Harun Al-Rasyid Lubis

Oleh Harun Al-Rasyid Lubis. Guru Besar Fakultas Teknik Sipil dan Lingkungan (FTSL) Institut Teknologi Bandung (ITB), alumni KRA 37 Lembaga Ketahanan Nasional (Lemhanas), kini menjadi Ketua Rukun Warga (RW) 16 Kelurahan Sekeloa, Bandung, kini aktif di Infrastructure Partnership & Knowledge Center (IPKC) dan menjadi anggota tim teknis WCC (Waste Crises Center) Kementerian Lingkungan Hidup (KLH).

Kota-kota besar Indonesia sedang dalam keadaan darurat sampah.

Gunungan sampah di tempat pembuangan akhir (TPA) yang melampaui batas dan sungai-sungai yang berubah menjadi saluran limbah adalah bukti nyata dari krisis sistemik yang mengancam kesehatan publik, ekonomi, dan lingkungan.

Akar masalahnya sederhana namun parah: timbulan sampah yang masif tidak diimbangi dengan sistem pengelolaan yang memadai, dan prinsip “pencemar membayar” (polluter pays principle) belum diimplementasikan secara efektif.

Dalam keputusasaan, solusi instan seperti Pembangkit Listrik Tenaga Sampah (PLTSa) skala besar (grande) sering diangkat sebagai panacea. Namun, pengalaman empiris justru memberikan peringatan keras.

Jalan keluar yang lebih realistis, tangguh, dan berkelanjutan justru terletak pada pembangunan ekosistem pengelolaan sampah terdistribusi—jaringan dari solusi skala mikro hingga menengah—yang didorong inovasi regulasi dan platform pembiayaan digital.

Mitos PLTSa Skala Besar: Mengapa Solusi Grande Sering Gagal?

senja di kotaInvestasi PLTSa skala regional memang menawarkan daya tarik politis dan ekonomi yang besar. Namun, penerapannya di Indonesia ibarat memaksakan sepatu yang tidak sesuai ukuran. Setidaknya ada empat tantangan fundamental:

  1. Komposisi Sampah yang Tidak Ideal

    Fakta dasarnya adalah: sampah kota Indonesia mengandung 50-60% material organik yang basah dan berat. Kandungan air yang tinggi ini membuat nilai kalorinya (calorific value) sangat rendah, sehingga sampah tidak dapat terbakar secara efisien.

    Pada akhirnya, plant seringkali membutuhkan bahan bakar fosil tambahan (seperti batu bara) untuk mempertahankan pembakaran, yang justru menggerus klaim manfaat lingkungan dan menambah beban biaya operasional.

  2. Beban Modal dan Operasional yang Tidak Terjangkau

    Investasi untuk sebuah plant insinerator skala besar bisa mencapai ratusan juta bahkan miliar dolar AS.

    Biaya teknologi yang canggih, ditambah dengan kebutuhan tenaga ahli dan perawatan tinggi, menciptakan beban fiskal yang berat bagi pemerintah daerah.

    Skema Kerja Sama Pemerintah dan Badan Usaha (KPBU) yang kompleks pun seringkali tersendat dalam tahap perencanaan dan lelang, memperlambat solusi yang sangat dibutuhkan.

  3. Dilema Pra-Pemrosesan yang Mahal

    PLTSa yang efisien memerlukan bahan baku sampah yang telah dipilah. Kenyataan di lapangan berkata lain: sistem pengumpulan sampah campuran adalah norma.

    Membangun fasilitas pra-pemrosesan (pemilahan) yang terpisah adalah sebuah keharusan yang mahal, yang sering diabaikan dalam kalkulasi biaya awal.

    Tanpa pemilahan, risiko emisi beracun (seperti dioksin dan furan) meningkat tajam, memicu penolakan masyarakat.

    Selain itu, biaya logistik untuk mengangkut sampah dari sumber yang tersebar ke satu titik pusat sangatlah besar dan boros energi, dibandingkan dengan sistem terdistribusi yang memproses sampah lebih dekat ke sumbernya.

  4. Mengabaikan Realitas Sosio-Ekonomi

    Sektor informal pemulung adalah tulang punggung de facto daur ulang Indonesia. Sebuah PLTSa yang membakar segala jenis sampah, pada dasarnya, ikut membakar mata pencaharian jutaan orang.

    Sebuah sistem yang mengabaikan mereka bukan hanya tidak adil, tetapi juga merusak mata rantai ekonomi sirkular yang telah terbentuk secara organik.

Cetak Biru Ekosistem Terdistribusi: Dari Mikro ke Menengah

sampah kotaSolusi yang lebih cerdas adalah beralih dari pendekatan sentralistik menuju model jaringan yang lapis dan terdesentralisasi, yang memandang sampah sebagai sumber daya yang harus dikelola di setiap tingkat.

Di Tingkat Mikro (Komunitas & RT/RW):

  • Pengolahan Organik Terdesentralisasi

    Mengatasi 60% masalah dari sumbernya. Program kompos menggunakan keranjang takakura atau biodigester skala rumah tangga dapat mengubah sampah dapur menjadi pupuk atau biogas untuk memasak.

    Ini secara drastis memotong volume dan biaya angkut.

  • Formalisasi Sektor Daur Ulang

    Integrasi Bank Sampah dengan Fasilitas Pemulihan Material (MRF) komunitas akan memformalkan dan meningkatkan efisiensi para pemulung.

    Warga mendapat insentif ekonomi untuk memilah, sementara industri daur ulang mendapat pasokan bahan baku yang lebih bersih dan terjamin.

Di Tingkat Menengah (Kecamatan & Pasar):

  • Fasilitas Pengolahan Antara (intermediate processing facility/IPF) untuk (Refuse-Derived Fuel/RDF)

    Ini adalah teknologi krusial yang menjembatani kesenjangan. IPF menerima sampah sisa dari beberapa kelurahan, memilahnya secara mekanis: material daur ulang dipulihkan, organik dialihkan, dan sisanya diolah menjadi Bahan Bakar dari Sampah (RDF).

    RDF adalah bahan bakar berkualitas lebih tinggi dan stabil yang dapat digunakan di industri semen, menawarkan jalur waste-to-energy yang lebih layak daripada insinerasi langsung.

  • Biogas Skala Pasar

    Pasar tradisional adalah titik penghasil sampah organik terbesar. Instalasi biodigester skala menengah di lokasi dapat memproses tonase sampah harian menjadi energi, sekaligus mengurangi beban lingkungan dan bau.

Mesin Finansial: Mendanai Masa Depan Bersih dengan Digitalisasi

Danareksa Research InstituteKegagalan sistem lama sering berujung pada masalah pendanaan. Solusinya adalah menciptakan sistem yang mandiri secara finansial melalui transparansi dan insentif yang tepat.

Platform digital adalah katalisnya:

  1. “Bayar-Sesuai-Yang-Dibuang” (pay as you trash/PAYT) Digital

    Integrasi dengan dompet digital (GoPay, OVO) memungkinkan warga membayar iuran sampah secara mudah. Sistem PAYT memberi insentif finansial langsung: semakin sedikit dan semakin baik Anda memilah, semakin sedikit yang Anda bayar.

  2. Tarif Tipping yang Cerdas dan Transparan

    Di pintu masuk TPA atau IPF, sistem digital menimbang truk dan secara otomatis menghitung biaya tipping fee berdasarkan berat dan jenis sampah.

    Pembayaran non-tunai menghilangkan kebocoran, sementara tarif yang lebih mahal untuk sampah campuran mendorong pemilahan di hulu.

  3. Inklusi Keuangan untuk Sektor Informal

    Platform Bank Sampah digital memberikan dompet elektronik kepada pemulung dan rumah tangga. Nilai dari daur ulang yang disetorkan dikreditkan langsung, memformalkan pendapatan dan memberikan pengakuan atas kontribusi ekonomi mereka.

Baca Juga: Politik Ekonomi Pengelolaan Sampah Kota

Ekosistem terdistribusi membutuhkan landasan regulasi yang kuat:

  • Regulasi Wajib Pilah dari Sumber: Peraturan Presiden (Perpres) atau Rancangan Undang-Undang (RUU) yang mewajibkan pemilahan sampah di sumbernya merupakan pondasi utama.

  • Standarisasi Nasional: Penerapan standar warna tong sampah nasional (Hijau: Organik, Kuning: Daur Ulang, Merah: B3, Abu-abu: Residu) menciptakan keseragaman dan memudahkan edukasi.

  • Penegakan Konsisten di Akar Rumput: Petugas berwenang untuk tidak mengangkut sampah yang tidak dipilah, disertai dengan sistem denda progresif bagi pelanggar berulang. Ini menciptakan konsekuensi langsung dan membangun disiplin kolektif.

  • Penerapan Extended Producer Responsibility (EPR): Produsen (khususnya FMCG) diwajibkan berkontribusi finansial untuk mengelola kemasan pasca-konsumsi mereka, menciptakan aliran dana yang berkelanjutan untuk sistem daur ulang.

Krisis sampah Indonesia tidak dapat diselesaikan dengan solusi instan berbiaya tinggi yang mengabaikan realitas lokal. Kita harus beralih dari paradigma end-of-pipe yang terpusat menuju paradigma ekonomi sirkular yang terdistribusi.

Tahapan menuju solusi yang berkelanjutan melibatkan:

  • Pemberdayaan dari Bawah: Membangun dari tingkat akar rumput dengan kompos dan Bank Sampah.

  • Penguatan Jaringan: Menghubungkan komunitas dengan IPF yang menciptakan produk bernilai ekonomi seperti RDF.

  • Digitalisasi sebagai Tulang Punggung: Memanfaatkan teknologi untuk menciptakan sistem pembiayaan yang transparan, adil, dan mandiri.

Pendekatan multi-lapis ini lebih tangguh, inklusif secara sosial, dan layak secara finansial.

Ia bukan hanya mengatasi krisis sampah, tetapi juga membangun fondasi untuk ekonomi hijau yang menciptakan lapangan kerja dan memulihkan lingkungan kita. Inilah jalan yang lebih bijak menuju Indonesia yang bersih dan berdaulat energi.***

Simak info publik, kebijakan & geopolitik dunia di kanal Whatsapp dan Telegram The Stance.