Oleh Andi Rahmat, aktivis cum politisi, yang pernah memimpin Kesatuan Aksi Mahasiswa Muslim Indonesia (KAMMI), dan menjadi anggota DPR (periode 2004-2009 & 2009-2014). Mencuri perhatian setelah menjadi salah satu inisiator Hak Angket terkait Bank Century, kini mengemban amanah sebagai Wakil Ketua Umum Kamar Dagang dan Industri (Kadin) Indonesia.
Hanya beberapa waktu setelah dilantik menggantikan Sri Mulyani Indrawati sebagai menteri keuangan, Purbaya Yudhi Sadewa langsung tancap gas.
Dari paparannya di Rapat Kerja dengan Komisi XI Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia (DPR RI), jelas sekali menteri keuangan yang baru ini memilih kebijakan yang cukup berbeda dengan menteri keuangan yang digantikannya.
Sri Mulyani cenderung menjalankan kebijakan konservatif, menyeimbangkan postur makro ekonomi yang sering disebutnya sebagai kebijakan “prudent,” sangat perhatian pada kesinambungan fiskal dengan perhatian detil pada manajemen arus kas pemerintah.
Pendekatan-pendekatan ala Sri Mulyani ini cukup ampuh dalam menavigasi perekonomian nasional dalam dua kali masa krisis, krisis 2008 dan krisis pandemi Covid-19.
Namun pendekatan kebijakan ini juga menyisakan banyak lubang kritik. Di antaranya, kebijakan ini tidak cukup kuat mengangkat pertumbuhan ekonomi, yang diistilahkan Purbaya sebagai “mencekik” potensi pertumbuhan ekonomi.
Pendekatan Sri Mulyani nampaknya dibayang-bayangi oleh pengalamannya 3 dekade terakhir di mana perekonomian Indonesia sejak 1997 selalu dibayang-bayangi oleh ancaman krisis.
Sri Mulyani, dalam banyak kesempatan, memang selalu menekankan pentingnya menjaga keseimbangan fundamental ekonomi, ketimbang mengambil kebijakan berisiko tinggi, kendati kebijakan tersebut memiliki kemungkinan dan potensi mengungkit performa ekonomi.
Jalan Berbeda untuk Mendukung Program Prabowo
Purbaya nampaknya telah memutuskan untuk mengambil jalan berbeda.
Di tengah beratnya tekanan fiskal pemerintah yang terutama ditandai oleh tekanan pada performa penerimaan negara, tumpukan utang dan perubahan mendasar kebijakan fiskal Presiden Prabowo Subianto.
Purbaya memilih mengambil risiko untuk melancarkan kebijakan ekonomi yang lebih ekspansif, demi mengejar target pertumbuhan 8% yang dicanangkan oleh Presiden Prabowo.
Premis dasar kebijakan ekspansif Purbaya nampaknya bersumber pada keyakinan bahwa untuk mengatasi tekanan fiskal pemerintah, pertumbuhan ekonomi yang tinggi akan dengan sendirinya memperbaiki struktur penerimaan negara dan karenanya juga memampukan pemerintah mengatasi belitan utang negara.
Dari penjelasannya di Rapat Kerja dengan DPR RI, ia menggariskan pentingnya membanjiri perekonomian dengan likuiditas. Baginya, perekonomian tidak akan tumbuh sesuai potensinya jika perekonomian dibiarkan kering.
Itulah yang mendasari mengapa ia kemudian memutuskan untuk mendorong Bank Indonesia (BI) memperluas pertumbuhan uang primer dengan melepas sebagian uang pemerintah yang disimpan di BI.
Sebetulnya, Purbaya tidak sendiri. BI juga mulai melihat adanya situasi yang sama di mana perekonomian memerlukan likuiditas segera untuk memicu pertumbuhan.
BI Sudah Mengawali
Sebelum Purbaya menjadi menteri, BI sudah mulai melakukan kebijakan pelonggaran yang ekspansif. Mulai dari penurunan Suku Bunga BI hingga penurunan persentase Giro Wajib Minimum (GWM) perbankan.
Dua kebijakan yang tidak cukup dikatakan sebagai relaksasi, tetapi lebih pantas disebut sebagai kebijakan ekspansif ala otoritas moneter.
Uang Pemerintah yang disimpan di BI dialihkan ke perbankan. Pengalihan ini otomatis menimbulkan ekspansi moneter. Lazimnya, kebijakan ini dikhawatirkan menimbulkan inflasi moneter dan mengurangi kredibilitas nilai tukar.
Tapi nampaknya, Menkeu Purbaya punya pemikiran tersendiri mengenai hal ini. Argumennya adalah ekspansi moneter ini tidak akan inflatoir di sisi permintaan (demand pull) dikarenakan besarnya gap antara inflasi riil dengan potensi pertumbuhan.
Argumen ini tak melulu benar karena sudah terbukti dalam rekam sejarah kebijakan ekonomi di banyak tempat, ekspansi moneter secara inheren mengandung efek inflatoir yang bisa muncul dalam waktu dekat dan juga secara bertahap di masa datang.
Namun pilihan kebijakan sudah diambil: pertumbuhan ekonomi mesti jadi prioritas
Tantangan berikutnya adalah bagaimana mewujudkan koordinasi kebijakan dengan BI di sisi pengelolaan moneter dan dengan Otoritas Jasa Keuangan (OJK) di sisi pengawasan perbankan bisa berjalan dengan baik.
Sehingga, kebijakan ini sekaligus juga bisa dimitigasi risikonya.
Stimulus Ekonomi yang Tak Bebani APBN
Dengan pengalihan ini, perbankan kini memiliki likuiditas untuk membuatnya lebih leluasa bergerak. Kebijakan intervensi langsung ini bisa disebut sebagai stimulus ekonomi tanpa mengubah postur fiskal pemerintah.
Bagi perbankan ini bisa menjadi berkah tapi juga dapat menjadi beban baru. Menjadi beban baru karena sifat uang pemerintah yang dialihkan ini bertenor pendek dan sewaktu-waktu dibutuhkan pemerintah karena terikat dengan performa APBN.
Apalagi dalam pelepasannya, Menkeu Purbaya mewanti-wanti agar likuiditas baru ini tidak diserap balik oleh BI melalui Sertifikat BI (SBI) atau di tempatkan di instrumen keuangan jangka pendek lainnya.
Perlu dicatat pula, Dana Cadangan Pemerintah di BI itu juga memiliki imbal hasil yang terikat dengan perkembangan SBI. Oleh karenanya, penempatan uang atau Dana Cadangan Pemerintah di perbankan tentu juga akan memperhitungkan imbal hasilnya.
Seperti yang sudah kami sebutkan sebelumnya, BI yang sudah ekspansif jika dikombinasikan dengan pendekatan ekspansif Menkeu Purbaya akan menyebabkan perekonomian dibanjiri likuiditas.
Kombinasi penurunan BI Rate, GWM dan pelepasan Dana Cadangan Pemerintah menginjeksi perekonomian dengan likuiditas mendekati Rp500 Triliun. Jumlah yang cukup besar bagi perekonomian yang cenderung stagnan.
Baca Juga: Outsider dalam Fiskal: Dari Rizal Ramli ke Purbaya Yudhi Sadewa
Kami menyarankan agar kombinasi kebijakan ini turut dibarengi dengan matriks kebijakan lanjutan yang memprioritaskan penguatan kelas menengah.
Sebab, biasanya banjir likuiditas seringkali lebih memberi peluang kepada kelompok ekonomi kuat untuk berekspansi dan sedikit sekali memberi ruang bagi kelompok ekonomi menengah dan juga kecil.
Penyebabnya bisa berupa “malasnya” perbankan dalam mengambil resiko dan kurangnya upaya untuk menyinkronkan peraturan perbankan yang lebih familiar dengan kelas menengah dan kecil.
Selain itu, agar “policy chanelling-nya" juga efektif dalam memperkuat ekonomi di berbagai daerah yang juga mengalami tekanan berat, Menkeu Purbaya perlu koordinasi dan pelibatan erat pemangku kepentingan ekonomi di berbagai daerah.
Ekspansi Fiskal semestinya juga merangkul dan memperkuat fundamental fiskal daerah, dan bukan sebaliknya, mencekik perekonomian daerah. Pemotongan Dana Transfer Daerah hingga 29% perlu ditinjau ulang.
Siklus ekonomi daerah-daerah memerlukan penormalan. Metode kebijakannya bisa berubah, tapi esensi penguatan ekonomi lokal tidak bisa diabaikan. Itu terlalu sangat penting untuk tidak diperhatikan serius.
Jalan yang ditempuh Menkeu Purbaya ini bukan jalan yang mudah. Dia tidak sedang mewarisi keadaan ekonomi yang sedang baik-baik saja. Terutama dari sisi fiskal pemerintah. Tanda-tanda perlambatan ekonomi membayang-bayangi.
Keberaniannya memilih kebijakan yang tidak konvensional patut diapresiasi namun juga perlu untuk terus dikritik. Wallaahu a'lam.***
Untuk menikmati berita peristiwa di seluruh dunia, ikuti kanal TheStanceID di Whatsapp dan Telegram.