Oleh GWS, lulusan Institut Teknologi Bandung (ITB) yang pernah didapuk menjadi direktur utama sebuah BUMN dan kini memimpin sebuah perusahaan teknologi. Aktif menuangkan tulisan dan pemikirannya tentang isu keindonesiaan, kebangsaan, dan kemajuan negara, meski dengan nama samaran.
Djuanda menggambar lingkaran di tanah.
"Ini seperti ular yang memakan ekornya sendiri. Pemimpin yang lahir dari pendidikan buruk akan mempertahankan sistem pendidikan buruk, karena mereka takut sistem pendidikan yang baik akan melahirkan generasi yang lebih pintar dari mereka."
Bung Hatta merenung dalam-dalam. "Di Korea, pemimpin seperti Park Chung-hee—meski otoriter—memiliki visi jangka panjang."
Ia sadar bahwa untuk membangun negara maju, dia harus melahirkan generasi yang lebih pintar dari dia. Jadi dia investasi masif di pendidikan, bahkan tahu bahwa generasi itu kelak akan mengkritik atau bahkan menggulingkan dia.
"Nah, itu kuncinya!" seru Ki Hadjar.
"Pemimpin yang berkarakter adalah yang rela melahirkan generasi yang lebih pintar, bahkan jika itu berarti kekuasaannya terancam. Sementara pemimpin yang tidak berkarakter akan mempertahankan sistem bodoh agar mereka tetap terlihat pintar."
Soekarno melanjutkan dengan nada reflektif:
"Di Vietnam, Ho Chi Minh dan generasi setelahnya sadar bahwa untuk mengalahkan teknologi Amerika Serikat, mereka harus menciptakan generasi Vietnam yang menguasai teknologi lebih canggih."
Meski, itu berarti generasi baru akan mempertanyakan ideologi lama.
Baca Juga: Si Kabayan Bertapa di Ciptagelar (1): Refleksi Jelang HUT Kemerdekaan RI
Kabayan yang mendengarkan diskusi semakin tercerahkan. "Jadi lingkaran setan itu bisa diputus kalau ada pemimpin yang berkarakter—yang mau mengorbankan kepentingan jangka pendeknya demi kemajuan bangsa jangka panjang?"
"Tepat sekali!" kata keempat founding fathers hampir bersamaan.
Brainstorming Akar Masalah: Dilema Telur dan Ayam
Djuanda menambahkan: "Tapi masalahnya, dalam sistem yang sudah rusak, bagaimana kita bisa melahirkan pemimpin berkarakter? Sistem korup cenderung mengangkat orang korup. Sistem bodoh cenderung memilih pemimpin bodoh."
"Nah, di sinilah pentingnya katalis," kata Ki Hadjar sambil menggambar titik di tengah lingkaran. "Butuh seseorang atau sekelompok orang yang berani memutus mata rantai—meski harus bayar mahal."
Bung Hatta menatap Kabayan lekat-lekat. "Seperti Kabayan yang rela jual sawah untuk kuliah di Harvard. Atau seperti para mahasiswa yang rela turun ke jalan meski tahu risikonya. Mereka jadi katalis perubahan."
"Tapi," Soekarno menambahkan dengan nada serius, "katalis saja tidak cukup. Butuh sistem yang mendukung agar katalis itu tidak mati sebelum bereaksi."
Di Korea, Park Chung-hee bisa jadi katalis karena ada dukungan militer dan teknokrat. Di Vietnam, Ho Chi Minh berhasil karena ada dukungan rakyat dan kaum intelektual."
Diskusi semakin mendalam ketika mereka membahas mengapa Indonesia sulit melahirkan katalis efektif. Oligarki yang menguat, media yang dikuasai kepentingan, dan sistem hukum yang lemah membuat setiap upaya perubahan mudah dipatahkan.
"Inilah mengapa," kata Ki Hadjar dengan nada conclusion, "problem pendidikan dan kepemimpinan harus diselesaikan secara bersamaan. Tidak bisa sequential. Harus paralel."
Mindmap Komprehensif: Empat Pilar Kegagalan
Pada malam ke-14, setelah diskusi mendalam tentang dilema kausal, Kabayan berhasil menggambar mindmap komprehensif yang menjelaskan mengapa Indonesia gagal melakukan lompatan kompleksitas ekonomi.
Di tengah kertas ia menulis: "Akar Kegagalan Indonesia" dengan empat cabang utama:
Pilar 1: Pendidikan dan Peningkatan Kemampuan Kolektif
"Ini fondasi segalanya," kata Ki Hadjar sambil menunjuk cabang pertama. "Sistem pendidikan kita tidak menghasilkan manusia yang secara kolektif mampu dalam menciptakan produk kompleks."
Sub-masalah:
Kurikulum yang tidak selaras dengan kebutuhan industri
Metode pembelajaran yang menghasilkan individu kompetitif, bukan kolektif
Tidak adanya ekosistem pembelajaran seumur hidup
Pemisahan antara pendidikan akademik dan vokasi yang kaku
Minimnya investasi dalam riset dan pengembangan di perguruan tinggi
"Vietnam berhasil karena mereka membangun sistem pendidikan yang langsung terhubung dengan industri," jelas Ki Hadjar.
"Korea berhasil karena budaya pembelajaran kolektif yang kuat. China berhasil karena investasi masif dalam riset dan pengembangan."
Pilar 2: Mekanisme Meritokrasi yang Tak Terbangun Baik
"Ini yang paling kami sesalkan," kata Djuanda dengan nada sedih. "Sistem yang kami bangun untuk menempatkan orang terbaik di posisi terbaik malah berubah jadi sistem asal bapak senang."
Sub-masalah:
Rekrutmen pejabat berdasarkan kedekatan politik, bukan kompetensi
Sistem karier yang tidak memberikan insentif bagi prestasi
Tidak adanya performance-based evaluation yang objektif
Budaya senioritas yang menghambat inovasi
Lemahnya sistem checks and balances dalam birokrasi
"Korea membangun meritokrasi melalui sistem ujian negara yang ketat," lanjut Djuanda. "Tiongkok mempertahankan tradisi mandarin yang mengutamakan kemampuan. Vietnam mengirim teknokrat terbaiknya belajar ke luar negeri."
Pilar 3: Integritas (Korupsi, Kolusi, Nepotisme)
"Inilah yang menggerogoti sendi-sendi bangsa," kata Bung Hatta dengan marah. "KKN bukan hanya mencuri uang rakyat, tetapi juga mencuri masa depan bangsa."
Sub-masalah:
Sistem pengadaan yang tidak transparan
Lemahnya penegakan hukum yang konsisten
Budaya permisif terhadap korupsi "kecil-kecilan"
Tidak adanya sistem reward and punishment yang tegas
Lemahnya media dan civil society dalam mengawasi
"Korea memberantas korupsi dengan sistem yang brutal tapi efektif," kata Bung Hatta.
"Vietnam menghukum koruptor dengan hukuman mati. Tiongkok menggabungkan kampanye anti-korupsi dengan modernisasi birokrasi."
Pilar 4: Sistem Oligarki (Uang Mengendalikan Kekuasaan dan Hukum)
"Ini kulminasi dari tiga masalah sebelumnya," kata Soekarno dengan getir. "Oligarki menciptakan lingkaran setan: uang membeli kekuasaan, kekuasaan melindungi uang, dan hukum jadi alat legitimasi kedua-duanya."
Sub-masalah:
Konsentrasi kepemilikan ekonomi di segelintir keluarga
Sistem politik yang bergantung pada pendanaan oligarki
Media massa yang dikuasai kepentingan bisnis
Sistem hukum yang berpihak pada yang berkuasa
Lemahnya institusi demokrasi yang independen
"Korea memecah chaebol yang terlalu besar," jelas Soekarno. "Tiongkok membatasi kekuatan konglomerat swasta. Vietnam tidak membiarkan sektor swasta mengendalikan sektor strategis."
Setelah mindmap selesai, keempat founding fathers duduk terdiam memandangi diagram kompleks yang menunjukkan keterkaitan empat pilar kegagalan Indonesia. Bung Hatta yang pertama memecah keheningan.
"Kabayan, kesimpulan terpenting dari diskusi kita adalah ini: keempat pilar masalah ini tidak bisa diselesaikan secara terpisah atau berurutan. Mereka seperti empat sudut sebuah meja—kalau satu patah, yang lain ikut roboh."
Kesimpulan Revolusioner: Terapi Paralel atau Tak Ada Sama Sekali
Ki Hadjar mengangguk mantap.
"Betul. Selama ini kita selalu coba perbaiki satu-satu. Reformasi pendidikan tanpa memberantas korupsi. Pemberantasan korupsi tanpa membangun meritokrasi. Membangun meritokrasi tanpa melawan oligarki. Hasilnya? Semuanya kembali ke titik awal."
Djuanda menambahkan dengan analoginya yang khas:
"Seperti mengobati kanker dengan obat flu. Mungkin gejala berkurang sementara, tapi penyakitnya tetap menggerogoti tubuh. Yang dibutuhkan adalah terapi sistemik yang menyerang semua sel kanker secara bersamaan."
Soekarno berdiri sambil mengepalkan tangan. "Inilah mengapa revolusi itu perlu, Kabayan. Bukan revolusi dengan senjata, tapi revolusi paradigma yang menyadari bahwa transformasi harus holistik dan simultan."
"Tapi bagaimana caranya?" tanya Kabayan. "Bagaimana memulai perubahan yang begitu besar secara bersamaan?"
Ki Hadjar tersenyum bijak.
"Dengan kesadaran bahwa tidak ada perubahan separuh hati. Korea berhasil karena mereka melakukan transformasi total: pendidikan, birokrasi, ekonomi, politik—semua dirombak dalam waktu yang relatif bersamaan meski menyakitkan."
Baca Juga: Si Kabayan Bertapa di Ciptagelar (3): Refleksi Jelang HUT Kemerdekaan RI
Bung Hatta melanjutkan:
"Vietnam berhasil karena mereka sadar bahwa perlawanan terhadap Amerika tidak cukup hanya dengan semangat, tapi butuh transformasi sistemik: dari pendidikan agraris ke teknologi, dari birokrasi feodal ke meritokrasi, dari ekonomi subsisten ke industri."
"Sementara kita," kata Djuanda dengan nada getir, "masih percaya bahwa bisa memperbaiki satu hal tanpa mengubah yang lain. Mau sistem pendidikan berkelas dunia tapi mempertahankan budaya nepotisme. Mau teknokrasi yang kompeten tapi mempertahankan politik oligarkis."
Soekarno menutup diskusi dengan pernyataan yang menggugah: "Yang paling berbahaya adalah ilusi bahwa kita bisa berubah tanpa mengorbankan apa-apa."
Setiap bangsa yang berhasil melakukan lompatan harus membayar mahal: Korea mengorbankan demokrasi untuk pembangunan, Vietnam mengorbankan kesejahteraan jangka pendek untuk industrialisasi, China mengorbankan kebebasan untuk modernisasi."
"Pertanyaannya," lanjut Soekarno sambil menatap Kabayan tajam, "apa yang rela dikorbankan Indonesia? Dan apakah rakyat Indonesia siap membayar harga transformasi yang sesungguhnya?***
Simak info publik, kebijakan & geopolitik dunia di kanal Whatsapp dan Telegram The Stance.