No Viral, No Justice; Cara Baru Tunjukkan Kemuakan atas Tabiat Lama Polisi
Masyarakat menunjukkan kemuakan dengan istilah no viral no justice. Istilah baru, untuk problem lama kepolisian.

Jakarta, TheStanceID – Sudah jatuh tertimpa tangga. Dwi Ayu Darmawati, pegawai toko roti yang jadi korban penganiayaan anak bosnya, mengungkap buruknya layanan kepolisian ketika dia berupaya meminta keadilan.
Perempuan berusia 19 tahun tersebut adalah korban penganiayaan anak bosnya, bernama George Sugama Halim, di sebuah toko roti di bilangan Cakung, Jakarta Timur (Jaktim) pada 17 Oktober 2024.
Kekerasan ini berawal ketika Dwi menolak mengantarkan makanan ke kamar pribadi George karena bukan bagian dari tugasnya sebagai karyawan toko roti. George murka dan melemparkan berbagai barang ke arah Dwi hingga kepalanya terluka.
"Pas sudah berdarah, tapi saya enggak tahu sudah berdarah, saya megangin kepala saya begini. Mungkin dia sudah lihat duluan darah, terus dia kabur ke belakang, baru saya bisa kabur ke luar toko," tuturnya di gedung DPR, Selasa (17/12/2024).
George sudah sering melakukan kekerasan baik verbal maupun fisik kepadanya. Beberapa kekerasan verbal yang dialaminya berupa makian serta hinaan dengan kata 'babu' dan 'miskin'. Dia juga sempat mengeklaim dirinya kebal hukum.
Dwi baru mendapatkan perlindungan hukum setelah dua bulan Upaya menempuh prosedur hukum formal tak membuahkan hasil. Setelah videonya viral di media sosial, barulah aparat hukum bergerak.
Hal ini diakui Dwi Ayu ketika curhat di hadapan anggota Komisi III DPR pada Selasa (17/12/2024). Dia mengaku ditolak di dua polsek, hingga kemudian ditipu pengacara yang dimintai bantuan hukum di tengah absennya peran kepolisian.
Awalnya, Dwi melaporkan aksi kekerasan George ke Polsek Rawamangun, yang kemudian mengalihkannya ke Polsek Cakung sebagai tempat kejadian. Namun, kemudian dia dioper lagi ke Polres Jakarta Timur.
Dwi baru divisum sehari setelah bolak-balik ke beberapa kantor polisi. George sendiri baru ditangkap polisi di Sukabumi, Jawa Barat dua bulan kemudian, tepatnya Senin (16/12/2024) dini hari, setelah video aksi kekerasan itu viral di media massa.
DPR: Polisi Harus Berbenah
Langkah polisi yang baru bertindak setelah kasus itu viral di media sosial, memantik kembali percakapan ‘no viral, no justice.’ Istilah ini merujuk pada fenomena korban yang baru mendapat perlindungan hukum setelah kasusnya merebak di media sosial.
Anggota Komisi III dari Fraksi Partai Golongan Karya Rikwanto mengaku heran melihat buruknya penanganan aparat polisi pada kasus Dwi, mengingat semua barang bukti tersedia dengan nyata.
"Termasuk videonya juga ada, kok sampe dua bulan? Penyelidikannya hampir satu bulan, penangkapannya hampir satu bulan juga. Itupun setelah viral," kata Rikwanto yang merupakan Mantan Kapolda Kalimantan Selatan ini.
Anggota Komisi III DPR dari Fraksi Partai Nasdem, Rudianto Lallo, menekankan bahwa fenomena no viral no justice menjadi indikasi buruknya penegakan hukum di Indonesia yang tidak profesional, karena baru bergerak ketika ada tekanan publik.
"Karena kalau viral baru ditangani, ya kita sampaikan pada masyarakat Indonesia: kalau mau masyarakat Indonesia mencari keadilan, mau ditangani, ya viralkan dulu. Kan tidak bagus kalau penegakan hukum seperti itu," ujar Rudianto.
Fenomena ini, menurut Rudianto, mencoreng nama baik Polri sekaligus menggerus kepercayaan publik. "Kalau ada perilaku oknum-oknum seperti ini yang mengabaikan laporan-laporan polisi, yang kebetulan pelapornya hanya pekerja biasa, ini yang sungguh-sungguh memprihatinkan bagi kita."
Berbagai Kasus Diproses setelah Viral
Kasus Dwi Ayu bukanlah yang pertama. TheStanceID merangkum beberapa dari sekian banyak kasus yang baru ditindaklanjuti saat sudah viral terlebih dahulu. Berikut kasus-kasus tersebut :
Vina Cirebon
Kematian Vina Dewi Arsita dan pacarnya, Muhammad Rizky, terjadi pada 27 Agustus 2016, tetapi kembali viral 8 tahun kemudian dengan rilisnya film Vina: Sebelum 7 Hari di bioskop.
Viralnya kasus ini membuat polisi meninjau kembali pembunuhan ini dan langsung menangkap satu tersangka tambahan.
Pelecehan seksual pegawai KPI
Pegawai Komisi Penyiaran Indonesia (KPI) berinisial MS mengaku menerima tindakan perundungan, perbudakan, hingga pelecehan seksual oleh teman-teman kantornya sejak ia bekerja di KPI pada 2012.
MS sempat melaporkan kasusnya kepada atasan dan pihak kepolisian, tetapi laporan tersebut tidak diseriusi.
Polisi baru bergerak mengusut kasus ini setelah MS menuliskan kasus perundungan dan pelecehan seksual yang dialaminya di X pada awal September 2021.
Penganiayaan Brandoville
Pegawai CS dalam agensi animasi Brandoville menjadi korban penganiayaan bosnya, Cherry Lai, selama bekerja di tempat itu sejak tahun 2022. Namun dia tak kunjung bisa mendapatkan keadilan.
CS lantas mengunggah bukti penganiayaan itu di media sosial X pada September 2024 dan kemudian menjadi viral. Polisi memulai penyelidikan pada 5 September 2024 setelah CS melaporkan kasus itu atas ancaman pembunuhan.
Kasus Penganiayaan Dokter Koas
Seorang dokter koas, berinisial MLH menjadi korban penganiayaan di sebuah kafe di Jalan Demang Lebar Daun, Palembang pada Rabu, 11 Desember 2024.
Polisi langsung memproses kasus ini usai pelaporan dari MLH dibarengi viralnya video penganiayaan. Pelaku penganiayaan sudah ditangkap oleh aparat kepolisian pada 14 Desember 2024.
Tabiat Lama Polisi
Penasihat ahli Kapolri Irjen Pol (Purn) Aryanto Sutadi menilai tabiat Polri yang menelantarkan mereka yang mencari perlindungan, sudah terjadi sejak lama. Hanya saja, sikap menelantarkan laporan masyarakat itu semakin santer dan mendapat sebutan baru.
Pada tahun 2021, menurut catatan TheStanceID, sempat ramai tagar percuma lapor polisi ketika viral kasus dugaan pencabulan yang dihentikan penyelidikannya oleh kepolisian Luwu Timur.
Sebelumnya di era tahun 1990-an, Presiden Abdurrahman Wahid telah melontarkan guyonan bahwa hanya ada tiga polisi jujur di Indonesia, yakni patung polisi, polisi tidur, dan Hoegeng (Kapolri ke-5 di era Soekarno).
"Kalau menurut saya sih kasus ditelantarkan polisi bukan sekarang saja terjadi, tetapi sudah sejak dulu. Saya jadi polisi dari tahun 1971 sampai sekarang itu kondisinya di lapangan memang begitu ya," ujarnya mengutip Kompas TV, Selasa (18/12/2024).
Aryanto menyebut fenomena ini menjadi perhatian serius, terutama di era media sosial yang memungkinkan masyarakat lebih mudah menyuarakan ketidakpuasan terhadap pelayanan polisi.
Pengamat Kepolisian di Institute for Security and Strategic Studies, Bambang Rukminto melihat fenomena no viral no justice tak terlepas dari banyaknya kasus kejahatan yang terjadi dan kerap menjadikan polisi harus membuat skala prioritas.
Namun, harus diakui, ada juga kecenderungan polisi tidak menindaklanjuti laporan yang tidak mendapat “dukungan” materi, kekuasaan atau seperti saat ini kekuatan media sosial alias viralitas.
“Dengan posisi korban yang lemah, sementara pelaku memiliki posisi yang dominan, patut diduga memang polisi baru bekerja karena lebih dulu ada tekanan viral,” jelas Bambang pada TheStanceID.
Polisi Masih Santai Saja
Menurut Bambang, fenomena no viral no justice yang banyak disuarakan di medsos merupakan bentuk keprihatianan dan juga pengawasan masyarakat untuk mendorong kepolisian bekerja.
"Pasalnya, saluran kelembagaan, baik internal maupun eksternal dinilai masyarakat tidak efektif, dan senantiasa berkelindan dengan birokrasi yang rumit. Demikian juga dengan aplikasi pengaduan yang dibuat kepolisian sendiri,” tuturnya.
Bambang mengritik prosedur penanganan kepolisian dalam merespons pengaduan. Semestinya, pihak kepolisian langsung mendatangi tempat kejadian perkara (TKP) dan dengan cepat menaikkan status penyelidikan ke tahap penyidikan.
“Hal itu bisa dilakukan polisi hanya dengan mendapatkan cukup dua alat bukti yang sah di TKP. Lalu apa alasan tidak dilakukan penyitaan ketika korban sudah ada laporan, sudah ada saksi-saksi,” ujar Bambang.
Seiring dengan berbagai kasus yang menunjukkan tidak profesionalnya Polri, wacana untuk mengembalikan Polri di bawah Kementerian dan/atau Tentara Nasional Indonesia (TNI) kembali mengemuka.
Masyarakat telah menunjukkan kemuakannya dengan tagar no viral no justice. Anggota DPR pun sudah bersuara. Tinggal Presiden Prabowo Subianto yang belum bersikap. Dan hingga kini, Polri belum juga menunjukkan pembenahan institusinya. (est)