Oleh Usman Kansong, jurnalis Indonesia yang lama berkiprah di Republika dan Media Group. Pernah menjadi Direktur Jenderal Informasi dan Komunikasi Publik di Kementerian Komunikasi dan Informatika (2021-2024), kini aktif sebagai anggota Dewan Serikat Jurnalis untuk Keberagaman (Sejuk).

Saya menemukan istilah timokrasi dalam tulisan A. Setyo Wibowo berjudul ‘’Habis Demokrasi, Terbit Timokrasi’’ di Majalah Basis Nomor 03-04, 2025.

Berasal dari bahasa Yunani 'time' (honour, kehormatan), timokrasi mengandung makna kekuasaan atas dasar kehormatan dan harga diri. Setyo Wibowo menyebut The Republic karya Plato sebagai sumber rujukan ‘Timokrasi.’

Saya lalu membuka-buka buku The Republic karangan Plato terbitan Norris Classic yang saya beli di Gramedia Semarang Jateng. Pembahasan tentang timokrasi ada di Book VIII Republic:

‘’Shall we follow our old plan, which we adopted with a view to clearness, of taking the state first and then proceeding to the individual, and begin with the government of honor—I know of no name for such a government other timocracy or perhaps timarchy.’’

Intinya, Plato mendefinisikan timokrasi sebagai kekuasaan berdasarkan kehormatan. Kekuasaan berdasarkan kehormatan atau timokrasi ini, menurut Plato, berada di antara oligarki dan aristokrasi.

Setyo Wibowo melanjutkan, bagi Platon (filsuf Yunani dari abad ke-5 SM), rezim militeristik namanya adalah timokrasi.

Orang-orang militer merasa pantas mendapat kekuasaan atas dasar kehormatan dan harga diri karena mereka telah mempertaruhkan jiwa dan raganya membela Tanah Air.

Gejala militerisme itu kini merasuki Indonesia dan, menurut Wibowo, itu kemunduran demokrasi. Disahkannya Undang-Undang TNI dan banyaknya anggota TNI aktif maupun purnawariwan yang menduduki jabatan sipil merupakan dua gejala militerisme itu.

Mengeja Kembali Makna Reformasi

Gejala militerisme disebut kemunduran demokrasi kiranya karena sejak reformasi kita relatif lebih demokratis yang ditandai hidupnya supremasi sipil, tetapi supremasi sipil itu kini tergerus supremasi militer. Supremasi sipil ditukar supremasi militer.

Simbol paling kasat mata beroperasinya supremasi sipil di Era Reformasi ialah orang sipil menduduki jabatan menteri pertahanan.

Juwono Sudarsono, Mahfud MD, Matori Abdul Jalil, dan Purnomo Yusgiantoro adalah orang-orang sipil yang menjabat menteri pertahanan di era eeformasi. Menteri pertahanan di era reformasi hanya sebentar diselingi orang militer, yakni Agum Gumelar.

Setyo Wibowo lalu menyenggol kajian psiko-politik timokrasi dengan mengaitkan politik dan analisis kejiwaan (psukhe), saat bagian jiwa bernama thumos merajalela, penguasanya dipenuhi hasrat akan kehormatan dan gengsi diri.

Penguasa ini menjadi gila hormat (philotimos), ingin selalu menang (philonikos), dan gila jabatan (philarkhos). Penguasa yang memperoleh jabatan atas dasar gila hormat, ingin selalu menang, dan gila jabatan, ingin senantiasa dihormati.

Penguasa serupa ini biasanya menerapkan kepemimpinan model komando dan komando atau perintahnya harus dihormati, dipatuhi, dan alergi kritik.

Alergi kritik jelas perilaku tidak demokratis. Salah satu karakter demokrasi ialah adanya mekanisme koreksi diri (self-corrective mechanism).

Mekanisme koreksi diri itu berawal dari kritik. Kekuasaan antikritik menolak mekanisme koreksi diri itu. Masuk akal bila dikatakan timokrasi menggerus demokrasi. Demokrasi sedang ditukar timokrasi

Menolak Kembali Menjadi Primitif

The Ruling ClassSaya lantas membuka ulang buku klasik berjudul The Ruling Class yang saya beli di toko suvenir Museum Fatahillah, Jakarta. Buku yang berjudul asli Elementi di Scienza Politica karangan Gaetano Mosca ini diterbitkan McGraw-Hill pada 1939.

Tanpa sampul judul, saya membeli buku The Ruling Class seharga Rp250.000. Saya masih bisa menemukan harga awalnya tertera di halaman awal buku Rp300.

Si pemilik awal membubuhkan tanda tangan di halaman judul bagian dalam dan menuliskan tanggal dia membeli buku itu, yakni pada 7 Oktober 1960.

Terkait timokrasi, buku The Ruling Class menyebut perolehan kekuasaan atas keberanian militer (military valor) terjadi pada masyarakat primitif.

Dalam masyarakat yang peradabannya lebih maju jika dibandingkan masyarakat primitif, seseorang memperoleh kekuasaan setelah berperang. Buku ini juga memberi catatan bahwa di era modern, militer patuh pada otoritas sipil.

The Ruling Class memberi pemahaman kepada kita bahwa perolehan kekuasaan atas dasar kehormatan militer merupakan praktik di masyarakat primitif. Pada masyarakat modern dewasa ini, supremasi atau otoritas semestinya berada di tangan sipil.

Baca Juga: Gulen, Ulama Inklusif Turki yang Dibuang dan Dimusuhi Erdogan

Mahasiswa yang tempo hari selama berhari-hari berunjuk rasa menolak Undang-Undang TNI pada dasarnya menolak Indonesia diputar atau ditukar ke zaman primitif.

Mahasiswa yang mengajukan peninjauan kembali atas Undang-Undang TNI ke Mahkamah Konstitusi (MK) sesungguhnya menolak demokrasi ditukar timokrasi.***

Untuk menikmati berita di berbagai dunia, ikuti kanal TheStanceID di Whatsapp dan Telegram.