Oleh Harun Al-Rasyid Lubis. Guru Besar Fakultas Teknik Sipil dan Lingkungan (FTSL) Institut Teknologi Bandung (ITB), alumni KRA 37 Lembaga Ketahanan Nasional (Lemhanas), kini menjadi Ketua Rukun Warga (RW) 16 Kelurahan Sekeloa, Bandung, dan aktif di Infrastructure Partnership & Knowledge Center (IPKC).
Pembentukan dana kekayaan negara (sovereign wealth fund/SWF) seperti Badan Pengelola Investasi (BPI) Danantara merepresentasikan pergeseran strategis dalam cara suatu negara mengelola kekayaannya.
Tak seperti Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) yang berasal dari pajak dan utang serta dialokasikan untuk pengeluaran tahunan, SWF merupakan kumpulan modal yang dirancang untuk menghasilkan imbal hasil jangka panjang bagi generasi mendatang.
Usulan untuk mengalokasikan modal ini untuk proyek-proyek layanan publik seperti kereta api cepat, perumahan terjangkau, dan pengelolaan sampah sangat menarik.
Usulan ini tampaknya menawarkan solusi: membangun infrastruktur penting tanpa membebani anggaran negara atau menambah utang nasional.
Namun, pendekatan ini sarat dengan peringatan mendalam yang berasal dari konflik mendasar antara tujuan pembangunan dan kewajiban fidusia. Peringatan utama dan paling signifikan adalah bahaya penyimpangan misi dan pelanggaran mandat fidusia dana tersebut.
Mandat inti dana kekayaan negara adalah melestarikan dan mengembangkan kekayaan nasional untuk mengamankan masa depan keuangan bangsa. Investasinya harus dinilai terutama berdasarkan imbal hasil keuangan yang disesuaikan dengan risiko.
Proyek layanan publik, pada dasarnya, seringkali tak berorientasi keuntungan semata. Proyek-proyek tersebut dicirikan dengan belanja modal (capital expenditure/capex) tinggi, masa gestasi panjang, dan penetapan harga sosial yang menekan imbal hasil.
Mengubah Fungsi Danantara
Menggunakan modal Danantara untuk proyek-proyek semacam itu berujung pada risiko pertama, yakni mengubahnya dari dana kekayaan menjadi bank pembangunan atau anggaran bayangan, mengaburkan batasan disiplin fiskal.
Jika investasi ini menghasilkan imbal hasil sub-komersial, dana tersebut gagal dalam tugas utamanya kepada warga negara, yang secara efektif mengikis tabungan antargenerasi bangsa untuk keuntungan pembangunan jangka pendek hingga menengah.
Hal ini mengarah langsung pada peringatan kedua: risiko mendistorsi persaingan pasar dan menciptakan persaingan yang tidak seimbang. Danantara, yang didukung oleh negara, memiliki kekuatan finansial yang sangat besar.
Jika berinvestasi langsung dalam proyek-proyek seperti perumahan terjangkau atau pengelolaan sampah, hal itu dapat menggeser modal swasta dan investor yang tak dapat bersaing dengan entitas yang didukung negara yang mungkin menerima imbal hasil lebih rendah.
Hal ini menghambat inovasi dan investasi sektor swasta yang sangat dibutuhkan perekonomian.
Sebaliknya, peran dana yang dikelola Danantara seharusnya menjadi katalis, bukan dominator. Modal seharusnya digunakan untuk mengurangi risiko proyek-proyek guna menarik investasi bersama swasta dengan persyaratan komersial.
Misalnya, menyediakan pembiayaan mezzanine atau menjamin risiko tertentu dalam Kemitraan Pemerintah-Swasta (KPS) untuk pembangkit listrik tenaga sampah, sehingga proyek tersebut layak bank bagi investor komersial sepenuhnya, tanpa menggantikan mereka.
Rawan Diintervensi Secara Politis
Ketiga, persyaratan tata kelola dan transparansi menjadi semakin kritis dan kompleks secara eksponensial. Ketika dana publik digunakan, akuntabilitas mengalir melalui proses penganggaran pemerintah.
Ketika modal SWF dipertaruhkan, akuntabilitasnya ditujukan kepada warga negara sebagai penerima manfaat utama dari portofolio dana tersebut. Investasi harus diteliti dengan perspektif komersial, bebas dari campur tangan politik.
Peringatannya adalah bahwa proyek-proyek seperti perkeretaapian, perumahan, dan pengelolaan limbah pada dasarnya bersifat politis.
Terdapat risiko serius bahwa keputusan investasi dapat didorong oleh kepentingan politik—memilih proyek berdasarkan lokasi atau visibilitasnya, alih-alih kesehatan keuangannya.
Untuk memitigasi hal ini, Danantara harus beroperasi dengan kerangka tata kelola yang kuat: dewan independen dan profesional, kriteria investasi transparan, dan publikasi metrik kinerja yang secara jelas memisahkan investasi komersialnya dari investasi yang berorientasi pada pembangunan.
Lebih lanjut, terdapat peringatan mengenai likuiditas dan konsentrasi aset. Portofolio investasi yang sehat memerlukan diversifikasi di seluruh kelas aset, geografi, dan sektor untuk memitigasi risiko.
Berinvestasi secara langsung dalam jumlah besar ke dalam beberapa proyek infrastruktur domestik berskala besar akan memusatkan risiko dana pada aset-aset yang tidak likuid dan hanya dimiliki satu negara.
Hal ini melanggar prinsip utama manajemen portofolio. Jika krisis ekonomi di masa mendatang membutuhkan likuiditas, dana tersebut tidak dapat dengan mudah menjual saham di perusahaan kereta api nasional atau kompleks perumahan rakyat.
Kurangnya diversifikasi ini membuat tabungan negara rentan terhadap guncangan ekonomi domestik.
Bagaimana jika Danantara Terima Modal Asing?
Dampak penerimaan modal asing oleh Danantara bersifat transformatif tetapi bukan berarti positif tanpa syarat.
Hal ini akan meningkatkan kapasitas keuangan dan profesionalisme dana tersebut, tetapi membuat pemangku kepentingan baru yang kuat untuk masuk, meski tujuannya mungkin tidak selalu sejalan dengan tujuan pembangunan jangka panjang Indonesia.
Intinya, modal asing akan mengubah Danantara dari sebuah wahana tabungan negara menjadi kemitraan investasi global.
Potensi keuntungannya sangat besar, tetapi taruhan dan risikonya sama tingginya, membutuhkan tingkat disiplin dan transparansi yang jauh melampaui lembaga pemerintah pada umumnya.
Akhirnya, metrik keberhasilan menjadi ambigu dan berbahaya. Apakah keberhasilan investasi kereta cepat diukur dari jumlah penumpang dan manfaat sosialnya, atau dari imbal hasil finansialnya atas modal Danantara?
Kebingungan ini dapat digunakan untuk menutupi keputusan investasi yang buruk. Sebuah proyek yang gagal secara finansial mungkin dibela berdasarkan "dampak" sosio-ekonominya, yang menciptakan lubang hitam akuntabilitas.
Untuk menghindari hal ini, setiap investasi oleh Danantara dengan tujuan ganda harus memiliki ketentuan yang ditetapkan dengan jelas sejak awal.
Jika negara menginginkan hasil sosial yang mengorbankan imbal hasil, negara harus secara eksplisit membayar biaya atau subsidi kepada dana tersebut untuk memperhitungkan keuntungan yang hilang, menjaga akuntansi keuangan dana tersebut tetap bersih dan transparan.
Baca Juga: Ada Sosok Kontroversial & Konflik Kepentingan di Danantara. Investor Percaya?
Kesimpulannya, meskipun niat untuk memanfaatkan Danantara untuk barang publik dapat dipahami, peringatannya sangat serius.
Hal ini berisiko mengorbankan mandat dana untuk menghasilkan kekayaan, mendistorsi pasar, mengundang campur tangan politik, memusatkan risiko, dan mengaburkan akuntabilitas.
Jalan yang bijaksana bukanlah mengalihkan Dana Investasi Berkelanjutan (SWF) dari tujuannya, tetapi menciptakan sinergi yang canggih. Negara harus menggunakan APBN untuk subsidi layanan publik murni dan kerangka regulasi.
Danantara kemudian bertindak sebagai co-investor yang canggih, menyediakan modal yang sabar dan instrumen mitigasi risiko untuk menarik investasi swasta berskala besar ke sektor-sektor ini dengan persyaratan yang layak secara komersial.
Hal ini memastikan bahwa dana kekayaan negara tetap setia pada namanya: penjaga kekayaan nasional, bukan perpanjangan anggaran negara, sehingga mengamankan masa depan keuangan bangsa sekaligus memungkinkan pembangunannya.***
Simak info publik, kebijakan & geopolitik dunia di kanal Whatsapp dan Telegram The Stance.