Selasa, 19 Agustus 2025
Term of Use Media Guidelines

Film Merah Putih: One for All Banjir Kritik, Bukti Animasi Tanah Air Punya Standar

Meski mendapat banyak kritik dan penolakan, film animasi Merah Putih: One for All akhirnya tayang di bioskop mulai 14 Agustus 2025. Yang mengherankan, mereka dapat slot tayang di bioskop saat ratusan film lain masih harus mengantre. Sutradara Hanung Bramantyo yang turut menonton film ini di bioskop menilai film ini dipaksakan dan belum layak tayang, karena dari segi kualitas hasilnya seperti film yang belum selesai dibuat.

By
in Pop Culture on
Film Merah Putih: One for All Banjir Kritik, Bukti Animasi Tanah Air Punya Standar
llustrasi adegan film animasi Merah Putih : One For All (Sumber Foto: Dok. Perfiki Kreasindo)

Jakarta, TheStanceID – Film animasi Merah Putih: One for All besutan sutradara Endiarto akhirnya resmi tayang serentak di sejumlah bioskop, pada Kamis (14/8/2025).

Film ini hadir sebagai produksi Perfiki Kreasindo dengan produser Toto Soegriwo, serta dukungan dari Yayasan Pusat Perfilman H. Usmar Ismail.

Selama 70 menit, penonton diajak mengikuti kisah yang diklaim sebagai animasi anak Indonesia pertama yang mengangkat tema kebangsaan.

Sebelum tayang di layar lebar, film Merah Putih: One for All sempat menjadi bahan perbincangan hangat di media sosial sejak trailer-nya dirilis pada 8 Agustus 2025. Pemicunya, kualitas visual yang dinilai tak meyakinkan, adegan-adegan yang kaku, hingga muncul tuduhan ia dibuat dengan memakai aset karakter 3D daring.

Pertanyaan publik pun makin tajam karena film ini diklaim dibuat dengan biaya produksi sekitar Rp6,7 miliar. Hal ini membuat warganet makin skeptis, dengan biaya miliaran rupiah tapi kualitas animasinya terlalu rendah.

Berbagai asumsi liar pun berseliweran, salah satunya menyebut karya tersebut sebagai “proyek pemerintah”. Asumsi itu barangkali berangkat dari logo Hari Ulang Tahun (HUT) ke-80 Republik Indonesia yang tersemat di poster filmnya. Jadwal tayang film ini pun berdekatan dengan momen Peringatan Proklamasi 17 Agustus, tepatnya pada 14 Agustus 2025. Meski kemudian tuduhan itu dibantah oleh produser film.

Muncul Seruan Batalkan Penayangan Merah Putih: One for All

film merah putih 2

Gelombang kritik warganet dan sineas memicu perdebatan sengit soal aturan main penayangan di bioskop dan memunculkan seruan agar penayangan film Indonesia ini dibatalkan.

Sutradara Hanung Bramantyo menjadi salah satu figur publik yang mempertanyakan bagaimana film ini bisa mendapat slot tayang, sementara ada lebih dari 200 judul film Indonesia lain yang menunggu giliran.

"Terus kenapa buru-buru tayang? Ironisnya kok bisa dapat tanggal tayang di tengah 200 judul film Indonesia ngantre tayang? Kopet!" tulis Hanung di Instagram.

Hanung menilai kualitas film ini berada di bawah standar industri. Ia juga membandingkan biaya produksinya yang disebut hanya Rp6,7 miliar dengan standar produksi film animasi Indonesia yang umumnya memakan Rp30-40 miliar di luar biaya promosi.

"Kalau itu ditayangkan, sudah pasti penonton akan resisten," ujar Hanung.

sutradara film merah putih

Dukungan terhadap pembatalan film Merah Putih: One for All juga datang dari Ketua Badan Perfilman Indonesia (BPI), Gunawan Paggaru yang beralasan pembatalan film tersebut demi memberi pelajaran bagi industri perfilman nasional.

"Saya setuju. Lebih baik dibatalkan supaya kita dapat pelajaran banyak. Dan itu berbahaya buat XXI," katanya.

Dirinya merasakan keresahan para sineas lain yang sudah mengantri panjang agar filmnya bisa masuk layar, mengingat jumlah layar bioskop di Indonesia masih terbatas, yakni hanya 2.145 layar di 517 lokasi per Februari 2024.

"Kalau dia (bioskop) menayangkan sesuatu yang tidak layak ditonton, orang yang antre itu gimana," katanya.

Meski menuai kritik dan kontroversi, Film animasi Merah Putih: One for All akhirnya tetap tayang serentak di sejumlah bioskop, mulai Kamis (14/8/2025).

Sutradara sekaligus produser eksekutif Merah Putih: One for All, Endiarto, mengaku jumlah layar film ini sangat terbatas.

Bukan karena filmnya eksklusif atau strategi pemasaran aneh-aneh, tapi menurutnya karena modalnya minim. Bahkan, Endiarto menyebut kalau proyek ini dibangun dengan 'biaya terima kasih'.

"Jadi hanya biaya itu yang saya sebut tadi, saat ini kita baru mampu 16 layar dari permintaan yang banyak, yang menyusul itu saya bilang mohon maaf kami belum mampu. LSF tetap harus membayar," ujarnya.

Lantas, bagaimana respon warganet setelah menonton film ini?

Beragam Reaksi Setelah Nonton Film Merah Putih: One for All

bioskop merah putih

Berdasarkan penelusuran TheStance, setelah pemutaran perdana, banyak warganet menumpahkan kekecewaan melalui media sosial, terutama di platform X.

Salah satu akun X, @rozeflur menyebut, audio film ini mengganggu telinga dan alur cerita yang membingungkan. Kemudian, studio dipenuhi tawa penonton di momen-momen yang tidak seharusnya lucu.

Review film Merah Putih: One for All: gak usah nonton. Audio bikin sakit kuping, alur cerita kayak mimpi pas demam. Sepanjang 70 menit satu studio pada ketawa. Total penonton day 1, jadwal pertama di Bandung cuma 14 orang,” keterangan dari unggahan akun X @rozeflur.

"Alur ceritanya sudah ketebak 99 persen dari “Trailer” kok, alasan nonton beginian cuma “apakah sejelek trailernya?” ternyata lebih parah,” ungkap akun @indra_emc2.

Beberapa warganet justru berterima kasih kepada akun @rozeflur, karena dianggap “berkorban” menonton lebih dulu untuk memberi gambaran kepada publik.

“Terima kasih atas pengorbanannya kak. Semoga amal ibadahnya diterima Yang Maha Kuasa,” komentar akun @teguhkebo.

Film Belum Layak Tayang

Hanung Bramantyo

Sutradara Hanung Bramantyo yang turut menonton film tersebut juga tak ketinggalan memberikan komentarnya mengenai kualitas film animasi kontroversial tersebut.

Menurutnya, kualitas Merah Putih: One For All seperti film yang belum selesai dibuat.

"Ya, saya harus menonton film itu karena kan enggak fair kalau saya nonton cuma trailer aja. Nah saya nonton. Tapi memang seperti yang saya duga bahwa film itu emang belum selesai untuk dibuat ya," ujar Hanung Bramantyo di XXI Kemang Village, Jakarta Selatan pada Kamis (14/8/2025).

Sutradara film Ayat-Ayat Cinta ini menilai film terlalu dipaksakan untuk segera tayang di bioskop.

Hanung pun turut mempertanyakan biaya produksi film yang mencapai lebih dari Rp 6 miliar, jika melihat dari kualitas film yang dihasilkan.

"Kalau ini nilainya Rp 6 M sekian segala macam, buat saya itu patut dipertanyakan dan perlu diaudit. Dan buat saya ini adalah preseden buruk jika jadi contoh," katanya.

Jumbo Menjadi Standar Baru Animasi Indonesia

Jumbo

Kritik keras warganet terhadap Merah Putih: One for All boleh dikatakan terbangun karena film animasi sebelumnya 'Jumbo' hadir dengan pencapaian kualitas cerita dan animasi tinggi.

Sebagai catatan, Jumbo yang disutradarai Ryan Adriandhy itu berhasil meraih rekor fantastis: 10 juta penonton.

Oleh karena itu, Jumbo cukup aman untuk dikatakan telah menjadi standar bagi film animasi Indonesia. Terlebih, penonton sudah disuguhkan standar Jumbo dan terekspos film-film berkualitas produksi studio ternama, seperti Ghibli, Disney, dan Pixar.

Dosen Departemen Ilmu Komunikasi UGM, Budi Irawanto mengatakan, terlepas dari berbagai tudingan yang diarahkan ke para pembuat film Merah Putih: One for All, dia menganggap kualitas film ini pun memang jauh dari standar masyarakat.

“Dengan kita baru saja ada gema atau hype Jumbo gitu ya, yang memang secara production value, ya cerita, kemudian ini sangat oke secara visual dan segala macem,” kata Budi.

Apalagi, proses produksi film animasi sejatinya tidak mudah. Meski tak menggunakan aktor manusia, film animasi justru punya PR untuk membangun karakter. Dengan begitu, karya animasi sebenarnya bisa mewadahi imajinasi tak terbatas dari pembuat film.

Berkaca pada film Jumbo, film animasi ini digarap Ryan bersama 420 kreator dan puluhan pengisi suara serta memakan waktu pengerjaan selama 5 tahun.

Jumbo yang tayang perdana di bioskop pada tanggal 31 Maret 2025 ini juga berhasil mendapat sambutan positif penikmat film dan mampu menjadikannya sebagai film Indonesia dengan pendapatan tertinggi sepanjang masa menggusur film KKN di Desa Penari. Jumbo juga menggusur Frozen 2 sebagai film animasi dengan pendapatan tertinggi di Indonesia.

Budi menambahkan, meski pembuatan film animasi anak-anak banyak tantangan dan membutuhkan waktu lama dalam pengerjaan, ketika film itu berhasil di pasar, secara bisnis ia justru sangat menguntungkan.

"Sebab, seseorang cenderung akan menonton bersama keluarga ketika menyaksikan film anak-anak," katanya. (est)

Simak info publik, kebijakan & geopolitik dunia di kanal Whatsapp dan Telegram The Stance

\