Harun Al-Rasyid Lubis

Oleh Harun Al-Rasyid Lubis. Guru Besar Fakultas Teknik Sipil dan Lingkungan (FTSL) Institut Teknologi Bandung (ITB), alumni KRA 37 Lembaga Ketahanan Nasional (Lemhanas), kini menjadi Ketua Rukun Warga (RW) 16 Kelurahan Sekeloa, Bandung, kini aktif di Infrastructure Partnership & Knowledge Center (IPKC) dan menjadi anggota tim teknis WCC (Waste Crises Center) Kementerian Lingkungan Hidup (KLH).

Walaupun ekuilibrium kekuasaan lama dan baru masih terus berayun, satu tahun kepemimpinan Presiden Prabowo Subianto mencatatkan paradoks pembangunan yang mengkhawatirkan.

Di satu sisi, pemerintah meluncurkan program-program unggulan turunan kampanye politik.

Di sisi lain, target pertumbuhan 8% yang ambisius justru berakhir dengan tindakan panik—pergantian para menteri, terakhir Menteri Keuangan mendadak dan peluncuran stimulus Rp200 triliun yang terburu-buru.

Yang sudah dilakukan setahun ini adalah efisiensi anggaran, terutama infrastruktur, khususnya Pekerjaan Umum (PU), turun drastis 50%—ancaman bagi tertundanya banyak pemeliharaan infrastruktur PU.

Berbeda dari zaman Jokowi, ritual gunting pita infrastruktur kini turun drastis.

Badan Pengelola Investasi (BPI) Danantara yang baru disiapkan untuk dapat mendorong investasi publik dan quasi-swasta (less commercial) masih berbenah untuk menjadi operator (penyelenggara) holding BUMN.

Baru-baru ini peran Kementerian BUMN pun sudah pula berganti menjadi Badan Pengaturan (regulator) BUMN, yang menimbulkan banyak tanya.

Retak di Fondasi: Ketika Percepatan Mengalahkan Substansi

Program-program andalan seperti Makan Bergizi Gratis (MBG), Koperasi Desa Merah Putih, dan Sekolah Rakyat memang memiliki skala monumental.

Namun implementasinya mengungkap cacat fundamental dalam model tata kelola: mengutamakan kecepatan politik di atas keberlanjutan teknokratis.

  1. MBG: Bencana Logistik yang Terprediksi

    Kasus makanan basi dan menu tidak bergizi bukanlah kegagalan niat, melainkan kegagalan desain operasional.

    Ketiadaan pilot project membuat kerentanan rantai pasok tidak terdeteksi sejak dini. Pemerintah berasumsi dapat memperlakukan operasi logistik pangan yang kompleks seperti penyaluran logistik ala militer.

  2. Koperasi Desa: Lubang Hitam Rp200 Triliun

    Program dengan risiko terbesar ini mengalokasikan dana triliunan tanpa mekanisme distribusi yang transparan dan akuntabel.

    Tidak adanya model bisnis yang viable mengindikasikan tujuan sekedar penyaluran dana, bukan penciptaan usaha pedesaan berkelanjutan.

  3. Sekolah Rakyat: Membangun Tembok, Bukan Masa Depan

    Fokus pada pembangunan fisik 3.000 unit berisiko menciptakan "sekolah hantu"—struktur tanpa pendidikan berkualitas. Tanpa rekruitmen guru yang memadai dan kurikulum yang relevan, program ini gagal membangun ekosistem pembelajaran.

  4. Program 3 Juta Hunian: Warisan Masalah yang Terus Berulang

    Kementerian baru Perumahan dan Kawasan Permukiman (PKP) dengan anggaran Fasilitas Likuiditas Pembiayaan Perumahan (FLPP) Rp 41,88 triliun hanya melanjutkan tradisi keliru pembangunan perumahan di Indonesia.

Kegagalan Sistemik Program 3 Juta Rumah

BNI - Maruarar

Pencapaian kuantitatif dalam jumlah unit yang terbangun menutupi kegagalan kualitatif yang sistemik:

  • Lokasi yang terisolir

    Banyak rumah dibangun di daerah terpencil tanpa akses memadai ke pusat pekerjaan. Yang terlihat "terjangkau" secara harga justru menjadi beban ekonomi baru akibat biaya transportasi yang membengkak.

    Menekankan eksekusi hunian formal layak terjangkau, namun mengabaikan potensi rumah komunitas dan urgency rumah sosial (singgah).

  • Infrastruktur yang Tertinggal

    Pembangunan rumah tidak diiringi penyediaan infrastruktur dasar yang memadai. Yang terjadi adalah penciptaan kantung-kantung permukiman baru tanpa akses air bersih, listrik stabil, sanitasi layak, sekolah, dan puskesmas.

  • Kualitas Konstruksi yang Dipertanyakan

    Pengawasan yang lemah dan penekanan pada target kuantitas sering mengorbankan kualitas bahan bangunan dan standar konstruksi. Hasilnya adalah rumah yang cepat mengalami kerusakan.

Mentalitas Sektor dengan program silo ini menjadi contoh nyata kegagalan koordinasi antar kementerian. Kementerian PKP membangun rumah, namun koordinasi dengan kementerian terkait infrastruktur, transportasi, dan sosial terputus.

Krisis Kepercayaan dan Solusi Instan

ChartKetika memasuki bulan ke-10, menjadi jelas target 8% mustahil tercapai:

  • Realisasi investasi hanya 68% dari target

  • Pertumbuhan ekonomi tersendat di 5,8%

  • Tekanan politik memuncak

  • Serapan APBN jauh di bawah target

Respons pemerintah justru mengkhawatirkan: sontak penggantian menteri keuangan mendadak dan peluncuran stimulus Rp200 triliun tanpa persiapan memadai.

Kebijakan ini mengandung risiko serius:

  1. Tanpa pilot project dan uji coba terbatas

  2. Monitoring & evaluasi yang tidak jelas

  3. Risiko moral hazard dalam penyaluran kredit

  4. ⁠Supply kredit murah atau persoalan “daya beli” dan inovasi bisnis?

Resep Teknokratis untuk Tahun Berikutnya

sasaran tembakPemerintah harus beralih dari pola pikir kampanye ke pola pikir pembangunan:

  1. Jeda Operasional dan Perbaikan Mendasar

    · Hentikan ekspansi nasional MBG, fokus pada perbaikan rantai pasok

    · Bekukan penyaluran dana koperasi, mulai dengan pilot project terbatas

    · Kembangkan prosedur operasi standard (standard operating procedure/SOP) nasional berbasis pembelajaran lapangan

  2. Bentuk Unit Pelaksana Teknokratis

    · Tim ahli independen yang melapor langsung ke presiden

    · Kewenangan melakukan uji stres pra-implementasi

    · Memantau KPI berbasis hasil, bukan penyerapan anggaran

  3. Transformasi Program Perumahan: dari Unit ke Komunitas

    · Terapkan Prinsip "No Housing Without Habitat"

    · Syaratkan integrasi infrastruktur dasar dalam setiap proyek perumahan baru

    · Prioritaskan pembangunan di lokasi strategis dekat pusat pekerjaan

    · Bentuk Ombudsman Pengawasan Kualitas Perumahan dengan kewenangan menyetop proyek yang tak penuhi standard

    · Bangun Kawasan Terpadu dan Hunian Berimbang

    · Kembangkan model kluster yang menyatukan perumahan dengan kawasan industri kecil, pendidikan, dan kesehatan

    · Wajibkan penyediaan lahan untuk fasilitas publik dalam setiap perencanaan kawasan permukiman

    · Integrasikan program perumahan dengan transportasi publik

  4. Rekayasa Sinergi Program

    · Integrasikan pengadaan MBG dengan koperasi desa

    · Jadikan sekolah sebagai hub komunitas multifungsi

    · Bangun kawasan terpadu yang menyinergikan permukiman, pendidikan, dan ekonomi

Pilihan Legacy: Percepatan vs Berkelanjutan

Tahun pertama Prabowo membuktikan keberanian politik yang tak diragukan. Namun keberanian saja tidak cukup.

Stimulus Rp200 triliun mungkin akan mendongkrak pertumbuhan jangka pendek, namun tanpa fondasi teknokratis yang kuat, kebijakan ini berisiko menjadi beban jangka panjang.

Program 3 Juta Hunian adalah cermin tepat pilihan ini: terus membangun unit-unit fisik yang terisolasi, atau beralih ke pendekatan komunitas terpadu yang menciptakan lingkungan hidup yang layak dan berkelanjutan.

Pilihan untuk tahun kedua sangat jelas: teruskan model "serbu terobosan untuk capai target ambisius" yang mengorbankan sustainability demi percepatan, atau beralih ke pendekatan teknokratis dengan membangun sistem berkelanjutan, yang memang perlu waktu.

Sudah waktunya menukar ketergesaan dengan ketelitian, trade-off politik dengan evidence-based policy, dan warisan slogan dengan warisan sistem. Masa depan Indonesia tergantung pada pilihan ini.

Tahun kedua harus menjadi momentum koreksi fundamental. Bukan dengan program baru yang gegap gempita, tetapi dengan:

  1. Menata ulang pendekatan pembangunan berbasis evidence-based policy

  2. Memperbaiki tata kelola fiskal dan birokrasi

  3. Membangun sistem yang sustainable bukan proyek yang sensasional

Baca Juga: Mereformasi Krisis Sampah Kota: Dari Harapan Palsu Solusi Instan, Menuju Ekosistem Terdistribusi

Keberhasilan pembangunan tidak diukur dari jumlah proyek yang dimulai, tetapi dari manfaat riil yang dirasakan rakyat dan keberlanjutan sistem yang dibangun.

Dengan pendekatan yang lebih teknokratis, terukur, dan accountable, pemerintahan tahun kedua dapat membangun fondasi kuat untuk transformasi ekonomi Indonesia yang sesungguhnya.

Indonesia tidak membutuhkan pemerintah yang hanya sibuk; Indonesia membutuhkan pemerintah yang efektif.

Warisan sejati bukan diukur dari jumlah program yang diluncurkan, melainkan dari sistem yang tetap bertahan dan bermanfaat setelah pemimpinnya lengser.***

Simak info publik, kebijakan & geopolitik dunia di kanal Whatsapp dan Telegram The Stance.