Jakarta, TheStanceID – Kondisi daya beli masyarakat yang melemah saat ini ditengarai oleh maraknya aktifitas rojali dan rohana.

Rojali merupakan akronim dari "rombongan jarang beli", sedangkan rohana berarti "rombongan hanya nanya".

Keduanya menggambarkan fenomena pengunjung mal yang datang beramai-ramai, namun hanya melihat-lihat atau bertanya, tanpa membeli.

Ini memang bukan fenomena baru. Hanya, kemunculan rojali dan rohana makin kini jadi sorotan karena mencerminkan daya beli masyarakat yang makin lemah.

Fenomena Lama

Alphonzus Widjaja

Ketua Umum Asosiasi Pengelola Pusat Belanja Indonesia (APPBI), Alphonzus Widjaja, mengatakan rojali sebenarnya bukanlah tren baru.

Namun, menurutnya, intensitas fenomena ini meningkat seiring pelemahan daya beli masyarakat, khususnya dari menengah ke bawah.

Dia menyebut saat ini kunjungan ke pusat perbelanjaan meningkat sekitar 10% dibandingkan tahun lalu. Tapi ironisnya, belanja tetap minim. Masyarakat datang hanya untuk melihat-lihat atau belanja dalam jumlah kecil.

Meski begitu, Alphonzus menilai, rojali belum sampai mengganggu kinerja pusat perbelanjaan. Sebab, daya beli masyarakat di luar Pulau Jawa relatif masih stabil.

“Secara umum belum berdampak besar. Tapi jika daya beli tidak juga pulih, maka dampaknya bisa meluas,” katanya.

Sektor F&B di Mal Untung

F&B

Yang relatif diuntungkan dari fenomena rojali ini adalah ritel makanan dan minuman (Food & Beverages) di mal.

Ini disampaikan Ketua Himpunan Peritel dan Penyewa Pusat Perbelanjaan Indonesia (Hippindo), Budihardjo Iduansjah.

“Kalau F&B seperti J.Co atau Starbucks itu sudah biasa, yang minum satu, yang ngumpul lima. Jadi sekarang konsumen itu meeting-nya ya di sana,” kata Budihardjo, Rabu (23/7/2025).

Dia menyebut omzet toko-toko F&B justru naik 5-10%.

“Orang muter-muter di mal, akhirnya haus dan lapar. Paling enggak, beli minum. Jadi yang paling untung dari rojali ya F&B,” katanya.

Ini juga membuat banyak mal mengubah konsep dengan memperbanyak ritel F&B daripada mengandalkan jualan produk.

Penanda Awal Tekanan Ekonomi

Ateng BPS

Deputi Bidang Statistik Sosial (BPS), Ateng Hartono mengatakan fenomena rojali bisa menjadi penanda masyarakat sedang menahan konsumsi.

Meski BPS belum membuat survei khusus soal rojali, ia tak menampik gejala ini bisa menjadi penanda awal tekanan ekonomi.

"Fenomena rojali memang belum tentu mencerminkan kemiskinan, tapi ini relevan sebagai gejala sosial. Bisa jadi ada (kebutuhan) untuk refresh atau tekanan ekonomi, terutama kelas yang rentan," kata Ateng dalam keterangannya Jumat (25/7/2025).

Apalagi Survei Sosial Ekonomi Nasional (Susenas) 2025 memang mencatat kecenderungan masyarakat menahan konsumsi.

"Rojali sinyal penting bagi pembuat kebijakan untuk tidak hanya fokus menurunkan angka kemiskinan, tetapi juga memperhatikan ketahanan konsumsi dan stabilitas ekonomi kelas menengah bawah," jelasnya.

Dipicu Menurunnya Pendapatan

Ekonom Center of Economic and Law Studies (Celios), Nailul Huda menilai, maraknya rojali dipicu oleh menurunnya pendapatan masyarakat. Meski demikian, masyarakat tetap butuh hiburan.

“Hiburan paling murah saat ini ya jalan-jalan ke mal tanpa membeli. Kalau pun mau beli, biasanya mereka akan cari harga lebih murah lewat platform daring,” kata Nailul.

"Jadi faktor utamanya memang dari sisi pendapatan masyarakat yang menurun yang mengakibatkan fenomena rojali ini," katanya.

Banyaknya PHK Pengaruhi Konsumsi Masyarakat

Sependapat, Direktur Eksekutif Institute for Development of Economics and Finance (Indef), Esther Sri Astuti menilai, munculnya fenomena rojali dan rohana ini juga didorong oleh pelemahan daya beli.

“Saat ini daya beli masyarakat berkurang karena kenaikan PHK di sejumlah industri. Di sisi lain, ada kenaikan harga harga bahan pokok,” kata Esther.

Esther menekankan diperlukan intervensi pemerintah untuk mendongkrak daya beli melalui solusi yang berdampak luas dan berkelanjutan.

“Penciptaan lapangan pekerjaan dengan meningkatkan investasi yang bersifat padat karya. Kemudian melonggarkan dan mendorong wirausaha agar mereka yang terkena PHK bisa menciptakan lapangan kerja sendiri,” katanya. (est)

Simak info publik, kebijakan & geopolitik dunia di kanal Whatsapp dan Telegram The Stance.