Tanpa Oposisi, Kabinet Gemuk Berisiko Normalkan Kolusi dan Suburkan KKN

Tak hanya mendorong "persatuan", kabinet gemuk berisiko mematikan oposisi dan menyatukan semangat kolusi.

By
in Headline on
Tanpa Oposisi, Kabinet Gemuk Berisiko Normalkan Kolusi dan Suburkan KKN
Presiden Joko Widodo (Jokowi) berjalan bersama Presiden terpilih Prabowo Subianto di peringatan HUT ke-79 TNI, di lapangan Silang Monas, Jakarta, Sabtu (5/10/2024). Sumber: https://www.fraksigerindra.id/

Jakarta, TheStanceID - Jelang pelantikan pada 20 Oktober nanti, Presiden Terpilih Prabowo Subianto mengisyaratkan bahwa kabinetnya akan bersifat akomodatif. Mendorong persatuan, sekaligus menghilangkan oposisi yang berisiko menormalkan kolusi politik.

Prabowo menyatakan ingin membentuk pemerintahan yang kuat sehingga perlu koalisi yang besar, dengan berdalih bahwa Indonesia adalah negara yang besar.

"Saya ingin membentuk pemerintahan persatuan nasional yang kuat, terpaksa koalisinya besar. Nanti akan dibilang, 'huh kabinet Prabowo kabinet gemuk, banyak'. Ya negara kita besar, Bung!" ujar Prabowo dalam acara BNI Daily Investor di JCC, Senayan, Jakarta, Rabu (9/10/2024).

Dia lantas membandingkan Indonesia dengan Timor Leste yang punya 28 Menteri, meski jumlah penduduknya hanya sekitar 1,3 juta orang atau lebih kecil dari populasi Kabupaten Bogor Jawa Barat.

Dalam kesempatan yang sama, Prabowo mengatakan ada banyak menteri di kabinet Presiden Joko Widodo (Jokowi) yang akan berkiprah di kabinetnya nanti. Prabowo menyebutkan, hal itu baru ia sadari saat sedang menyusun formasi kabinetnya.

"Bahkan dalam saya menyusun kabinet, kok saya melihat, banyak juga ya menteri-menteri yang akan datang ya. Banyak juga yang berada di kabinet yang sekarang (Jokowi), gitu," ujar Prabowo.

Oleh karena itu, menteri-menteri di kabinet Jokowi yang berkinerja baik akan diminta untuk kembali bergabung pada kabinet mendatang. "Kalau kebetulan orangnya masih bagus, pasti kita akan minta untuk ikut lagi," kata Prabowo.

PDIP Masuk Kabinet

Sebelumnya, Sekretaris Jenderal Partai Gerindra Ahmad Muzani menyebutkan bahwa nomenklatur kabinet Prabowo sudah mulai disusun. Sejumlah calon menteri sudah dipanggil untuk bertemu Prabowo.

"Orang dan nomenklatur sudah mulai disusun dan bahkan sudah mulai ada yang dipanggil," kata Muzani di Kompleks Parlemen, Jakarta, Rabu (9/10) dikutip dari Kompas.

Menurut rencana, susunan kabinet akan diumumkan pada tanggal 20 atau 21 Oktober 2024 setelah Prabowo dilantik sebagai presiden.

Salah satu bocoran terbaru yang diungkap Muzani adalah keterlibatan PDIP di dalam Pemerintahan Prabowo. Muzani mengungkap bahwa akan ada kader PDIP yang akan masuk.

"Tunggu... tunggu..., insya Allah ada," kata Muzani menjawab soal isu tiga nama kader PDIP berada di kabinet Prabowo.

Nama tiga calon menteri Prabowo dari PDIP itu pertama kali dilontarkan oleh Ketua DPP PDIP Said Abdullah pada Kamis (3/10).

Dikutip dari Detik, Said saat itu menyebut Budi Gunawan, Olly Dondokambey, hingga Azwar Anas tinggal menunggu restu Megawati untuk menjadi menteri di kabinet Prabowo.

Sinyal PDI Perjuangan merapat ke Pemerintahan Prabowo-Gibran kian berhembus kencang. Terlebih Puan Maharani kembali didapuk menjadi Ketua DPR RI pada 1 Oktober 2024.

Padahal peluang perubahan UU MD3 begitu terbuka lebar mengingat besarnya koalisi Prabowo-Gibran di parlemen.

Kemungkinan PDIP bergabung juga menguat seiring kencangnya wacana pertemuan Megawati Soekarnoputri dengan Prabowo sebelum pelantikan. Pertemuan akan berlangsung antara 12-15 Oktober 2024, kata Bendahara Umum PDIP Olly Dondokambey.

Buruk Tanpa Oposisi

Menanggapi sinyal bergabungnya PDI Perjuangan ke pemerintahan Prabowo-Gibran, pengamat politik sekaligus Direktur Eksekutif Indikator Politik Indonesia, Burhanuddin Muhtadi menilai hal itu sebagai sebuah kerugian.

Menurutnya, data empirik studi dari para ahli politik menyatakan negara yang tidak memiliki kekuatan oposisi itu kinerja ekonomi dan demokrasi pemerintahannya berpotensi memburuk.

Jika PDIP bergabung ke pemerintahan maka tidak akan ada kekuatan oposisi yang bisa mengoreksi kebijakan pemerintah. Artinya, mekanisme check and balances tidak berjalan, menurut Burhanuddin.

"Tidak ada alternatif kebijakan yang ditawarkan pada pemerintah. Jadi yang rugi bukan hanya publik. Pemerintahan Prabowo juga kan rugi kalo semuanya itu seperti parade atau koor, tidak ada suara lain," ujar Burhanuddin, ketika diwawancarai oleh Kompas TV yang diunggah di YouTube pada Kamis (3/10/2024).

Masuki Senjakala Demokrasi

Direktur Eksekutif Indonesia Development Research (IDR) Fathorrahman Fadli memperingatkan demokrasi memasuki senjakala jika tidak ada kekuatan oposisi sementara semua partai besar berkoalisi dalam kabinet yang gemuk.

"Kalau semua diangkut masuk dalam koalisi maka parlemen tidak akan bunyi. Hal itu sama saja dengan membunuh demokrasi", tegas Fadli kepada TheStanceID pada Jumat (11/10/2024).

Kabinet gemuk, lanjut dia, memperboros APBN, melahirkan kolusi dan menyuburkan budaya KKN (Korupsi, Kolusi, dan Nepotisme) yang ingin dibasmi melalui reformasi. Tanpa kekuatan politik resmi sebagai penyeimbang, kebijakan pun tak bisa dikoreksi secara efektif.

"Karena semua parpol ingin dapat jatah," ujar Fadli.

Menurut Fadli, suara kritis di parlemen dibutuhkan untuk menghasilkan kebijakan berkualitas. Ia berkaca pada DPR periode sebelumnya yang dikuasai oleh koalisi Jokowi sehingga banyak lahir undang-undang bermasalah seperti UU Omnibuslaw Ciptaker dan UU IKN.

"Keduanya (Pemerintah dan DPR) harus seimbang, saling mengontrol. Kalau DPR bungkam itu tidak bagus dan buruk," pungkas Fadli. (est)

\