GWS

Oleh GWS, lulusan Institut Teknologi Bandung (ITB) yang pernah didapuk menjadi direktur utama sebuah BUMN dan kini memimpin sebuah perusahaan teknologi. Aktif menuangkan tulisan dan pemikirannya tentang isu keindonesiaan, kebangsaan, dan kemajuan negara, meski dengan nama samaran.

Coba, bayangkan sebentar: Anda adalah Kabayan yang baru saja pulang dari Boston Logan Airport dengan kepala penuh teori Hausmann, hati penuh kegelisahan, dan dompet kosong karena sawah sudah laku.

Iteung yang menjemput di Terminal 3 Soekarno-Hatta langsung menyadari ada yang berbeda. "Kumaha, Kang? Teu carita-carita?" (Kenapa, Kang? Tidak bercerita-cerita?)

Kabayan hanya diam sambil menatap lampu-lampu Jakarta dari jendela taksi.

Dalam benaknya bergulir data menyakitkan: Indonesia peringkat 84 Economic Complexity Index dengan skor -0,41, Vietnam yang dulu lebih miskin kini peringkat 60 dan terus naik, Korea yang 60 tahun lalu setara Indonesia sekarang peringkat 5 dunia.

"Iteung, kita ternyata bukan cuma tertinggal. Kita terperosok."

Iteung menggaruk kepala.

Sejak pulang dari Harvard, Kabayan jadi pendiam seperti orang yang habis lihat hantu.

Makan sedikit, tidur gelisah, sering melamun sambil menggambar-gambar aneh di kertas—grafik ruang produk, diagram kompleksitas ekonomi, peta navigasi industri.

"Si Kang Kabayan mah geus jadi naon, siga nu keur mikiran hal nu beurat pisan," keluh Iteung pada tetangga. (Si Kabayan sudah jadi apa, seperti yang sedang memikirkan hal yang sangat berat.)

Setelah dua minggu menjadi patung di rumah, Kabayan tiba-tiba bangkit dan berkata pada Iteung: "Cing, abdi badé ka Ciptagelar. Hoyong nyangga sababaraha waktos." (Tolong, saya mau ke Ciptagelar. Ingin menyepi beberapa waktu)

Meditasi dan Pertemuan dengan Para Leluhur

desa adatCiptagelar—kampung adat di Sukabumi yang masih memegang teguh tradisi leluhur, jauh dari hiruk pikuk modernitas yang semu. Kabayan merasa butuh ketenangan untuk mencerna semua yang dipelajarinya tentang kegagalan sistemik Indonesia.

"Di sana ada energi spiritual yang bisa membantu saya memahami akar masalah bangsa ini," katanya pada Iteung yang cemas.

Perjalanan ke Ciptagelar ditempuh dengan angkot, ojek, dan akhirnya jalan kaki menyusuri jalan setapak yang berkelok.

Kabayan membawa tas sederhana berisi buku catatan Harvard, beberapa helai pakaian, dan tekad untuk menemukan jawaban mengapa Indonesia terjebak dalam jebakan kompleksitas rendah.

Sesampainya di Ciptagelar, Kabayan disambut Abah, sesepuh kampung yang bijaksana.

"Wilujeng sumping, Kang Kabayan. Parantos lami teu ningali jalmi nu datang ngamarian ceurik bangsa," kata Abah sambil tersenyum tipis. (Selamat datang, Bang Kabayan. Sudah lama tidak melihat orang yang datang meratapi tangis bangsa.)

Kabayan memilih pondok kecil di pinggir hutan untuk meditasinya. Setiap hari ia duduk bersila di bawah pohon Saninten tua sambil merenungkan data-data yang diperoleh dari Prof. Hausmann.

"Mengapa Korea berhasil, Vietnam berhasil, Tiongkok berhasil, sementara Indonesia dengan sumber daya berlimpah malah mundur?" pertanyaan itu berputar-putar di kepalanya.

Pada malam ketujuh, dalam keadaan setengah sadar antara tidur dan jaga, Kabayan merasakan kehadiran yang tidak biasa. Empat sosok mulai tampak samar-samar di depannya.

Dialog dengan Bung Hatta: Ekonomi yang Tersesat

Bung Hatta

Seorang pria berkacamata tebal, seorang pria tinggi dengan peci hitam, seorang pria berjas rapi dengan wajah intelektual, dan seorang pria dengan mata berbinar penuh semangat pendidikan.

"Assalamualaikum, Nak Kabayan," sapa sosok berkacamata tebal itu dengan suara yang familiar. Kabayan tersentak—itu suara Bung Hatta yang sering didengarnya di rekaman sejarah.

"Waalaikumsalam, Bung Hatta?" Kabayan masih tidak percaya.

"Betul, Nak. Dan ini Soekarno, Djuanda, serta Ki Hadjar," kata Bung Hatta sambil menunjuk ketiga sosok lainnya. "Kami datang karena merasakan kegelisahan mendalam tentang bangsa yang kami rintis."

Bung Hatta duduk di samping Kabayan dengan wajah prihatin. "Ceritakan Nak, apa yang kamu lihat tentang ekonomi bangsa ini?"

Kabayan mulai bercerita tentang perjalanannya ke Vietnam, Korea, Tiongkok, dan kuliah di Harvard. Tentang teori Hausmann, tentang ruang produk, tentang bagaimana Indonesia terjebak di pinggiran ekonomi global dengan ekspor komoditas mentah.

"Bung, Indonesia sekarang seperti kuli di negeri sendiri," kata Kabayan dengan suara bergetar.

"Kita ekspor sawit mentah, mereka bikin produk olahan bernilai tinggi. Kita ekspor nikel mentah, mereka bikin baterai mobil listrik. Kita jadi pemasok bahan baku, mereka jadi penjual produk jadi."

Bung Hatta mengangguk sedih. "Inilah yang kami khawatirkan sejak dulu, Nak. Ekonomi kerakyatan yang kami cita-citakan berubah jadi ekonomi yang mengeruk habis sumber daya untuk kepentingan segelintir orang."

"Koperasi yang kami impikan jadi alat birokrasi, BUMN yang kami dirikan jadi sarang korupsi."

Dialog dengan Soekarno: Nasionalisme yang Dikhianati

Soekarno

"Tetapi Bung," tanya Kabayan, "mengapa Korea dan Vietnam yang kondisi awalnya mirip dengan kita bisa berhasil?"

Bung Hatta merenung sejenak. "Karena mereka membangun sistem yang menempatkan kemampuan di atas koneksi, prestasi di atas privilese. Sementara kita membangun sistem yang membesarkan oligarki."

Soekarno yang selama ini diam tiba-tiba bersuara dengan nada penuh emosi.

"Kabayan, apakah ini Indonesia merdeka yang aku proklamasikan? Indonesia yang eksportnya dikuasai asing, teknologinya bergantung asing, bahkan keputusan ekonominya diintervensi asing?"

"Pak Karno, saya juga bingung," jawab Kabayan. "Di Harvard, Prof. Hausmann bilang Indonesia punya semua modal untuk maju: sumber daya alam, sumber daya manusia, letak geografis strategis. Tapi kenapa malah mundur?"

Soekarno mengepalkan tangan.

"Karena nasionalisme kita cuma slogan kosong! Vietnam punya nasionalisme ekonomi—mereka tolak jadi perakit selamanya, memaksa transfer teknologi, membangun industri dalam negeri."

Korea punya nasionalisme teknologi—mereka paksa chaebols untuk riset dan pengembangan, tidak cuma jadi distributor produk asing.

"Sementara kita?" lanjut Soekarno dengan getir, "Nasionalisme kita cuma upacara bendera dan lagu kebangsaan. Di ekonomi, kita tunduk total pada asing. Konglomerat kita cuma jadi makelar asing di tanah sendiri."

Dialog dengan Djuanda: Teknokrasi yang Tergadai

Djuanda

Djuanda yang dikenal sebagai teknokrat handal bangsa ikut bersuara. "Kabayan, masalah fundamental kita adalah tidak adanya sistem meritokrasi yang sehat."

Di Korea, teknokrat seperti Park Chung-hee bisa mengambil keputusan ekonomi jangka panjang tanpa diintervensi kepentingan politik jangka pendek. Di China, sistem mandarinnya memungkinkan para ahli mengelola ekonomi berdasarkan data dan logika.

"Bagaimana dengan Indonesia, Pak Djuanda?"

"Ah," Djuanda menggeleng, "teknokrat kita jadi boneka politisi. Menteri ekonomi dipilih bukan karena kemampuan, tapi karena afiliasi partai."

Direktur BUMN dipilih bukan karena prestasi, tapi karena kedekatan dengan penguasa. Kebijakan ekonomi dibuat bukan berdasarkan riset, tapi berdasarkan kepentingan donor kampanye.

Djuanda menunjuk ke arah yang tidak tampak.

"Lihat, Vietnam punya teknokrat yang berani menolak investasi yang tak menguntungkan jangka panjang. Korea punya teknokrat yang berani menutup industri yang tak efisien. Kita? Teknokrat kita takut ambil keputusan yang tak populer secara politik."

Dialog dengan Ki Hadjar: Pendidikan yang Melenceng

Ki Hadjar DewantaraKi Hadjar Dewantara, bapak pendidikan nasional, paling sedih di antara semuanya.

"Kabayan, akar dari semua masalah ini adalah pendidikan yang salah arah. Pendidikan kita menciptakan pencari kerja, bukan pencipta kerja. Menciptakan pegawai, bukan pengusaha. Menciptakan konsumen, bukan inovator."

"Maksud Bapak?"

"Sistem pendidikan kita masih kolonial: menghafal, bukan berpikir. Mengikuti, bukan memimpin. Mencari yang mudah, bukan menantang yang sulit," jelas Ki Hadjar dengan nada prihatin.

"Korea membangun sistem pendidikan yang menghasilkan insinyur dan peneliti. Vietnam membangun sistem pendidikan yang menghasilkan pekerja terampil dan teknisi. Kita membangun sistem pendidikan yang menghasilkan... apa?"

Kabayan merenung. "Pegawai kantoran dan buruh kasar?"

"Tepat!" seru Ki Hadjar. "Pendidikan kita tak membangun kemampuan kolektif, pemecahan masalah, inovasi. Makanya kita tak bisa naik dari ruang produk kompleksitas rendah. Karena manusianya tak punya kemampuan untuk produk kompleksitas tinggi."

Keempat founding fathers itu kemudian duduk melingkar dengan Kabayan, memulai diskusi mendalam tentang akar masalah Indonesia. Bung Hatta menggambar di tanah dengan ranting kayu, membuat diagram sederhana.

"Masalah kita bermula dari pendidikan," kata Ki Hadjar sambil menunjuk titik pertama.

"Pendidikan yang salah menciptakan SDM yang tidak kompeten," tambah Djuanda.

"SDM tidak kompeten menciptakan sistem meritokrasi yang rusak," lanjut Bung Hatta.

"Sistem meritokrasi rusak membuka ruang untuk korupsi dan nepotisme," sambung Soekarno.

"Dan korupsi serta nepotisme menciptakan oligarki yang mengendalikan ekonomi politik," tutup Bung Hatta.

Baca Juga: Si Kabayan Bertapa di Ciptagelar (2): Refleksi Jelang HUT Kemerdekaan RI

Namun tiba-tiba Soekarno mengangkat tangan, memotong alur diskusi. "Tunggu sebentar. Bukankah kita terjebak dalam dilema klasik telur dan ayam di sini?"

Ketiga founding fathers lainnya menoleh dengan tatapan bertanya.

"Maksud saya," lanjut Soekarno sambil menunjuk diagram Bung Hatta, "kita bilang pendidikan buruk melahirkan pemimpin yang tidak berkarakter. Tapi siapa yang mendesain sistem pendidikan? Bukankah pemimpin yang tidak berkarakter itu?"

Ki Hadjar mengangguk perlahan, mulai memahami maksud Soekarno. "Ah, paradoks yang rumit. Apakah pendidikan buruk yang melahirkan pemimpin buruk, atau pemimpin buruk yang menciptakan pendidikan buruk?"***

Simak info publik, kebijakan & geopolitik dunia di kanal Whatsapp dan Telegram The Stance.