Gulen, Ulama Inklusif Turki yang Dibuang dan Dimusuhi Erdogan
Meski Gulen terbuang di Amerika, Erdogan terus membungkamnya hingga libatkan wartawan Indonesia.

Usman Kansong, jurnalis Indonesia yang lama berkiprah di Republika dan Media Group. Pernah menjadi Direktur Jenderal Informasi dan Komunikasi Publik di Kementerian Komunikasi dan Informatika (2021-2024), kini aktif sebagai anggota Dewan Serikat Jurnalis untuk Keberagaman (Sejuk).
Barangkali tidak banyak orang Indonesia mengenal Fethullah Gulen, sampai kemudian namanya disebut-sebut Presiden Turki Recep Tayyip Erdogan sebagai otak di balik upaya kudeta di Turki pada Juli 2016.
Ketika dia meninggal dunia pada Senin, 21 Oktober 2024, di usia 83 tahun, pemberitaannya, baik di media arus utama maupun media sosial, tidak terlalu ramai.
Dari banyak grup media sosial yang saya ikuti hanya satu grup yang menampilkan foto Gulen disertai ucapan “innaa lilalahi wa-innaa ilaihi rooji’un” (sesungguhnya kita adalah milik Allah dan hanya kepada-Nya kita akan kembali).
Mungkin juga pemberitaan kepergiannya tenggelam oleh gegap-gempita pengambilan sumpah Presiden Prabowo Subianto dan Wakil Presiden Gibran Rakabuming Raka, yang diikuti pengumuman dan pelantikan menteri dan wakil menteri (wamen) Kabinet Merah Putih.
Saya mengenal nama Gulen ketika berkunjung ke Turki pada 2012.
Saya yang waktu itu menjabat Direktur Pemberitaan Media Indonesia bersama sejumlah pemimpin redaksi media terkemuka Indonesia diundang komunitas Turki di Indonesia berkunjung selama 10 hari ke Turki.
Saya mengenal nama Gulen dari diskusi-diskusi dalam kunjungan ke Turki itu. Saya berpikir dia adalah penerus Kemal Attaturk, Bapak Turki Modern.
Kemal Attaturk pengusung prinsip sekularisme, pemisahan agama dan negara. Ketika itu jilbab dilarang dikenakan di tempat-tempat publik.
Hagia Sofia yang awalnya bersalin rupa dari gereja menjadi masjid, di bawah prinsip sekularisme Turki disulap menjadi museum.
Waktu saya berkunjung ke Museum Hagia Sofia berlangsung unjuk rasa yang dimotori Partai Keadilan dan Pembangunan (AK Party), partai Islamis Turki. Pengunjuk rasa menuntut museum Hagia Sophia dikembalikan menjadi masjid.
Di masa pemerintahan Erdogan, Hagia Sophia dijadikan masjid kembali.
Saya ketika itu dalam kunjungan ke kantor berita Turki Anadolu melihat buku berjudul Toward a Global Civilization of Love and Tolerance. Buku itu ditulis Gulen, yang lebih dikenal sebagai ulama.
Saya meminta izin memiliki buku itu kepada teman wartawan Anadolu. Dari buku ini saya bisa memahami betapa humanisnya Gulen. Saya menjadikan buku ini sebagai salah satu referensi buku 'Jurnalisme Keberagaman' yang saya tulis.
Fitnah Kudeta
Oleh karena itu, saya tidak percaya ketika Gulen yang humanis, penuh cinta, dan toleran itu dituduh sebagai otak kudeta yang gagal di Turki pada tahun 2016.
Ketidakpercayaan itu terkonfirmasi ketika saya berjumpa dengannya dan mewawancarainya di tempat tetirahnya di Philadelpia, Amerika Serikat (AS). Perjumpaan saya dengan Gulen difasilitasi teman Turki saya yang sudah lama tinggal di Indonesia.
Komunitas Turki di banyak negara umumnya Gulenis, pengikut Gulen. Mereka mendirikan sekolah Turki di Indonesia bernama Pribadi dan Kharisma Bangsa.
Sahabat Turki saya meminta saya mengajak empat wartawan lain ke AS mewawancarai Gulen. Berangkatlah saya bersama teman-teman Detik.com, Metro TV, TV One dan Kantor Berita Antara ke Philadelphia.
Tempat tetirah Gulen di Philadelphia yang menjadi kediamannya sejak 1999 itu terbilang besar, serupa vila.
Saya dan teman-teman wartawan salat berjamaah bersamanya.
Gulen salat sambil duduk. Menurut cerita orang-orang dekatnya, sehabis salat dia sering menangis, menangisi rakyat Turki yang ditindas penguasa.
Banyak pengikutnya ditahan penguasa. Banyak juga wartawan Turki dipenjara. Sejumlah media yang kritis terhadap penguasa dibredel.
Diaspora Turki
Tidak sedikit warga Turki yang berdiaspora ke luar negeri, termasuk legenda sepak bola Turki Hakan Sukur yang lari ke AS. Teman-teman Turki di Indonesia pun belakangan berpindah negara. Ada yang ke Kanada. Ada pula yang ke Swiss.
Gulen tidak pernah menikah.
Dia hanya bisa berbahasa Turki dan Arab. Kami memerlukan penerjemah ketika mewawancarai dia. Kami bersepakat menurunkan berita hasil wawancara dengan Gulen berbarengan pada 25 Agustus 2016.
Di Media Indonesia, hasil wawancara dengan Gulen tayang di bawah judul “Gulen: Semua Kebenaran Akan Terungkap.” Artikel hasil wawancara dengan Gulen itu belakangan dikutip Alfan Alfian, kawan saya yang dosen Universitas Nasional, untuk bukunya yang berjudul Militer dan Politik di Turki.
Wawancara media-media asal Indonesia rupanya mengubah persepsi masyarakat Indonesia terhadap Gulen. Sebelumnya, orang Indonesia 'membela' Erdogan.
Pemerintah Turki pun "terganggu" dengan wawancara itu. Kabarnya lewat Kedubes Turki di Jakarta, mereka mengundang sejumlah media dari Indonesia yang tidak ikut mewawancarai Gulen untuk mengunjungi Turki.***