Semarang, TheStance – Ketika aksi demonstrasi Akhir Agustus 2025 merebak di Indonesia yang berujung pembakaran gedung legislatif dan penjarahan rumah pejabat, sempat muncul wacana pemberlakukan darurat militer di Indonesia.

Di Indonesia, darurat militer bukanlah sesuatu yang haram karena pernah diberlakukan beberapa kali tanpa implikasi negatif dalam skala luas. Namun, ada beberapa risiko yang perlu diwaspadai jika opsi ini jadi diambil.

Kepala Pusat Penerangan (Kapuspen) TNI Brigjen TNI (Mar) Freddy Ardianzah mengatakan darurat militer belum menjadi opsi ataupun rencana untuk diberlakukan.

“Saya tegaskan kembali bahwa TNI tidak memiliki niat, rencana, maupun inisiatif untuk memberlakukan darurat militer,” tuturnya seperti dikutip Sindonews.

TheStance mengulas implikasi kebijakan darurat militer dengan mengacu pada buku Hukum Tata Negara Indonesia karya Fajlurrahman Jurdi. Ada prakondisi sebelum darurat militer diberlakukan, yakni keadaan darurat (state of emergency).

Keadaan darurat merupakan hak preriogatif presiden, untuk mengeluarkan maklumat penundaan fungsi normal dari eksekutif, legislatif dan yudikatif. Termasuk, mengubah kehidupan normal warga negara dan institusi pemerintah, untuk tanggap darurat.

Pemikir Jerman Carl Schmitt menyebut keadaan darurat sebagai state of exception, yakni kemampuan atau tindakan pemegang kedaulatan (sovereign) untuk melampaui atau mengecualikan aturan hukum (rule of law) atas nama kepentingan publik.

Schmitt juga menegaskan bahwa kedaulatan adalah “dia yang memutuskan pengecualian.” Negara secara terpaksa harus melanggar prinsip yang dianutnya demi menyelamatkan negara karena adanya suatu ancaman yang serius.

Empat Hukum Keadaan Darurat

Di Indonesia, setidaknya ada empat hukum keadaan darurat yang pernah berlaku dalam 80 tahun terakhir, yaitu Peraturan Staat van Oorlog een Beleg (SOB) 1939, UU No. 6 Tahun 1946, UU No. 74 Tahun 1957, dan Perpu No. 23 Tahun 1959.

Peraturan SOB 1939 yang berlaku di masa kolonial Belanda membedakan tingkat keadaan bahaya menjadi dua, yaitu keadaan perang atau Staat van Oorlog (SvO) dan keadaan pengepungan atau Staat van Beleg (SvB).

Namun Undang-Undang (UU) pasca-kemerdekaan, yakni UU Nomor 6/1946 tentang Keadaan Bahaya Republik Indonesia, tidak mengatur klasifikasi demikian.

Barulah kemudian muncul UU Nomor 74/1957 yang mencabut kedua undang-undang tersebut dan mendefinisikan keadaan bahaya menjadi dua, yaitu keadaan darurat dan keadaan perang.

Tingkat keadaan bahaya ini ditambahkan pada Peraturan Perundang-undangan (Perpu) Nomor 23/1959 menjadi tiga, yaitu tingkat darurat sipil, darurat militer, dan keadaan perang, yang berlaku sampai sekarang.

Pasal 1 Perpu tersebut mengatur 3 kondisi yang memungkinkan presiden sebagai panglima tertinggi militer menyatakan seluruh atau sebagian wilayah Indonesia dalam keadaan bahaya dengan tingkatan darurat sipil, darurat militer atau keadaan perang:

  1. Keamanan atau ketertiban hukum di seluruh wilayah atau di sebagian wilayah Negara Republik Indonesia terancam oleh pemberontakan, kerusuhan-kerusuhan atau akibat bencana alam, sehingga dikhawatirkan tidak dapat diatasi oleh alat-alat perlengkapan secara biasa;

  2. Timbul perang atau bahaya perang atau dikhawatirkan perkosaan wilayah Negara Republik Indonesia dengan cara apapun juga;

  3. Hidup negara berada dalam keadaan bahaya atau dari keadaan-keadaan khusus ternyata ada atau dikhawatirkan ada gejala-gejala yang dapat membahayakan hidup Negara.

Untuk saat ini, kondisi Indonesia tidak memenuhi salah satu dari ketiga aspek tersebut, karena tidak ada kerusuhan yang tak terkendali atau ancaman perang dan gejala yang membahayakan eksistensi Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI).

Imbas Darurat Sipil dan Darurat Militer

Mengacu pada Perpu Tahun 1959, jika keadaan Darurat Sipil dan Darurat Militer ditetapkan maka ada beberapa konsekuensi yang mempengaruhi kehidupan kita sehari-hari.

Pertama, pembatasan kebebasan sipil dalam mengekspresikan suaranya di ruang publik. Hal ini termasuk juga aktivitas komunikasi.

Pasal 17 menyebutkan bahwa Penguasa Darurat Sipil berhak mengetahui semua berita serta percakapan via "kantor tilpon atau kantor radio," dan melarang atau memutus pengiriman berita atau percakapan dengan perantaraan tilpon atau radio.

Ayat ketiga di pasal tersebut memungkinkan alat komunikasi yang lain untuk dibatasi, dilarang pemakaiannya, disita, bahkan dihancurkan.

"Menetapkan peraturan-peraturan yang membatasi atau melarang pemakaian alat-alat telekomunikasi sepertinya tilpon, tilgrap, pemancar radio dan alat-alat lainnya yang ada hubungannya dengan penyiaran radio dan yang dapat dipakai untuk mencapai rakyat banyak, pun juga mensita atau menghancurkan perlengkapan-perlengkapan tersebut."

Hal yang sama berlaku untuk kondisi Darurat Militer seperti diatur di Pasal 25.

Kedua, pembatasan kebebasan sipil untuk bergerak, berserikat dan berkumpul ketika terjadi Darurat Sipil.

Jangankan berkumpul untuk nonton bareng (nobar), kongkow, atau menghadiri pengajian dan konser. Keluar rumah malam hari saja dibatasi seperti diatur di pasal 19.

Bahkan, penjelasan pasal 19 memungkinkan penguasa militer berhak melarang orang berada di luar rumah dengan jam malam: "memberi kemungkinan untuk mengadakan jam malam dan pembatasan-pembatasan lain yang sedemikian."

Lockdown Akan Diberlakukan

lockdown

Ketiga, ada risiko lockdown, yang membuat warga negara seperti tahanan kota, tak boleh bepergian atau beraktivitas normal. Hal ini diatur ketika terjadi Darurat Militer, di mana Pasal 25 memberi kewenangan kepada Penguasa Darurat Militer untuk:

  • Ayat 4: menutup untuk beberapa waktu yang tertentu gedung-gedung tempat pertunjukan-pertunjukan, balai-balai pertemuan, rumah-rumah makan, warung-warung dan tempat-tempat hiburan lainnya, pun juga pabrik-pabrik, bengkel-bengkel, toko-toko dan gedung-gedung lainnya;

  • Ayat 5: mengatur, membatasi atau melarang pengeluaran dan pemasukkan barang-barang dari dan ke daerah yang dinyatakan dalam keadaan darurat militer

  • Ayat 6: mengatur, membatasi atau melarang peredaran, pembagian dan pengangkutan barang-barang dalam daerah yang dinyatakan dalam keadaan darurat militer

  • Ayat 7: mengatur, membatasi atau melarang lalu-lintas di darat, di udara dan di perairan serta penangkapan ikan.

Tak hanya, itu mereka juga bisa menutup sementara gedung-gedung tempat pertunjukan, balai pertemuan, rumah makan, warung, tempat hiburan lainnya, pabrik, bengkel, toko dan gedung-gedung lainnya.

Keempat, yang mengerikan, Penguasa Darurat Militer bisa seperti Israel yang berwenang menangkap dan menahan warga Palestina meski tanpa bukti kriminal. Sembari menunggu pemeriksaan, penahanan boleh berlangsung maksimal 50 hari.

Hal tersebut diatur di Pasal 32 Ayat 3. Artinya, negara tak bisa digugat jika orang yang tak bersalah ditangkap dan ditahan 50 hari (hanya berbekal dugaan), sekalipun nantinya terbukti tak bersalah.

Pernah Diberlakukan Dua Kali di Indonesia

tentara

Sepanjang sejarah Indonesia, darurat militer hanya diberlakukan dua kali, baik dalam skala nasional maupun regional. Ironisnya, keduanya diberlakukan di era reformasi, bukan di era Orde Baru (yang dikenal otoriter) dan Orde Lama (yang dikenal terpusat).

Eforia kebebasan di era reformasi justru berujung instabilitas, karena menguatnya kemelut politik dan intrik yang melibatkan pemilik modal, petinggi militer, atau organisasi massa yang saling bersaing.

Kedua kasus darurat militer itu terjadi di wilayah Indonesia yang ingin memerdekakan diri. Salah satunya berhasil merdeka yakni Timor Timur, satunya tetap bersatu di bawah NKRI yakni Nanggroe Aceh Darussalam.

  1. Darurat Militer Timor Timur (1999)

    Pada 7 September 1999, pemerintah Republik Indonesia memberlakukan Darurat Militer di Timor Timur sebagai respons langsung terhadap kekacauan yang meledak setelah hasil Referendum diumumkan pada 30 Agustus 1999.

    Tujuan pemberlakuan Darurat Militer adalah untuk memberikan landasan hukum dan wewenang yang lebih besar bagi aparat keamanan untuk bertindak tegas menindak kerusuhan dan memulihkan ketertiban.

    Darurat Militer ini berakhir pada 24 September 1999.

  2. Darurat Militer Gerakan Aceh Merdeka (GAM) (2003-2004)

    Pada hari Senin (19/05/2003) Presiden Megawati Soekarnoputri memberlakukan status keadaan Darurat Militer di Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam melalui Keputusan Presiden (Keppres) No. 28 Tahun 2003.

    Keppres tersebut secara spesifik berisi "Pernyataan Keadaan Bahaya Dengan Tingkatan Keadaan Darurat Militer Di Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam."

    Status Darurat Militer kemudian diturunkan menjadi Darurat Sipil pada tahun 2004 setelah adanya Rapat Musyawarah antara pemerintah dan DPR.

    Status Darurat Sipil berakhir pada 19 Mei 2005 melalui Peraturan Presiden Nomor 38 Tahun 2005 karena kondisi di Aceh telah aman dan membaik secara signifikan.

Publik tentu berharap bahwa status demikian tidak akan pernah terjadi lagi di Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI). Pasalnya, rakyat lah yang akan dirugikan.

Jika pada saat Pandemi Covid-19 pemerintah memberlakukan lockdown dengan memberi kompensasi pada UMKM, maka jangan berharap kompensasi juga akan diberikan tatkala terjadi lockdown akibat Darurat Sipil dan Darurat Militer. (mhs/ags)

Simak info publik, kebijakan & geopolitik dunia di kanal Whatsapp dan Telegram The Stance.