta-Manado, harga termurah Rp1.824.900. Sedangkan Jakarta-Bangkok, harga termurah Rp1.373.000. Publik pun keheranan dan bertanya, ada apa gerangan?
Pemerintah melalui Menteri Perhubungan, Dudy Purwagandhi memberikan penjelasan. Katanya, “Harga tiket pesawat kenapa ke luar (negeri) lebih murah, salah satunya adalah karena tidak adanya PPN.
Penjelasan berikutnya datang dari Menteri BUMN Erick Thohir. Dia memandang persoalan penurunan harga tiket pesawat bukan persoalan sederhana.
Pasalnya, Erick menyadari “komponen dalam pembentukan harga diatur dalam regulasi yang mengikat. Untuk merubahnya, perlu juga melihat pada regulasi tersebut,”
Penjelasan lain datang dari anggota Komisi Pengawas Persaingan Usaha (KPPU) Budi Joyo Santoso. Menurut dia, faktor penyebabnya adalah mahalnya harga avtur, distribusi avtur yang masih tertutup (dimonopoli), pajak dan perilaku pelaku usaha.
Faktor Avtur
Dari jawaban tiga pejabat publik di atas, jelas bahwa masalah mahalnya harga tiket pesawat didominasi oleh karena adanya sejumlah peraturan atau regulasi dari pemerintah.
Selain itu, anggota KPPU Budi Joyo Santoso mengindikasikan adanya kontribusi harga dan pola distribusi avtur (bahan bakar pesawat) serta perilaku pelaku usaha.
Saat ini, menurut data Kementerian Perhubungan, komponen biaya avtur mencapai 35,76% dari seluruh komponen biaya pembentuk harga tiket pesawat. Apakah porsi tersebut wajar?
Studi ICAO (International Civil Aviation Organization) terhadap sejumlah maskapai penerbangan di Amerika Serikat (AS), yang dipresentasikan tahun 2017, menunjukkan bahwa komponen bahan bakar (fuel) dalam costs per block-hour of operations pada jenis pesawat Boeing 757-200 adalah 21,5%.
Hasil studi lain di Eropa tahun 2019 menunjukkan bahwa komponen fuel and oil (avtur dan pelumas) rata-rata mencapai 24,7% dari struktur biaya maskapai penerbangan.
Apabila kita jadikan dua hasil studi tersebut sebagai pembanding, jelas terlihat bahwa porsi biaya avtur dalam struktur biaya maskapai penerbangan di Indonesia sangat tidak efisien.
Meskipun demikian, membandingkan kondisi Indonesia dengan AS dan Eropa bisa jadi tidak apple to apple, karena regulasi industri penerbangan di setiap negara atau kawasan berbeda-beda.
Oleh karena itu, kita coba cara lain untuk menguji apakah porsi pemakaian avtur dalam struktur biaya maskapai penerbangan di Indonesia sebesar 35,76% itu sudah wajar atau belum.
Data Tak Sinkron
Tabel di atas memperlihatkan perbandingan pertumbuhan traffic (lalu lintas) penerbangan domestik dan internasional dengan pertumbuhan pemakaian avtur oleh maskapai penerbangan Indonesia (berdasarkan data penjualan avtur dari trader/importir).
Dari tahun 2017 sampai 2020, terlihat pertumbuhan yang hampir selaras di antara keduanya. Namun sejak 2021 hingga 2023, terjadi perbandingan pertumbuhan yang tidak selaras.
Perbandingan pertumbuhan 2017-2020 adalah gambaran yang mendekati ideal. Sedangkan tahun 2021-2023, adalah gambaran yang jauh dari ideal.
Data perbandingan 2022-2023, dalam kondisi dunia penerbangan berangsur pulih pasca pandemi Covid-19, menunjukkan adanya indikasi pemborosan pemakaian avtur karena pertumbuhan pemakaian avtur yang jauh di atas pertumbuhan traffic.
Terutama, mulai tahun 2022 di mana persentase pertumbuhan konsumsi avtur tumbuh lebih dari dua kali lipat pertumbuhan traffic.
Hal tersebut menandakan ada yang salah dalam pola konsumsi avtur oleh maskapai, yang bisa disebabkan oleh kelemahan dalam manajemen penerbangan atau unsur kesengajaan karena kepentingan ekonomis tertentu.
Baca Juga: Mengapa Burung Jadi Kambing Hitam di Desember Kelabu Penerbangan?
Penulis tidak dapat memastikan apa penyebabnya karena perlu penelitian yang mendalam, teknikal, dan detil dengan mempelajari data perilaku pesawat saat mesinnya dinyalakan, baik saat on the ground, dan terutama saat in the air.
Meski demikian, data perbandingan di atas sudah cukup kuat sebagai petunjuk bahwa mahalnya harga tiket pesawat dalam beberapa tahun terakhir dikontribusi oleh konsumsi avtur yang tidak wajar atau boros oleh maskapai penerbangan Indonesia.
Kontribusinya menjadi lebih signifikan ketika terjadi kenaikan harga avtur akibat kenaikan harga minyak dunia maupun depresiasi rupiah terhadap dollar AS. Wallahu a’lam bishshawab.***
Simak info publik, kebijakan & geopolitik dunia di kanal Whatsapp dan Telegram TheStanceID.