Ditutup Soeharto, Kritik Ismail Marzuki di Lagu 'Hari Lebaran' Menyelinap
Salah satu aspek menonjol dari lagu itu adalah sindiran terhadap perilaku konsumtif dan korup.

Jakarta, TheStanceID - Ada banyak lagu yang mengangkat momen idulfitri yang dibuat oleh para komposer tanah air. Tapi tak banyak lagu tentang idulfitri yang berisikan kritikan atas kondisi di masyarakat apalagi sindiran kepada pemerintah.
Lagu 'Hari Lebaran' karya maestro Ismail Marzuki boleh dibilang menjadi satu-satunya yang memenuhi unsur tadi. Begitu populernya, lagu ini bahkan diaransemen ulang oleh banyak seniman.
Selama ini kita disuguhi lagu “Hari Lebaran” versi populer dengan potongan lirik yang menenangkan hati, bersuka cita, dan “aman-aman saja” (khususnya di bagian reffrain-nya).
Dari waktu ke waktu, terutama menjelang Hari Raya Idul Fitri, lagu versi aman itulah yang kerap terdengar di radio-radio dan dinyanyikan di media televisi.
Setelah berpuasa satu bulan lamanya
Berzakat fitrah menurut perintah agama
Kini kita beridul fitri berbahagia
Mari kita berlebaran bersuka gembira
Berjabatan tangan sambil bermaaf-maafan
Hilang dendam habis marah di hari lebaran
Minal aidin wal faizin, maafkan lahir dan batin
Selamat para pemimpin, rakyatnya makmur terjamin
Lirik Asli Dipotong
Lirik lagu di atas merupakan bagian stanza pertama. Padahal sesungguhnya lagu 'Hari Lebaran' memuat lirik yang lebih banyak lagi dan jarang diketahui banyak orang.
Baru setelah disiarkan di media sosial, terungkaplah lirik lagu itu dalam versi lengkapnya.
Salah satunya melalui video cover version oleh band yang mengambil pengaruh era 1950an, Deredia, yang sejak 2015 telah dipublikasikan di Youtube dan telah tersebar di TikTok.
Mereka membawakan lagu 'Hari Lebaran' versi lirik lengkap termasuk bagian verse kedua sampai selesai yang sempat dipotong.
Dari video cover band itu, baru diketahui bahwa karya ini tidak hanya menggambarkan sukacita menyambut hari kemenangan. Tetapi juga menyisipkan kritik sosial terhadap perilaku masyarakat dan kondisi pemerintahan pada masa itu.
Mulai dari hidup prihatin, kalangan yang biasa berjudi dan minum brendi yang berujung kelahi suami-istri, sampai korupsi yang tentu saja bertentangan dengan esensi Idulfitri sebagai momen penyucian diri.
Dari segala penjuru mengalir ke kota
Rakyat desa berpakaian baru serba indah
Setahun sekali naik trem listrik pere
Hilir mudik jalan kaki pincang sampai sore
Akibatnya tenteng selop sepatu terompe
Kakinya pada lecet babak belur berabe
Maafkan lahir dan batin ‘lang tahun hidup prihatin
Cari uang jangan bingungin ‘lan Syawal kita ngawinin
Minal aidin wal faizin, maafkan lahir dan batin
Selamat para pemimpin, rakyatnya makmur terjamin
Cara orang kota berlebaran lain lagi
Kesempatan ini dipakai buat berjudi
Sehari semalam main ceki mabuk brendi
Pulang sempoyongan kalah main pukul istri
Akibatnya sang ketupat malayang ke mate
Si penjudi mateng biru dirangseng si istri
Maafkan lahir dan batin ‘lang tahun hidup prihatin
Kondangan boleh kurangin, korupsi jangan kerjain
Kuat Unsur Musik Jazz
Ismail Marzuki lahir pada 11 Mei 1914 di Jakarta dan dikenal sebagai komponis besar yang banyak menciptakan lagu-lagu patriotik dan bertema sosial.
Beberapa karyanya yang terkenal antara lain “Halo-Halo Bandung,” Lenggang Jakarta", “Indonesia Pusaka,” dan “Gugur Bunga.”
Sebagai penghormatan atas jasanya, namanya diabadikan sebagai Taman Ismail Marzuki (TIM), sebuah pusat kesenian di Jakarta. Pemerintah juga menetapkannya sebagai Pahlawan Nasional pada 10 November 2004.
Ismail Marzuki pertama kali memperkenalkan lagu 'Hari lebaran' melalui siaran Radio Republik Indonesia (RRI).
Menurut Rachmi Aziah, putri dari Ismail Marzuki, lagu yang telah diciptakan pada tahun 1950-an itu diciptakan ayahnya saat acara kumpul keluarga.
"Kalo ada yang bilang lagu itu ada yang mengandung kritik untuk korupsi apa segala, saya kan gak ngerti. Saya cuma berpikir, kalo gitu sejak jaman bapak berarti sudah ada korupsi. Berarti korupsi itu dari zaman baheula udah ada. sampai sekarang," jelas Rachmi dikutip Narasi.
Lagu “Hari Lebaran” awalnya dilantunkan grup vokal Lima Seirama di Radio Republik Indonesia (RRI) pada 1952. Lalu dipopulerkan dalam bentuk rekaman pada tahun 1954 oleh Didi, nama samaran dari Suyoso Karsono dengan iringan orkes dibawah pimpinan Mus Mualim.
Didi atau kerap dipanggil Mas Yos merupakan seorang penerbang Angkatan Udara RI yang juga penyiar Radio AURI. Ia dijuluki sebagai The Singing Comodore dan namanya lekat dengan kehidupan musik jazz di Indonesia.
Ia membangun studio Irama (label musik pertamanya) dan Irama Record yang didirikannya sekaligus merupakan perusahaan rekaman pertama juga menjadi label pertama di Indonesia yang memiliki mesin pencetak piringan hitam.
Peneliti Musik Michael Haryo Bagus Raditya menyebut, latar belakang jazz yang kuat dari mas Yos inilah yang membuat lagu 'Hari Lebaran' ciptaan Ismail Marzuki berhasil memadukan unsur Jazz dan Melayu sehingga menciptakan nuansa yang unik dan menarik bagi pendengarnya.
Sentil Koruptor dan Kesenjangan
Salah satu aspek menonjol dari lagu hari lebaran adalah sindiran tajam terhadap perilaku konsumtif dan korupsi yang terjadi di masyarakat. Lirik seperti 'Lan tahun hidup prihatin, kondangan boleh kurangin korupsi jangan kerjain'.
Ini mencerminkan kritik Ismail terhadap praktek korupsi yang sudah merajalela pada masa pada masa itu.
Ninok Leksono dalam bukunya "Ismail Marzuki: Senandung melintas zaman" menyoroti obsesi Ismail terhadap pemberantasan korupsi yang dianggap sebagai praktik jahat.
Selain itu, lagu ini juga kuat menggambarkan dan berhasil merekam kesenjangan sosial antara masyarakat desa dan kota dalam merayakan Idulfitri di era 1950-an. Masyarakat desa ketika itu digambarkan berbondong-bondong ke kota dengan pakaian baru.
Sementara, masyarakat kota justru memanfaatkan momen Lebaran untuk berjudi dan mabuk-mabukan. Gambaran ini memberikan pandangan tentang perbedaan budaya dan perilaku antara kedua kelompok masyarakat tersebut.
Menariknya, beberapa bait yang mengandung kritik sosial dalam lagu ini sempat dihilangkan dalam beberapa versi. Dan di aransemen ulang terutama pada masa orde baru.
"Alasannya karena (lagu Hari Lebaran) dianggap tidak elok karena merayakan suka cita lebaran, masak mabuk brendi, pukul istri" ungkap Ninok. "Padahal tidak mengada-ada, karena ada fenomena sosial yang teramati pada waktu itu."
Tipikal Karya Ismail Marzuki
Pengamat musik David Tarigan menilai lagu 'Hari Lebaran' merupakan tipikal karya dari Ismail Marzuki, yang dalam setiap karyanya selalu menampilkan sisi kontras atas suatu fenomena di masyarakat.
Latar belakang Ismail sebagai orang yang lahir dan besar di Jakarta, juga membuatnya paham benar dengan kondisi dan fenomena yang terjadi di masyarakat saat itu. Untuk kemudian, dia respon melalui sebuah karya lagu.
"Itu bukan sekedar lagu selebrasi Lebaran yang gembira, tapi dia menyajikan kontras dengan pembawaan jenaka dan pintar gitu ya," ujar David.
"Liriknya pintar dan menggambarkan keadaan Jakarta pada saat itu mungkin juga dalam merayakan lebaran. Ada kritik sosial juga di sana," sambungnya.
Setelah era reformasi, lirik asli yang menyentuh isu korupsi kembali dinyanyikan secara lengkap, mengingatkan kita akan relevansi pesan moral yang disampaikan Ismail Marzuki.
Hingga saat ini, lagu 'Hari Lebaran' tidak hanya menjadi simbol suka cita menyambut Idulfitri tetapi juga sebagai momen introspeksi alias pengingat akan pentingnya hidup sederhana ketimbang eforia sesaat. (est)
Untuk menikmati berita peristiwa di seluruh dunia, ikuti kanal TheStanceID di Whatsapp dan Telegram.