Jakarta, TheStance – Tindakan Gubernur Sumatera Utara Bobby Nasution yang menghentikan truk berpelat BL (nomor polisi Aceh) dan meminta diganti menjadi pelat BK (nomor polisi Sumut) di Kabupaten Langkat, Sumatera Utara, pada Sabtu (27/9/2025) menuai kritik dan polemik.
Sejumlah kalangan menilai permintaan Bobby tersebut tidak memiliki dasar hukum yang kuat dan salah kaprah karena bertentangan dengan regulasi nasional.
Kejadian ini pun memantik kembali ingatan publik terkait naik turunnya hubungan antara Pemprov Sumatera Utara (Sumut) dan Aceh.
Sebagai catatan, pada Juni 2025 lalu muncul polemik usai empat pulau Aceh ditarik ke Sumut. Persoalan itu kemudian diselesaikan lewat rapat bersama Presiden Prabowo Subianto dengan memutuskan empat pulau tersebut kembali masuk wilayah Aceh.
Bantah Razia Pelat BL asal Aceh di Sumut
Bobby Nasution menglarifikasi bahwa apa yang terjadi bukanlah razia maupun penindakan, melainkan sosialisasi awal aturan penggunaan pelat kendaraan yang akan diberlakukan mulai tahun 2026.
Menurut Bobby, aturan ini bukan hal baru dan sudah dijalankan di beberapa provinsi lain.
“Ini aturan yang sudah banyak dilakukan, bukan hanya di Sumut. Riau sudah melaksanakan, Gubernurnya langsung turun ke jalan. Lalu di Jawa Barat, Kalbar, Kalteng. Giliran kita kok malah heboh,” ujar Bobby di DPRD Sumut, Senin (29/9/2025).
Bobby menjelaskan, inti kebijakan ini adalah kewajiban bagi perusahaan yang berdomisili dan beroperasi di Sumut untuk menggunakan kendaraan berpelat BK maupun BB, bukan pelat luar daerah.
Dia mengatakan, tujuan dari kebijakan ini agar pajak kendaraan masuk ke kas Sumut dan bisa dipakai kembali untuk memperbaiki infrastruktur, termasuk jalan rusak.
“Kemarin itu kebetulan yang lewat pelat BL, bukan berarti kita larang kendaraan Aceh masuk ke Sumut. Kalau perusahaannya di Aceh, silakan saja. Tapi kalau perusahaan berdomisili di Sumut, ya pajaknya harus ke Sumut juga,” tegasnya.
Ia menambahkan, Pergub soal aturan penggunaan pelat tersebut sedang dikaji Badan Penerimaan Daerah (Bapenda) Sumut bersama Badan Perencanaan, Penelitian dan Pengembangan (Bappelitbang), dan baru akan diterapkan pada tahun 2026.
Untuk sementara, pemerintah masih melakukan pendataan melalui bupati, khususnya di daerah industri.
“Kalau melintas silakan, baik pelat BL, BM, atau lainnya. Tapi kalau perusahaan dan operasionalnya di Sumut, ya harus patuh nanti 2026. Jadi sekarang masih sosialisasi dan pendataan,” jelasnya.
Respons Gubernur dan Senator Aceh
Sementara itu, Gubernur Aceh Muzakir Manaf alias Mualem tidak ambil pusing dengan tindakan Bobby tersebut.
"Biarkan orang lain berkicau. Tapi kita wanti-wanti juga, kalau sudah dijual kita beli, kalau sudah gatal kita garuk," kata Mualem dalam rapat paripurna di DPR Aceh, Senin (29/9/2025).
Mualem meminta semua pihak tetap tenang. Dia mengaku memilih diam dan bersabar.
"Tapi enggak apa-apa, kita tenang saja. Kita anggap angin berlalu, kicauan burung yang merugikan dia sendiri. Kita tunggu setelah siap fery kita nanti," jelas Mualem.
Persoalan ini pun mendapatkan reaksi keras dari Anggota DPD RI asal Aceh, Sudirman Haji Uma. Menurutnya, Bobby perlu melakukan sosialisasi sebelum mengambil tindakan.
"Perlu proses sosialisasi yang intensif sebelum diterapkan maksimal sehingga tidak memicu sentimen serta mengganggu keharmonisan antar daerah bertetangga. Saya rasa kebijakan tersebut tendensius dan grusa-grusu," kata Haji Uma dalam keterangannya.
Keberadaan kendaraan berpelat BL yang beroperasi di Medan, kata Haji Uma, pada dasarnya tidak dapat dipisahkan dari fakta bahwa kendaraan angkutan barang maupun penumpang memiliki jalur lintas provinsi.
"Sebagai daerah bertetangga, tentunya kendaraan saling melintas antar Aceh dan Medan dengan pelat BL maupun pelat BK. Ini mestinya tidak boleh menjadi sasaran dari razia tersebut karena ada aturan hukum yang mengatur yaitu UU No. 22 Tahun 2009 tentang Lalu Lintas dan Angkutan Jalan," ujarnya.
"Hubungan Aceh dan Medan sudah terjalin lama, baik dalam perdagangan maupun interaksi sosial. Jangan sampai hubungan yang baik ini dirusak oleh kebijakan sepihak yang justru mengorbankan kepentingan masyarakat luas," sambung Haji Uma.
Aturan Truk di Sumut Wajib Pelat BK Salah Kaprah
Pengamat transportasi yang juga akademisi Prodi Teknik Sipil Unika Soegijapranata, Djoko Setijowarno, menilai tindakan Gubernur Sumatera Utara Bobby Nasution yang memberhentikan kendaraan truk dengan pelat BL asal Aceh, itu salah kaprah.
Alasannya, aturan pelat luar daerah yang ditiru Bobby dari provinsi lain tidak bisa diterapkan untuk kasus perlintasan antarprovinsi, seperti Aceh–Sumut.
Wakil Ketua Pemberdayaan dan Pengembangan Wilayah Masyarakat Transportasi Indonesia (MTI) Pusat tersebut menilai Bobby telah salah kaprah karena tidak bisa membedakan truk yang beroperasional dengan jarak pendek maupun yang melintasi provinsi.
"Dia enggak bisa membedakan di mana kendaraan itu untuk melintas jarak jauh dan jarak pendek, atau hanya lokal (provinsi) saja," ucap Djoko.
Ia tidak menyalahkan aturan yang ditiru Bobby, hanya saja Djoko menilai kasusnya berbeda. Sebelumnya, Bobby mengatakan aturan tersebut sudah diterapkan di daerah lain, seperti Riau, Jawa Barat, Kalimantan Barat, dan Kalimantan Tengah.
"Kalau di Riau itu benar, saya membenarkan. Ini, plat nomornya, plat nomor luar Riau, dia operasinya ngangkut kayu, perusahaan kayu ada di sana. Truk berada di situ saja, ke pabrik atau pelabuhan atau ke mana, itu kan merusak jalan kan. Yang bayar pajaknya di daerah lain itu enggak boleh. Kalau Kaltim juga sama seperti itu, kalau Aceh itu enggak, itu bisa marah orang," ujar Djoko.
Menurut Djoko, aturan daerah lain yang ditiru Bobby berlaku untuk mobil truk operasional bernomor pelat luar daerah yang hanya beroperasi di daerah tersebut dan tidak kembali ke asalnya.
Tujuan dari kebijakan ini agar pajak kendaraan masuk ke kas Sumut dan bisa dipakai kembali untuk memperbaiki infrastruktur, termasuk jalan rusak.
Baca Juga: Budaya Korupsi dan Masa Depan Indonesia: Sebuah Renungan
Dirinya khawatir, jika Bobby membuat pelarangan truk selain Sumut seperti BK atau BB yang melintasi Sumut, maka daerah lain seperti Aceh akan memberlakukan aturan serupa.
"Kalau itu (daerah lain) enggak apa-apa. Kalau yang Aceh ke Medan, Medan ke Aceh itu enggak apa-apa. Nanti orang Aceh minta juga aturan itu," ucapnya.
Djoko menilai masih ada banyak hal di Sumut yang bisa ditingkatkan sebagai pemasukan pajak. Salah satunya melalui potensi pariwisatanya.
Ia mencontohkan negara lain seperti China yang mendorong setiap kota-kotanya menjadi tempat berwisata yang ramah dan menyenangkan. Langkah itu terbukti dapat meningkatkan penghasilan daerah selain pajak perusahaan dan kendaraan.
Menurutnya, jika pemda mengandalkan pajak kendaraan, maka hanya akan membuat kemacetan di mana-mana.
"Meningkatkan PAD itu jangan kendaraan bermotor, harusnya wisatanya ditingkatkan. Bukan kendaraan bermotor, kendaraan bermotor yang banyak kotanya jadi macet," jelasnya.
Potensi Memicu Masalah Baru
Sementara itu, pengamat ekonomi dan politik Aceh, Usman Lamreung, menilai kebijakan Gubernur Sumatera Utara (Sumut) Bobby Nasution yang meminta truk asal Aceh berplat BL diganti menjadi plat BK saat beroperasi di Sumut, bisa menimbulkan polemik yang luas.
Langkah tersebut dinilai tidak mencerminkan semangat membangun hubungan baik antarprovinsi, bahkan dianggap cenderung mementingkan kepentingan sepihak.
Apalagi, permintaan tersebut tidak memiliki dasar hukum yang kuat karena bertentangan dengan regulasi nasional.
“Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2009 tentang Lalu Lintas dan Angkutan Jalan secara jelas menyatakan bahwa kendaraan yang memiliki STNK [Surat Tanda Nomor Kendaran] dan TNKB [Tanda Nomor Kendaraan Bermotor] resmi sah digunakan di seluruh wilayah Indonesia. Jadi, permintaan untuk mengganti plat kendaraan hanya karena melintas di provinsi lain tidak sesuai aturan,” kata Usman dalam keterangannya.
Dari sisi ekonomi, kata Usman, kebijakan itu bisa merugikan kedua belah pihak. Bagi pengusaha asal Aceh, beban biaya tambahan akan menimbulkan ketidakpastian usaha. Sementara bagi Sumut, distribusi barang bisa terhambat, biaya logistik meningkat, dan citra sebagai daerah transit utama di Sumatera ikut terganggu.
“Orientasi fiskal jangka pendek justru bisa menimbulkan kerugian jangka panjang,” ujarnya.
Selain itu, Usman juga menyoroti dampak sosial politik akibat kebijakan Bobby tersebut, mengingat plat kendaraan Aceh merupakan bagian dari identitas daerah yang jika dipersoalkan, dapat memicu sentimen kedaerahan.
“Kalau sentimen ini meluas, bukan hanya hubungan baik antara Aceh dan Sumut yang terganggu, tetapi juga kohesi nasional yang menjadi fondasi otonomi daerah,” tegasnya.
Akademisi Universitas Abulyatama Aceh ini pun menyarankan agar solusi ditempuh melalui kerja sama antarprovinsi, misalnya dengan skema bagi hasil pajak atau kompensasi infrastruktur yang difasilitasi pemerintah pusat.
“Itu lebih realistis, legal, dan tidak merugikan pelaku usaha maupun masyarakat,” pungkas Usman. (est)
Simak info publik, kebijakan & geopolitik dunia di kanal Whatsapp dan Telegram The Stance