Oleh Anthony Budiawan, Managing Director PEPS (Political Economy and Policy Studies), akademisi yang mengawali karir di Institut Bisnis Indonesia (IBII), peraih gelar Magister Ekonomi Bisnis dari Erasmus University Rotterdam dan gelar profesional di bidang akuntansi manajemen dari Institute of Certified Management Accountants.
Awal April 2025, Amerika Serikat (AS) mengumumkan tarif impor "resiprokal" terhadap hampir semua negara mitra dagangnya. Indonesia dikenakan tarif impor 32%.
AS beralasan Indonesia telah menerapkan kebijakan perdagangan yang tidak adil, termasuk penggunaan hambatan non-tarif, sehingga merugikan AS dan mengakibatkan defisit neraca perdagangannya terus meningkat.
Defisit neraca perdagangan AS dengan Indonesia naik dari US$12,4 miliar (2019) menjadi US$17,9 miliar (2024). Defisit ini sangat kecil, hanya sekitar 1,49% dari total defisit neraca perdagangan AS.
Oleh karena itu, pemberlakuan tarif impor yang begitu tinggi kepada Indonesia menimbulkan tanda tanya besar. Hal ini patut dicurigai, pemerintahan Trump menggunakan kebijakan perdagangan sebagai alat politik untuk menekan Indonesia.
Hasil negosiasi bilateral memperkuat pandangan tersebut. Kesepakatan perdagangan yang disetujui pada pertengahan Juli ini sangat berat sebelah dan sangat merugikan Indonesia. Alasannya sebagai berikut:
Pertama, Indonesia wajib membeli berbagai macam produk AS antara lain produk energi senilai US$15 miliar, komoditas pertanian dan peternakan senilai US$4,5 miliar, dan 50 pesawat Boeing.
Kedua, Indonesia wajib menghapus semua hambatan non-tarif dan membuka pasar domestik sepenuhnya kepada produk AS.
Ketiga, Indonesia mengenakan tarif impor nol persen bagi semua produk AS yang masuk ke Indonesia. Sebaliknya, AS mengenakan tarif impor 19% kepada semua produk Indonesia yang masuk ke pasar AS.
Ekses Serius dalam Hubungan Internasional
Kesepakatan perdagangan yang timpang ini akan menimbulkan permasalahan serius, tidak hanya bagi perekonomian Indonesia tetapi juga bagi hubungan luar negeri Indonesia dengan negara-negara lain. Alasannya, sebagai berikut:
Satu, pengenaan tarif impor 0% untuk semua produk AS menjadi ancaman serius bagi ekonomi Indonesia, terutama sektor pertanian dan peternakan karena daya saing sektor-sektor tersebut sangat lemah dibandingkan produk AS.
Sebagai contoh, sektor jagung untuk pakan ternak diperkirakan akan terpukul berat. Harga jagung AS jauh lebih murah dibandingkan dengan harga jagung lokal. Harga jagung AS hanya sekitar 60-75% saja dari harga jagung dalam negeri.
Dengan dihapusnya tarif impor, dan juga hambatan non-tarif, hampir bisa dipastikan banyak petani jagung Indonesia tidak mampu bersaing dan akan kolaps, mengakibatkan kebangkrutan massal.
Pada gilirannya, situasi ini akan mengancam mata pencaharian di pedesaan serta ketahanan pertanian nasional.
Kondisi ini menimbulkan kekhawatiran akan terulangnya sejarah, yaitu keruntuhan sektor gula setelah liberalisasi produk pertanian pasca krisis moneter 1998.
Di bawah tekanan dan pengawasan Dana Moneter Internasional (IMF), Indonesia dipaksa membuka pasar domestiknya untuk semua sembilan bahan pokok, kecuali beras.
Akibatnya, Indonesia saat ini menjadi salah satu importir gula terbesar di dunia, bersama dengan China, karena pertanian tebu Indonesia tidak efisien dan tidak bisa bersaing dengan produk gula impor.
Ketimpangan dan Ketidakadilan
Dua, kesepakatan tarif baru ini diperkirakan akan membuat ekspor Indonesia ke AS turun, sementara impor dari AS ke Indonesia meningkat, membuat defisit neraca perdagangan AS dengan Indonesia turun tajam, sesuai dengan keinginan AS.
Tiga, kesepakatan tarif antara AS dan Indonesia dipandang tidak adil dan tidak setara. Kondisi ini tidak hanya merugikan Indonesia, tetapi juga merugikan negara lain karena mendapat perlakuan berbeda dengan AS, alias didiskriminasi:
Amerika dikenakan tarif 0% tetapi negara lain dikenakan tarif normal. Hal ini bisa merusak hubungan antara Indonesia dengan negara yang merasa didiskriminasi.
Sebagai contoh, selain mengimpor jagung AS, Indonesia juga memasok jagung dari Argentina, Brazil, India, Thailand, dan beberapa negara lainnya.
Pembebasan tarif impor secara eksklusif untuk AS akan memicu rasa tidak puas dari negara lain yang dikenakan tarif seperti Brazil atau India, dan lainnya.
Kesepakatan perdagangan yang diskriminatif dan menguntungkan AS ini terjadi di hampir semua sektor ekonomi, dari pertanian dan pertambangan hingga manufaktur dan jasa. Karena itu, banyak negara lain akan merasa diperlakukan tidak adil.
Hal ini dapat merusak kredibilitas Indonesia dalam perdagangan internasional. Sebagai konsekuensi, Indonesia akan mendapat balasan atau retaliasi dari negara-negara yang terkena dampak buruk atas kebijakan yang diskriminatif tersebut.
Antiklimaks yang Mengecewakan
Keempat, kesepakatan perdagangan AS-Indonesia ini ternyata mencapai antiklimaks yang mengecewakan.
Presiden Trump awalnya menuduh Indonesia menerapkan kebijakan perdagangan yang tidak adil, dan mau mencari keadilan melalui tarif resiprokal 32%.
Tetapi, hasil kesepakatan negosiasi yang dilakukan oleh pemerintahan Trump justru mempertontonkan ketimpangan dan ketidakadilan yang sangat serius, merendahkan Indonesia sebagai negara berdaulat dan merdeka, mencerminkan dominasi AS bagaikan pemerintahan kolonial.
Salah satunya yaitu kesenjangan tarif impor yang sangat besar: produk AS masuk ke Indonesia tanpa dikenakan bea, sementara produk Indonesia masuk ke AS dikenakan tarif 19%.
Tak terbayangkan, ketimpangan tarif dan kesepakatan perdagangan yang sangat tak adil ini terjadi di era modern pasca penjajahan. Terlebih lagi, terjadi antara negara maju seperti AS dan negara berkembang seperti Indonesia.
Fakta pahit ini menempatkan ekonomi Indonesia dalam posisi terjepit karena sulit bersaing dengan produk AS yang jauh lebih kompetitif. Kalau dibiarkan terus terjadi, hal ini bisa membawa bencana bagi perekonomian Indonesia.
Selain itu, kewajiban Indonesia menghapus semua hambatan non-tarif yang hanya berlaku bagi produk AS dipandang sebagai penyimpangan serius terhadap prinsip kesetaraan dan saling menghormati.
Baca Juga: Indonesia Menjadi Medan Perang Dagang Amerika dan China
Artinya, kesepakatan perdagangan ini jauh lebih buruk dibandingkan perjanjian perdagangan bebas yang umumnya dibuat berdasarkan prinsip kesetaraan dan timbal balik (resiprokal).
Jika tidak dikoreksi, kesepakatan perdagangan AS-Indonesia tersebut dapat merusak hubungan internasional Indonesia dengan negara-negara lain.***
Untuk menikmati berita di berbagai dunia, ikuti kanal TheStanceID di Whatsapp dan Telegram.