Rekam Jejak HTS, Teroris yang Kini Ditampilkan Sebagai Pahlawan Suriah

Sempat terafiliasi dengan ISIS dan Al-Qaeda, sepak terjang HTS penuh dengan darah.

By
in Now You Know on
Rekam Jejak HTS, Teroris yang Kini Ditampilkan Sebagai Pahlawan Suriah
Ilustrasi transisi Abu Mohammad al-Jolani dari komandan Jabhat al-Nusra menjadi pemimpin Hayat Tahrir al-Sham. (Sumber: diolah)

TheStanceID – Bagi yang belum melihat rekam-jejak Hayat Tahrir al-Sham (HTS), yang menguasai Suriah setelah menyerbu ibu kota Damaskus akhir November lalu, organisasi ini terlihat seperti tentara pembebasan. Fakta menunjukkan sebaliknya.

Tidak banyak yang mengetahui bahwa organisasi ini merupakan sempalan dari Al-Qaeda, pernah berinduk pada ISIS (Islamic State of Iraq and Sham), dan menyerang warga sipil serta golongan minoritas.

Ketika HTS mulai menguasai ibu kota Suriah, Damaskus, media Barat memberitakan si pemimpin yakni Abu Mohammad Al-Jolani dengan sebutan yang berbeda-beda. Namun, intinya tidak menggaris bawahi bahwa dia dan organisasinya adalah teroris.

Media Inggris BBC dan media Amerika Serikat (AS) CNN lebih memilih menyebut HTS sebagai pemberontak, atau faksi Islamis. Sementara itu, media Prancis Le Monde lebih memilih menyebut mereka sebagai jihadis.

BBC memberitakan upaya HTS untuk mereposisi dirinya dari masa lalu yang kelam, agar diterima masyarakat dunia sebagai pemimpin de facto di Suriah.

CNN lebih menyoroti tentang taktik HTS yang bisa dibilang jitu untuk memanfaatkan keadaan guna menggulung kekuasaan Presiden terpilih Suriah Bashar al-Assad.

Le Monde menyinggung tentang dukungan Turki terhadap militan ini, yang meminta Rusia untuk tidak mengebom basis pemberontak tersebut.

Al-Jolani sendiri kini lebih memilih disebut dengan nama aslinya yakni Ahmed Al-Sharaa, setelah nama kunyah-nya (julukan) itu dihapus dari daftar teroris AS berkat pertemuan dengan Wakil Menteri Luar Negeri AS Barbara Leaf pada 20 Desember 2024.

Tentu saja itu tak lantas menghapus masa lalu kelamnya yang ganas. Berbagai arsip pemberitaan di media massa menunjukkan borok al-Jolani, baik yang dilakukan saat organisasinya masih bernama Jabhat al-Nusra, maupun setelah bernama HTS.

Kekejaman mereka terutama dilakukan terhadap kaum minoritas pemeluk agama lain, atau kelompok islam aliran non-Sunni di semenanjung Arab.

Aksi Perdana dengan Bom Kembar

Setelah mengumumkan kehadirannya pada tahun 2011, al-Nusra memperkenalkan diri di kancah geopolitik Timur Tengah, dan ke dunia, dengan serangan bom kembar di Kawasan Midan, Damaskus pada 23 Desember 2011.

Serangan yang menyasar kantor Direktorat Keamanan Umum Suriah dan kantor Mukhabarat (divisi intel) tersebut membunuh 44 orang dan melukai 166 orang lainnya. Mayoritas adalah warga sipil yang lalu-lalang di sekitar fasilitas tersebut.

Bashar telah mensinyalir keterlibatan organisasi yang terafiliasi Al-Qaeda—yakni Al-Nusra sebagai pelakunya, sebagaimana diberitakan New York Times. Namun, nun jauh di sana, Menteri Luar Negeri Kanada John Baird membantah.

Free Syrian Army (FSA) menuduh Bashar sebagai dalang pengeboman untuk menarik simpati. FSA adalah mantan tentara Suriah yang merupakan penganut Sunni garis keras.

Mengklaim Serangan Bom

Serangan bom kedua di Suriah terjadi pada 6 Januari 2012. Serangan terhadap polisi anti-huru hara tersebut menewaskan 26 orang aparat dan warga sipil, dan melukai 140 lainnya.

Saat itu pemerintah Bashar juga dituding sebagai dalangnya, untuk memberi mereka alasan menghajar oposisi. Namun, semuanya bungkam setelah Al-Nusra merilis video yang mengklaim pengeboman itu, sebagaimana diberitakan Al-Arabiya.

Serangan ini menjadi semacam grand launch keberadaan Al-Nusra.

Dalam video berdurasi 45 menit, sosok yang mengaku sebagai Abu al-Baraa al-Shami berdalih bom itu adalah balasan atas aksi tentara Suriah yang memperkosa seorang perempuan. Abu Mohammad Al-Jolani juga muncul di situ, menyerukan jihad.

Setelah video tersebut muncul, barulah pada 16 Februari Amerika mengakui bahwa serangan 23 Desember—yang semula dituduhkan ke Assad—memang dilakukan oleh sempalan Al-Qaeda tersebut.

Pada 10 Mei 2012, al-Nusra kembali melakukan aksi pengeboman di wilayah Qazaz, Damaskus, yang menewaskan 55 orang dan melukai 372 orang, sebagian besar warga sipil.

Sekjen PBB Ban Ki-Moon mengumumkan bahwa pihaknya menerima laporan bahwa aksi tersebut dilakukan milisi dukungan Al-Qaeda, sebagaimana diberitakan BBC.

Pembantaian demi Pembantaian

Setelah Liga Arab menekan Bashar untuk tidak merepresi oposisi sepanjang 2011-2012, Al-Nusra yang beroperasi di sekitar perbatasan Turki berkembang menjadi lebih kuat, berkat aliran senjata ilegal dari perbatasan Turki.

Mulai di atas angin, al-Jolani dan kelompok Al-Nusra pun melakukan berbagai pembantaian. Pembantaian perdana terjadi di Hatla, Deir ez-Zour pada 11 Juni 2013, di mana 60 warga Syiah dibantai.

Pola pembantaian berbasis sektarian ini mengulang insiden serupa pada 11 Desember 2012 di desa Aqrab. Saat itu korbannya adalah kaum Alawi (penganut Islam sempalan Syiah yang secara fikih dekat dengan Sunni).

Namun saat itu belum ada yang mengaku bertanggung jawab.

Pembantaian selanjutnya adalah Khan al-Assal, kota yang terletak 14 kilometer dari Aleppo. Al-Nusra membantai 51 tentara Suriah dan puluhan penduduk sipil yang menyerah, dan mengupload video korban pembantaian tersebut.

Sebelumnya, kota ini diserang gas sarin yang merenggut nyawa tentara Suriah dan penduduk setempat. Namun seperti yang sudah-sudah, al-Nusra menyalahkan rezim Bashar Assad sebagai pelaku serangan gas kimia.

Warga Non-Muslim Juga Dibantai

Setelah membunuhi warga muslim minoritas, target al-Jolani selanjutnya adalah warga non-muslim minoritas. Lokasinya di Adra, kawasan industri terbesar di Suriah yang terletak di Douma.

Pembantaian berlangsung pada 11 Desember 2013, di mana Al-Nusra dan Jaish al-Islam berhasil menelusup ke dalam kota tersebut, dan membantai kaum Alawi, Kristen, Druze, dan Syiah.

Rezim Suriah sempat dituding sebagai dalang di balik pembunuhan tersebut, tetapi temuan di lapangan berkata lain sehingga media Barat seperti BBC pun melaporkan kekejian itu.

Pada 25 April 2015, al-Nusra berhasil menguasai Jisr al-Shughour, di Idlib. Mereka membersihkan sebuah desa bernama Eshtabraq, yang mayoritas penduduknya adalah muslim Alawi. Sebanyak 200 orang warga sipil dibantai.

Dua bulan kemudian, mereka menyasar Qalb Lawza, masih di wilayah Idlib, yang dihuni warga Druze. Sebanyak 23 orang dibunuh. Di kemudian hari, Idlib mereka jadikan sebagai basis pertahanan.

Dari aksi-aksi teror tersebut lah mereka membangun kekuatan di Idlib, didukung Liga Arab—khususnya Qatar—secara diplomatik, dan didukung Turki secara militer. Di belakangnya, Amerika mengawasi.

Maka, bukanlah sebuah kebetulan jika pejabat kedua negara tersebut menjadi yang pertama mengunjungi al-Jolani di Damaskus. Amerika dan Inggris menyusul di barisan selanjutnya. Soal: teroris atau tidak? Sudahlah. (ags)

\