Senin, 21 Juli 2025
Term of Use Media Guidelines

Moral Panic dan Kegagalan Hindia Mengomunikasikan Ekspresi "Sataniknya"

Menilai berisiko menyimpang dari ajaran agama, Ormas Aliansi Aktivis dan Masyarakat Muslim Tasikmalaya (Al-Mumtaz) menolak kehadiran Hindia dan proyek musik Baskara Putra. Hindia membantah tudingan sebagai penganut ajaran setan dan beralasan simbol iluminati hanyalah ekspresi estetika.

By
in Pop Culture on
Moral Panic dan Kegagalan Hindia Mengomunikasikan Ekspresi "Sataniknya"
Baskara Putra, vokalis Hindia (Sumber: Instagram @wordfangs)

Jakarta, TheStanceID – Musisi Hindia serta grup musik Feast dan Lomba Sihir batal manggung di festival Ruang Bermusik yang berlangsung di Lanud Wiriadinata, Tasikmalaya, Jawa Barat, pada Sabtu (19/7/2025).

Yang menarik, alasan pembatalan manggung para musisi tersebut bukan karena masalah teknis ataupun force majeure (seperti kerusuhan atau bencana alam) tapi karena adanya penolakan dari organisasi kemasyarakatan (ormas).

Pembatalan itu diumumkan secara resmi di platform Instagram oleh akun @ruang_bermusik, Rabu (16/7/2025).

“Dengan berat hati kami sampaikan bahwa Hindia, Lomba Sihir, dan .Feast tidak dapat tampil di Ruang Bermusik 2025,” demikian pernyataan @ruang_bermusik di Instagram.

Menanggapi pembatalan ini, di kolom komentar, Baskara Putra lewat akun Instagram @wordfangs turut buka suara dan mengucapkan terima kasih kepada promotor.

“Sampai bertemu secepatnya temen2 Tasik dan terima kasih @ruang_bermusik atas upayanya,” tulis Baskara di kolom komentar.

Keputusan Pembatalan Hindia Hasil Mediasi

Ruang Bermusik

Promotor sekaligus Founder Ruang Bermusik, Rizki Ginanjar Saputra menjelaskan, keputusan ini diambil usai mediasi dengan Polres Tasikmalaya, Forkopimda, serta sejumlah alim ulama.

Meski pihak penyelenggara telah memberikan penjelasan mengenai konsep acara, perbedaan pandangan tetap muncul. Sejumlah proyek musik yang digawangi Baskara Putra dianggap membawa simbol satanik atau satanisme alias pemujaan setan.

"Kami sudah berusaha menjelaskan secara rinci dalam forum yang dimediasi Polres. Namun pada akhirnya, agar acara tetap bisa terselenggara dengan lancar, kami memilih menurunkan Hindia dan Lomba Sihir dari panggung," ujarnya.

Menurutnya, keputusan tersebut diambil demi keberlangsungan acara dan menjaga stabilitas pelaksanaan Ruang Bermusik yang rutin digelar setiap tahun.

"Yang terpenting adalah acara tetap berjalan. Ruang Bermusik lahir di Tasik, untuk Tasik. Kalau acara sampai batal, dampaknya akan lebih besar, tidak hanya bagi kami, tapi juga ekonomi kreatif dan masyarakat luas," ucapnya.

Meski Hindia, Feast dan Lomba Sihir batal tampil, konser tetap digelar dengan line up lain seperti Maliq & D'Essentials, Nadin Amizah, Whisnu Santika, Perunggu, dan Adhan Veron x HBRP.

Dituding Bawa Simbol Satanik

ormas tasikmalaya

Ketua Umum Aliansi Aktivis dan Masyarakat Muslim Tasikmalaya (Al-Mumtaz), Hilmi menilai kehadiran Hindia dan proyek musik lain dari Baskara Putra ditolak karena adanya simbol-simbol yang dianggap menyimpang dari nilai keislaman.

Hilmi beralasan bahwa beberapa penampilan dan elemen visual dalam aksi panggung Hindia sebelumnya mengandung indikasi yang dinilai tidak sesuai dengan norma dan aturan Islam.

"Beberapa event di Tasik diselenggarakan dengan mudah, bahkan nanti malam juga ada band Wali yang tampil di Tasik. Hanya saja terkait band ini kan ada indikasi band satanik, band yang memang nyerempet pada norma-norma melanggar syariat, dengan pemahaman, simbol-simbol dajjal," ujar Hilmi dalam keterangannya, Selasa (15/7/2025).

Menanggapi polemik ini, Wakil Walikota Tasikmalaya Dicky Chandra mengakui kontroversi ini memang menjadi hal yang pelik bagi Pemerintah Kota Tasikmalaya.

“Satu sisi, kita harus melindungi citra Kota Tasik, tapi di sisi lain juga harus mengikuti kesepakatan atau aturan yang sudah dibuat,” jelas Dicky pada Selasa (15/7/2025) lalu.

Dicky mengatakan bahwa pihak Pemkot telah menjalin komunikasi dengan pihak penyelenggara acara (event organizer/EO) terkait kehadiran Hindia, sebagai upaya antisipasi agar tidak terjadi hal-hal yang tidak diinginkan saat acara berlangsung.

“Saya tidak bicara soal kepentingan pribadi, tapi semua harus sesuai aturan. Pasca kejadian sebelumnya, sudah ada kesepakatan yang mewajibkan adanya komunikasi,” ujar Dicky kepada wartawan, baru-baru ini.

Hindia Juga Batal Tampil di Aceh

Baphomet

Sebelum ditolak di Tasikmalaya, Hindia pernah batal tampil di Taman Budaya Banda Aceh, Rabu (18/6/2025). Baskara dkk tampil di Banda Aceh atas undangan Himpunan Mahasiswa Manajemen Fakultas Ekonomi Universitas Muhammadiyah Aceh (Unmuha).

Namun, konser dibatalkan karena tidak ada izin keramaian. Polisi pun tidak mengeluarkan izin karena panitia tidak mengantongi rekomendasi dari Majelis Permusyawaratan Ulama (MPU) Kota Banda Aceh.

Beredar kabar, salah satu alasan ulama Aceh tidak memberikan izin rekomendasi karena Hindia dikhawatirkan menyebarkan ajaran satanic dan iluminati melalui konser.

Untuk diketahui, satanik atau satanisme adalah sebuah bentuk pemujaan terhadap setan. Ajaran ini adalah bentuk kontra dari ajaran agama samawi yang mengajarkan konsep ketuhanan.

Hindia dicap sebagai penganut satanic usai menggelar konser bertajuk konser Lagipula Hidup Akan Berakhir (LHAB) di Jakarta International Velodrome 13 Nivember 2023. Konser tersebut diketahui mengusung konsep horor.

Berdasarkan video-video yang ramai di media sosial, konser Hindia menampilkan beberapa simbol-simbol satanic. Simbol pertama adalah sebuah patung sosok bersayap sedang mengangkat dua jari.

Patung tersebut tampil di LED panggung selama Hindia menyanyikan lagu "Secukupnya." Banyak warganet yang menyamakan patung tersebut dengan Baphomet, sebuah patung ikonik dalam satanisme.

Selain itu, di sisi kiri dan kanannya, terdapat layar LED yang menampilkan gambar mata satu atau simbol yang sering dikaitkan dengan illuminati.

Video-video tersebut lantas viral dan menyebabkan banyak warganet yang percaya bahwa Hindia adalah penganut satanisme.

Hindia Tidak Berniat Menyebarkan Ajaran Satanic

Hindia - Baskara

Tudingan penganut dan penyebar ajaran satanic sudah lama dibantah oleh Hindia. Terutama pasca konser Lagipula Hidup Akan Berakhir (LHAB) yang berlangsung di Jakarta International Velodrome 13 November 2023.

Lewat akun instagram, Hindia menjelaskan penggunaan visual berbidang segitiga, merupakan kebutuhan estetik semata. Gestur tangan membentuk tanduk, menurut Hindia, juga merupakan ekspresi artistik dirinya di panggung.

“Yang dalam narasi lagu diposisikan sebagai figur yang diserang dan didemonisasi oleh orang-orang di internet,” tulis Hindia.

Hindia memastikan dirinya tak berniat untuk menghasut, mengajak atau menyebarkan ajaran tertentu, lebih-lebih aliran satanis. Sebab, menurut Hindia, simbol-simbol yang ada merupakan konsep dan satu kesatuan estetika dari album dan konser LHAB.

“Miskalkulasi saya adalah tidak memberikan konteks dan penjelasan yang menyeluruh terhadap unsur bahasa visual dan arahan artistik yang digunakan dalam konser LHAB,” tulis Hindia.

“Oleh karenanya, saya meminta maaf terhadap kegaduhan yang terjadi beberapa hari belakangan ini,” ujarnya ketika itu.

Benturan Budaya dan Kepanikan Moral

Satanic

Peneliti psikologi sosial Universitas Indonesia (UI) Wawan Kurniawan menilai penolakan terhadap karya musik dan musisi menggambarkan benturan budaya pop (pop culture) dengan nilai lokal yang berakar pada relijiusitas dan norma komunitarian.

Dalam ilmu psikologi sosial, kata Wawan, fenomena ini dilihat sebagai benturan identitas simbolik.

Musik populer sering kali dianggap membawa nilai-nilai “asing”, ekspresi bebas, kritik sosial, bahkan estetika gelap yang dianggap mengancam struktur nilai lokal yang berbasis pada kohesi sosial, moralitas, dan ketertiban.

Alhasil, ketika budaya populer masuk ke ruang publik lokal, terutama daerah dengan nilai keagamaan tinggi, reaksi defensif muncul sebagai bentuk perlindungan terhadap identitas kolektif.

“Penolakan bukan hanya soal musik, tapi juga soal mengontrol ruang budaya agar tetap sesuai dengan ‘bayangan ideal’ masyarakat tersebut,” ucap Wawan seperti dikutip Tirto. Wawan melihat fenomena ini sebagai bentuk moral panic.

Dalam kajian psikologi sosial dan sosiologi, moral panic terjadi ketika kelompok masyarakat melihat simbol, tindakan, atau kelompok tertentu sebagai ancaman serius terhadap nilai sosial, meskipun ancaman itu belum tentu nyata atau proporsional.

Simbol yang dituduh satanic kerap kali dipersepsikan secara selektif dan kontekstual, pun ditafsirkan dalam kerangka ketakutan kolektif terhadap dekadensi moral.

Baca Juga: Ditutup Soeharto, Kritik Ismail Marzuki di Lagu 'Hari Lebaran' Menyelinap

Moral panic ini diperkuat oleh kehadiran aktor moral entrepreneur, seperti ormas, yang memposisikan diri sebagai penjaga moral komunitas.

Untuk itu, menurut Wawan, pemerintah dan aparat penegak hukum seharusnya lebih proaktif berperan sebagai penjaga keadilan kultural dan konstitusional, bukan sekadar penengah yang “menghindari konflik”.

"Idealnya, pemerintah daerah perlu menjamin kebebasan berekspresi sebagai bagian dari hak warga. Selain itu, perlu juga membuka ruang mediasi antara seniman dan masyarakat. Dan, menghadirkan edukasi kultural agar publik tidak mudah terjebak dalam stigma simbolik atau hoaks moral,” jelas Wawan. (est)

Simak info publik, kebijakan & geopolitik dunia di kanal Whatsapp dan Telegram The Stance.

\