Jakarta, TheStance – Keterlibatan pelajar dalam aksi unjukrasa belakangan ini mendapat sorotan dari berbagai kalangan. Pemerintah menyatakan pelajar tak perlu menyampaikan aspirasi lewat aksi unjuk rasa di jalan. karena berdalih demonstrasi dapat menyebabkan tindakan anarkis.
Sebagian kalangan lain menilai pelajar juga memiliki hak politik untuk menyampaikan pendapat dan aspirasinya termasuk sebagai bagian dari pembelajaran politik bagi siswa.
Gonzaga Tegaskan Pelajar Berhak Berpartisipasi dalam Demokrasi
Suara pelajar SMA/SMK berhak untuk ikut menyuarakan aspirasi dalam proses demokrasi datang dari Komunitas pelajar SMA Kolese Gonzaga.
Sekolah swasta Katolik untuk siswa SMA ini viral setelah mengeluarkan pernyataan sikap pada Kamis, 4 September 2025, yang isinya menolak pandangan yang menyebut pelajar tidak perlu terlibat dalam penyampaian pendapat di ruang publik.
“Bentuk partisipasi seperti kampanye media sosial, penyebaran petisi, hingga penyuaraan aspirasi merupakan wujud nyata kebebasan berpendapat yang dilindungi Pasal 28 Ayat (3) UUD 1945,” tulis pernyataan yang ditandatangani Kepala SMA Kolese Gonzaga, Pater Eduard C. Ratu Dopo, dan Ketua Senat, Christpoher Kana Cahyadi.
Mereka juga menyatakan keprihatinan atas jatuhnya korban jiwa dan kekerasan dalam gelombang demonstrasi akhir Agustus, yang dinilai muncul dari ketidakpuasan masyarakat terhadap pemerintah, DPR, maupun aparat penegak hukum.
Selain menegaskan hak pelajar, komunitas Gonzaga juga menghormati upaya masyarakat yang menyuarakan aspirasi secara kondusif demi kepentingan bersama. Mereka mengecam penyebaran misinformasi dan upaya pembelokan narasi yang memicu konflik horizontal. Tuntutan lainnya, mendesak DPR menunjukkan itikad baik dalam menanggapi 17+8 tuntutan rakyat yang sedang dibahas.
“Sebagai pelajar Indonesia, kami berkomitmen memberikan sikap tegas dan kritis terhadap dinamika sosial-politik yang terjadi di Tanah Air,” tulis pernyataan itu.
Polisi Menangkap dan Mencegah Pelajar Ikut Demo
Pernyataan sikap SMA Gonzaga ini dikeluarkan menyusul rentetan aksi demonstrasi akhir Agustus lalu, dimana ratusan pelajar ikut berpartisipasi dalam unjuk rasa tersebut. Akan tetapi, aparat kepolisian justru menangkap para pelajar dan mencegah mereka ikut demo.
Pihak kepolisian berdalih pelajar di bawah umur disebut tak punya hak ikut demonstrasi, oleh karenanya perlu “diamankan” agar mereka terlindungi.
Menurut informasi dari kepolisian, seperti dilaporkan Tempo, ada sekitar 51 persen massa dari klaster pelajar yang terlibat dalam demonstrasi pada 25 Agustus 2025. Angka itu kemudian meningkat menjadi 72 persen pada unjuk rasa Kamis (28/8/2025).
Andika Lutfi Falah (16), pelajar SMKN 14 Kabupaten Tangerang menjadi salah satu korban meninggal setelah ikut demo di Jakarta pada hari Kamis (28/8/2025).
Andika sempat mengalami koma dan menjalani perawatan intensif hingga akhirnya meninggal dunia pada Senin (1/9/2025).
Wakil Direktur Reserse Kriminal Umum Polda Metro Jaya Ajun Komisaris Besar Putu Kholis menduga, ada upaya sistematis untuk memobilisasi para pelajar tersebut.
Oleh karena itu pihaknya melakukan penelusuran untuk menemukan pelaku. Dari hasil penyelidikan, polisi kemudian menangkap enam orang yang dianggap sebagai provokator.
Empat orang tersebut di antaranya adalah Direktur Lokataru Foundation Delpedro Marhaen, Muzaffar Salim, Khariq Anhar, dan Syahdan Husein. Keempatnya dituduh ikut memprovokasi pelajar untuk bertindak anarkistis lewat unggahan di media sosial dengan kalimat, 'Kita lawan bareng'.
Kepolisian menilai unggahan tersebut memprovokasi para pelajar untuk turun ke jalan dan mengikuti demonstrasi.
Selain melakukan penangkapan, kepolisian juga melakukan penyisiran dan upaya pencegahan terhadap keterlibatan pelajar dalam demonstrasi pada 28 Agustus 2025 dengan melakukan razia dan menghentikan laju puluhan pelajar yang hendak menuju lokasi demo di depan gedung DPR/MPR.
Mendikdasmen : Pelajar Tak Perlu Demo di Jalan
Sejalan dengan kepolisian, Menteri Pendidikan Dasar dan Menengah (Mendikdasmen) Abdul Mu’ti juga mengatakan pelajar tak perlu menyampaikan aspirasi lewat aksi unjuk rasa di jalan.
Bahkan, Kemendikdasmen kemudian mengeluarkan surat edaran yang menginstruksikan agar kepala dinas pendidikan memberi perhatian terhadap pelajar yang berunjuk rasa di jalan.
Dia menilai, ada yang lebih pas bagi pelajar yang ingin menyampaikan aspirasi. “Ada cara yang lebih damai. Pesannya bisa sampai tanpa harus meninggalkan sekolah,” ujar Mu'ti, pada Sabtu, (6/9/2025).
Menurutnya, demonstrasi dapat menyebabkan tindakan anarkistis. Untuk itu, dia mendorong agar orang tua, guru, murid, dan dinas pendidikan untuk membina para pelajar agar tak ikut unjuk rasa.
"Mari mengajak para pelajar lebih berfokus belajar, berfokus mencapai cita-cita dalam meraih masa depan yang gemilang," ucap Sekretaris Pengurus Pusat Muhammadiyah ini.
SE Mendikdasmen Bentuk Pembatasan dan Pembungkaman
Menanggapi adanya surat edaran perihal larangan pelajar ikut turun ke jalan berdemonstrasi yang dikeluarkan Mendikdasmen Abdul Mu’ti, Kaukus Indonesia untuk Kebebasan Akademik (KIKA) menilai hal itu sebagai bentuk pembatasan dan pembungkaman.
"Edaran ini jelas bentuk pembatasan dan pembungkaman atas hak para pelajar untuk mengekspresikan pikiran," kata anggota KIKA, Herdiansyah Hamzah, dalam keterangan tertulis, Minggu, (7/9/2025).
Menurutnya, sebagai menteri, Abdul Mu’ti seharusnya paham betul bahwa kebebasan berekspresi adalah mandatory konstitusi yang harus dijamin pelaksanaannya.
Hak fundamental ini berlaku untuk setiap kepala warga negara Indonesia, termasuk para pelajar. Pembatasan terhadap hak tersebut adalah pengkhianatan terhadap UUD 1945.
Surat edaran tersebut dinilai mengerdilkan peran para pelajar sebagai generasi yang akan memikul tanggung jawab menjaga Indonesia di masa mendatang.
Dia mencontohkan sosok Presiden pertama RI Sukarno telah mengenal pemikiran politik dan belajar berorganisasi di Tri Koro Darmo atau Jong Java saat masih berusia 15 tahun, saat memasuki pendidikan sekolah menengah (HBS) dan tinggal di rumah H.O.S. Tjokroaminoto.
Lebih lanjut, Kaukus juga mengkritik isi surat edaran yang mendorong pendidik memantau aktivitas media sosial murid.
"Gagasan 'pemantauan secara proporsional' baik, tapi tanpa batasan yang jelas berisiko menabrak privasi dan mengaburkan distingsi antara edukasi literasi digital versus surveilans. Belajar pada abad ke-21 mencakup belajar berpendapat, berdialog, berorganisasi, dan berpartisipasi secara aman dan damai, bukan sekadar absen dari ruang publik," ujar Herdiansyah.
Bukan Kali Pertama, Pelajar Demo Turun ke Jalan
Pelajar SMP dan SMA memang kian semarak mewarnai aktivisme politik, baik di platform digital, maupun mereka-mereka yang turun ke jalan.
Diawali, saat kalangan pelajar khususnya siswa STM pada tahun 2019 yang ikut berunjukrasa bersama mahasiswa menolak revisi UU KPK dan RUU KUHP. Mereka kemudian juga ikut berdemo saat revisi UU Pilkada hingga keterlibatan mereka dinilai sebagai tren baru gerakan politik.
Apalagi, selama ini pelajar STM dipandang sinis sebagai ‘pembuat onar’ atau ‘tukang tawuran’. Selain itu, anak-anak STM ini dianggap masih kecil dan karenanya tidak kompeten sama sekali berpikir sendiri.
Dalam hal berpolitik yang dianggap menjadi “arena orang dewasa”, suara anak-anak memang kerap dikesampingkan dan diremehkan. Mereka rentan diklaim ditunggangi, seolah-olah tak bisa memutuskan sesuatu dengan sadar. Padahal, pelajar ikut aksi demonstrasi patut disyukuri dan diapresiasi. Sebab, artinya mereka telah melek politik sejak dini.
Pengamat politik dari Universitas Padjadjaran (Unpad), Kunto Adi Wibowo, berpandangan, partisipasi pelajar dalam aksi unjuk rasa juga bisa dilihat sebagai fenomena ketika mereka tak punya saluran politik untuk berpartisipasi secara bermakna.
“Ya akhirnya mereka turun ke jalan kan, karena mereka selama ini diabaikan, dianggap second class citizen, pokoknya nurut aja kan gitu. Dan belum waktunya berpolitik dan segala macam,” ungkap Kunto dalam keterangannya, Senin (8/9/2025).
Terkait adanya stigma rusuh, dia menilai, hal itu seharusnya tidak diasosiasikan dengan pelajar. Apalagi, kerusuhan dalam setiap unjuk rasa umumnya tak berasal dari demonstran itu sendiri, melainkan karena ulah provokator.
Ia mencontohkan pembakaran Halte TransJakarta Sarinah pada demo penolakan Undang-Undang Cipta Kerja, Oktober 2020 lalu dimana temuan Narasi mengungkap, bahwa para pelaku yang membakar halte justru bukanlah bagian dari mahasiswa atau buruh yang menjadi motor penggerak aksi demonstrasi.
“Maka ya suara mereka (pelajar) lah yang harus didengarkan, kalau menurut saya ya, dan ini harusnya menjadi sesuatu yang inheren dalam penyelenggaraan negara hari ini,” sambung Kunto.
Senada, Guru Besar Fisipol UGM, Amalinda Savirani mengatakan saat ini tren aktivis di seluruh dunia didominasi oleh kalangan yang usianya makin muda.
Ia mencontohkan sosok Greta Thunberg yang masih berusia 15 tahun saat pertama aksi di depan Parlemen Swedia.
"Anak-anak muda ini protes karena paling terdampak oleh dunia yang makin rusak dan ketimpangan/ketidakadilan yang menganga.” ujar Prof Amalinda.
Menurut Amalinda, rata-rata siswa-siswa SMK ini representasi working class alias kelas pekerja yang tinggal di gang sempit padat perkotaan. Selain itu, pekerjaan orang tua mereka serabutan, buruh cuci, ojol, dan jasa-jasa lain.
"Mereka mengalami apa itu ketimpangan. Lulus sekolah udah kebayang akan jadi apa.” tambahnya.
Pelajar yang Ikut Demo Tidak Serta-merta Bisa Dipidana
Ketua Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI) Margaret Aliyatul Maimunah menegaskan, anak-anak yang ikut demonstrasi tidak serta merta bisa dipidana. Sebab, setiap anak berhak untuk menyampaikan pendapat dan berkumpul secara damai.
“Hak tersebut dijamin dalam Konvensi Hak Anak (Convention on the Rights of the Child/CRC) yang diratifikasi melalui Keputusan Presiden No 36/1990,” ujar Margaret, Rabu (3/9/2025).
Aparat penegak hukum juga hendaknya memperlakukan anak-anak sesuai dengan yang dimandatkan dalam peraturan perundang-undangan terkait.
“Anak-anak seharusnya tidak boleh diborgol tangannya dalam proses penyelidikan, maksimal diperiksa 1x24 jam, dikembalikan ke orangtua,” katanya.
Dia menekankan, anak-anak tentu memerlukan adanya penguatan edukasi terkait dengan pendidikan demokrasi, pengetahuan bahwa memiliki hak untuk berpendapat, bersuara, dan berekspresi sesuai dengan yang diperbolehkan dalam Undang-undang.
Termasuk, edukasi tentang cerdas dan bijak dalam bermedia sosial, mengingat banyak sekali ajakan dan provokasi untuk ikut aksi dalam demonstrasi yang mengarah pada kerusuhan dan anarkis melalui media sosial.
Selain itu, Margaret menambahkan, perlunya pelajar diberikan pembekalan terkait dengan menghindarkan diri atau mengamankan diri dari tindakan yang mengarah pada kekerasan dan peristiwa yang mengarah pada kerusuhan dan anarkis.
“Orangtua/sekolah/lingkungan masyarakat juga perlu mengetahui dan melakukan pengawasan terhadap aktifitas anaknya, termasuk aktifitas anak di ruang digital,” pungkasnya. (est)
Simak info publik, kebijakan & geopolitik dunia di kanal Whatsapp dan Telegram The Stance