Jakarta, TheStance – Media sosial beberapa waktu terakhir diramaikan dengan unggahan terkait kebebasan memotret di ruang publik.

Pemicunya, pengalaman seorang pengunjung Tebet Eco Park Jakarta Selatan, AM (34), pada Kamis (16/10/2025). Ia ingin memotret suasana taman. Namun, belum lama memotret, seorang pria berompi dan beridentitas komunitas fotografer menegurnya.

Pria itu kemudian meminta AM menunjukkan izin memotret. Namun, perdebatan tak berhenti di situ.

Menurut AM, pria tersebut menawarkan “keanggotaan” di komunitas fotografinya dengan biaya Rp 500.000 agar bisa tetap memotret di taman. Biaya itu disebut mencakup kartu identitas anggota. Selain itu ada potongan 10% untuk komunitas jika hasil foto itu laku dijual.

“Saya merasa seperti diancam. Akhirnya saya berhenti motret,” ujar AM.

Alasan, ia menolak bergabung dengan komunitasitu karena memotret hanyalah kegiatan rekreasi baginya, bukan untuk komersial.

Fenomena ini kemudian menimbulkan kemarahan bahwa ruang publik di Jakarta mulai dikuasai kelompok preman tertentu.

Pungli diterapkan dengan dalih biaya keanggotaan komunitas.

Pengelola Tegaskan Tak Ada Larangan

Fotografer tebet

Atas kejadian ini, pengelola taman menegaskan bahwa aktivitas fotografi di Tebet Eco Park tetap diperbolehkan tanpa perlu izin khusus.

“Dari pihak dinas tidak melarang adanya aktivitas fotografi di dalam area taman, baik itu dari komunitas maupun perorangan. Dari pihak dinas maupun teman-teman di lapangan tidak mengeluarkan izin khusus,” jelas Kasi Taman Kota, Dinas Pertamanan dan Hutan Kota DKI Jakarta, Dimas Ario Nugroho.

Dimas menambahkan, pihaknya juga sudah menegur komunitas fotografi yang melakukan pungutan liar (pungli) sebesar Rp 500.000 kepada pengunjung yang ingin memotret di taman itu.

"Untuk tindak lanjutnya, kita sudah melakukan panggilan, klarifikasi dan teguran terhadap komunitas tersebut," kata Dimas, Selasa (21/10/2025).

Ke depannya, pengelola Tebet Eco Park berkomitmen menggencarkan sosialisasi larangan pungutan liar terkait kegiatan fotografi yang bersifat non komersil di kawasan tersebut.

Dimas juga menegaskan, warga dapat beraktivitas di taman, salah satunya memotret di ruang terbuka hijau tersebut secara gratis, selama tidak dalam bentuk komersial.

Kegiatan komersial yang dimaksud itu, seperti bazaar, produk bermerek dan sebagainya, yang nantinya diarahkan ke Pelayanan Terpadu Satu Pintu (PTSP).

Aturan Memotret di Ruang Publik masih Abu-abu

Tebet Eco park

Pada dasarnya, ruang publik adalah tempat yang terbuka untuk melakukan segala aktivitas selama tidak ada larangan yang mengaturnya, termasuk kegiatan fotografi.

Namun, penting juga untuk memahami terkait privasi, hak cipta dan etika dalam melakukan kegiatan fotografi atau memotret di ruang publik.

Jika di ranah jurnalistik foto, para pewarta foto memiliki acuan yang jelas, yakni Kode Etik Jurnalistik dan UU Pers. Kedua norma tersebut menjadi pedoman bagi pewarta foto saat memotret di ruang publik.

Lantas, bagaimana dengan aturan memotret di ruang publik untuk orang umum?.

Di Indonesia, aturan memotret di tempat publik masih abu-abu. Belum ada peraturan yang tegas mengaturnya. Namun, tidak berarti memotret di tempat publik menjadi bebas semaunya. Tetap ada batasan serta etika untuk menjaga kebebasan dan privasi orang lain. Kebebasan dalam memotret tidak boleh mengganggu kebebasan dan privasi orang lain di tempat publik.

Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, sudah menjamin perlindungan privasi. Pasal 28G Ayat (1) menyatakan, ”Setiap orang berhak atas perlindungan diri pribadi, keluarga, kehormatan, martabat, dan harta benda yang berada di bawah kekuasaannya, serta berhak atas rasa aman dan perlindungan dari ancaman ketakutan untuk berbuat atau tidak berbuat sesuatu yang merupakan hak asasi.”

Di sinilah bisa berlaku aturan UU Nomor 28 Tahun 2014 tentang Hak Cipta. Di UU tersebut diatur bahwa potret diri seseorang tidak diperkenankan disebarluaskan untuk kepentingan reklame atau periklanan secara komersial tanpa izin tertulis.

Memang masih terjadi kerancuan tafsir mengenai komersialisasi yang terbatas untuk iklan dan reklame ini. Akan tetapi, adanya aturan ini setidaknya mulai memberikan batasan dan perlindungan privasi untuk tujuan komersial.

Secara umum, mengambil foto di tempat umum diperbolehkan, tetapi ada beberapa pengecualian yang perlu diperhatikan.

Misalnya, fotografi yang terkait dengan instalasi atau fasilitas militer, dokumen dan dalam segala bentuknya yang terkait dengan keamanan negara juga termasuk dilarang untuk dipublikasikan secara luas.

Selain itu, gedung kedutaan besar dan rumah duta besar dari negara lain juga umumnya dilarang untuk dipublikasikan secara luas apalagi untuk kepentingan komersial.

Untuk itu, agar tidak tersandung masalah hukum, sebaiknya menghindari untuk menjadikan instalasi militer, gedung kedutaan besar sebagai objek fotografi, meskipun pengambilan gambar berada di ruang publik.

Fotografi Terkait Hak Cipta

Foto HI

Perlu diketahui juga bahwa di ruang publik ternyata terdapat hak cipta, misalnya terkait dengan karya arsitektur, seperti bangunan, gedung atau benda lain yang serupa dengannya yang dapat diklasifikasi sebagai karya arsitektur yang dilindungi oleh Undang-undang.

Memotret gedung bisa jadi pelanggaran hak cipta apabila ada nilai komersial yang terlibat. Namun, apabila tidak ada nilai komersil sekalipun, pemegang hak cipta atas gedung tersebut memiliki kewenangan untuk melarang orang memotret gedung tersebut.

Kasus ini pernah terjadi saat Pengadilan Negeri Jakarta Pusat pada tahun 2021 lalu. Ketika itu PN Jakarta Pusat memutuskan Mal Grand Indonesia telah melanggar hak cipta karena menggunakan sketsa Tugu Selamat Datang sebagai logo mal tanpa izin.

PN Jakarta Pusat pun menghukum Grand Indonesia untuk membayar ganti rugi Rp1 miliar kepada ahli waris Henk Ngantung selaku pemegang hak cipta Tugu Selamat Datang.

Berkaca dari kasus itu, penting untuk diperhatikan bagi para fotografer, sebelum memotret pastikan dulu tidak ada larangan untuk memotret gedung tersebut. Atau cara paling aman adalah dengan menyertakan objek manusia didalam gedung, sehingga gedung hanya berfungsi sebagai pemanis dalam sebuah karya fotografi.

Namun, jika anda ingin tetap menggunakan gedung tersebut sebagai objek untuk kepentingan komersial, pastikan mengurus perijinan pada pemegang hak cipta gedung tersebut, untuk menghindari masalah hukum.

Hati-hati Mengambil Gambar Tanpa Izin

Foto Candid

Salah satu aktifitas memotret yang bisa potensial menjadi pelanggaran hukum adalah mengenai foto tersembunyi alias candid. Seringkali di ruang atau fasilitas publik seperti kereta komuter terjadi pemotretan candid dan kemudian fotonya tersebar dan viral.

Mengambil foto atau merekam seseorang tanpa seizin, lalu digunakan untuk kepentingan komersial, ternyata bisa menjadi masalah besar dan berujung pada tuntutan hukum.

Karena setiap orang punya hak atas privasi masing-masing, dan hal itu juga sudah tertulis di pasal 12 ayat 2 Undang-undang Hak Cipta.

Sehingga, jika orang itu melihat tapi tidak terima fotonya kamu share untuk kepentingan komersial tanpa izin, dia punya hak untuk menuntut.

Pidananya sesuai Pasal 115 Undang-Undang Hak Cipta. Yaitu, setiap orang yang tanpa persetujuan dari yang dipotret atau ahli warisnya melakukan hal yang ada di pasal 12 bisa dipidana denda paling banyak Rp500 juta. Maka dari itu, penggunaan potret untuk display atau hal komersial harus minta izin terlebih dulu.

Tindakan ini tidak hanya melanggar hukum, tetapi juga etika.

Aturan Memotret di Negara Lain

Widya Sartika Amrin

Di Indonesia, aturan mengenai memotret di tempat publik dianggap masih belum seketat di negara lain.

Di beberapa negara, seperti Uni Emirat Arab dan Qatar, ada aturan tertulis yang melarang siapa pun memotret gedung dan fasilitas milik negara. Bangunan gedung, kantor pemerintah, istana, dan fasilitas militer merupakan wilayah terlarang untuk diambil fotonya. Sistem keamanan dengan adanya kamera pengawas di mana-mana, penegakan aturan ini cukup ketat. Alhasil, saat ada orang memotret fasilitas negara dan terpantau kamera pengawas, tak berapa lama pasti ada petugas keamanan atau polisi yang mendatangi.

Di Qatar, bahkan ada aturan tegas lagi terkait memotret perempuan di tempat publik. Ada aturan yang melarang memotret perempuan asli Qatar tanpa izin. Jika melanggar, tanpa peringatan bisa dilaporkan ke polisi dan sanksi hukum menanti.

Di beberapa negara Eropa juga sangat melindungi privasi, terutama anak-anak. Memotret anak di tempat umum di negara Eropa bisa mengundang gugatan orangtuanya.

Hal berbeda justru terjadi di Indonesia, dimana memotret orang di tempat publik relatif mudah.

”Bule yang datang ke Indonesia sangat suka karena bebas memotret. Bahkan, kalau ada anak kecil difoto bule, orangtuanya malah bangga,” ujar Pegiat Street Photography, Widya Sartika Amrin.

Menurut Widya, fotografi jalanan membutuhkan manusia dalam bingkainya. Namun, pengambilan foto ini akan berusaha tidak mengganggu privasi orang.

”Memotret street itu dilakukan spontan, tanpa mengganggu privasi, dan biasanya kita usahakan meminta izin sebisa mungkin,” ujar fotografer yang juga mengelola beberapa komunitas fotografi jalanan ini.

Penting bagi kita untuk selalu menghargai privasi dan hak setiap individu sebelum menggunakan gambar mereka untuk kepentingan pribadi maupun bisnis.

Dengan pemahaman akan etika serta menghargai privasi orang di tempat publik, persoalan gugatan dan klaim wilayah selayaknya akan dihindari. Sebaliknya, fotografi sebagai salah satu bentuk industri kreatif pun akan bisa berkembang. (est)

Simak info publik, kebijakan & geopolitik dunia di kanal Whatsapp dan Telegram The Stance