Perjuangan "Langitan" Versi Yahya Sinwar: Bertaruh Nyawa di Medan Karbala

Mereka hidup di atas sebuah nilai dan siap mati demi menjaga nilai tersebut. Karbala, betapa tepatnya.

By
in Soul Nutrient on
Perjuangan "Langitan" Versi Yahya Sinwar: Bertaruh Nyawa di Medan Karbala
Gambar mural Yahya Sinwar dan penjaganya berlatar belakang Masjid Al-Aqsa terpampang di Palestine Square, Tehran, Iran. Sumber: EPA-EFE

TheStanceID - Yahya Sinwar, pemimpin Hamas yang tak sengaja terbunuh dalam baku-tembak, diketahui berperang dengan perut kosong selama 3 hari. Dia menjadi legenda bagi mereka yang berjuang melampaui nalar materialistik.

Diberitakan Middle East Monitor, pria berusia 61 tahun itu terluka akibat serangan tank oleh tentara Israel di Rafah. Namun dia bertahan beberapa jam, terus melawan. Ketika sebuah serangan melukai kepalanya secara fatal, dia baru berhenti.

Tentara pendudukan Israel mengambil jasadnya, dan melakukan otopsi. Hasil otopsi tersebut bocor di media dan menguak fakta baru yang mengejutkan.

“Hasil otopsi terhadap jasad Yahya Sinwar menunjukkan bahwa dia tidak makan sama sekali selama 72 jam sebelum kematiannya,” demikian bunyi laporan otopsi, yang diangkat media zionis Israel Hayom.

Temuan ini meruntuhkan propaganda yang menuding anggota Hamas hidup kenyang karena merebut dan menimbun bantuan kemanusiaan. Demikian juga propaganda soal pemimpin Hamas hidup mewah, bersembunyi di balik warga sipil dan tahanan.

Video perlawanan terakhirnya, dan rilis hasil otopsi baru-baru ini, membuka mata dunia akan kemilau prinsip Sinwar dalam berjuang.

Dia menunjukkan bahwa Hamas—yang dituduh teroris oleh Israel dan kubu Amerika Serikat (AS)—tak sekadar mengejar target material dunia atau kepentingan politik praktis seperti yang diburu para pejuang kemenangan di Senayan atau Istana Negara.

Sinwar berjuang melampaui nalar. Dia melawan rezim brutal bermesin perang paling modern, dengan modal bom dan roket rakitan yang dibuat diam-diam melewati embargo, di fasilitas industri berskala UMKM.

Logika Langitan

Jika menggunakan logika Cartesian, Hamas tentunya kalah. Menurut lembaga PBB, Kantor Koordinasi Urusan Kemanusiaan (OCHA), 60% hunian di Gaza memang porak poranda.

Sinwar dan beberapa pemimpin Hamas terbunuh, bersama 42.000 warga Gaza. Ratusan ribu lainnya luka-luka, jutaan orang menjadi pengungsi yang bergantung pada bantuan kemanusiaan.

Di atas kertas, dengan pendekatan materialistik, ini jelas bukanlah kemenangan.

Namun, Sinwar menggunakan logika keakhiratan, atau langitan, yang berorientasi pada keyakinan spiritual subyektifnya bahwa kematian hanyalah mekanisme yang harus dilewati agar bisa memeluk kemenangan hakiki.

Mereka yang mencintai dunia cenderung merawat jasad, memburu materi dan takut mati. Sementara itu, yang mencintai akhirat akan lebih peduli merawat jiwa, menyemai nilai, dan tak takut mati.

Ruh yang kekal tidak bisa selamanya dikungkung di jasad yang fana. Jasad harus ditanggalkan guna bergabung menuju Dzat yang Maha Kekal.

Caranya? Bisa lewat sakit, kecelakaan, mabuk, bunuh diri, gagal jantung, atau terbunuh ketika berjuang menegakkan prinsip kebenaran yang diyakini.

Memilih Mati di Jalan Perjuangan

Sinwar, dan pejuang Palestina pada umumnya, memilih mati tatkala berjuang membela Tanah Airnya, warganya yang terusir puluhan tahun, melawan rezim zionis yang gesit dan brutal.

Islam, agama yang dipeluk 98% warga Palestina, memasukkan perjuangan demikian sebagai salah satu bentuk jihad—di samping jihad harta-benda, berbagi ilmu, atau merawat orang tua.

Tidak ada kekalahan di sana. Pilihannya antara: menang dan hidup mulia (kemenangan duniawi) atau mati sebagai syuhada (kemenangan hakiki).

Maka di mata pejuang Palestina, kematian bukanlah sebuah kekalahan. Bukan akhir perjuangan. Persis seperti logika para pejuang revolusi di Indonesia pada masa perang kemerdekaan: patah tumbuh hilang berganti.

Pada titik inilah perjuangan Palestina yang direpresentasikan Sinwar dan perjuangan Israel yang diwakili Perdana Menteri Benjamin Netanyahu mengalami deviasi 180 derajat, meski awalnya berangkat dari motif yang sama: keinginan hidup mulia.

Kesamaan Israel dan Palestina

Sebagai bangsa, nation building Palestina dan Israel adalah sama, yakni sama-sama diawali sebagai sebuah imagined community, mengutip konsep Benedict Anderson (1983).

Namun sebagai negara, keduanya bagaikan langit dan bumi.

Tatkala eksistensi negara Palestina terjegal menjadi sebatas gagasan—yang mengawang di langit akibat politik Amerika Serikat (AS) dan sekutunya, negara Israel sudah lama berdiri dengan dukungan politik, ekonomi dan mesin militer tercanggih di bumi.

Di situasi inilah pergolakan terjadi, dengan perang tahun 1947-1948 sebagai titik balik yang mengubah sejarah Timur Tengah.

Bagi warga Israel, tahun 1948 adalah tonggak kemerdekaan (yom ha’atzmaut), meski tak semua yahudi sependapat—seperti Neturei Karta dari dulu sampai sekarang. Secara umum warga Israel memperingatinya secara khidmat dan penuh rasa syukur.

Namun bagi warga Palestina, dia adalah nakba (kehancuran), di mana warga Palestina muslim, kristiani, dan yahudi (anti-zionisme) yang mengungsi akibat perang 1948 tak diizinkan pulang.

Tanah dan rumah mereka diserobot para zionis imigran.

Akibatnya, warga Palestina haus akan kehidupan yang mulia, dalam atmosfer keadilan, di mana mereka mendapatkan kembali hak-hak kakek-nenek, ayah-ibu dan anak-cucunya yang dirampas.

Target Kemenangan Berbeda

Target kemenangan kubu Sinwar, sebagaimana tercermin dalam piagam perjuangan Hamas yang dirilis pada 2017, adalah “untuk membebaskan Palestina dan melawan proyek Zionis.”

Di sisi lain, warga Israel juga menginginkan kehidupan yang mulia, tapi dalam atmosfer keamanan. Tidak ada roket yang berseliweran, bom mobil yang mengintai di sudut-sudut jalan, atau lemparan batu dari semak-semak.

Mereka berharap keberadaan komunitas mereka (kibbutz), yang dibangun di atas tanah dan rumah rampasan, diakui sebagai hak melekat: sebuah “tanah perjanjian Tuhan” yang harus diberikan warga Palestina secara sukarela, jika tak ingin dipaksa.

Wacana tentang 'keamanan' ini berulangkali diserukan Perdana Menteri Israel Benjamin Netanyahu untuk mengadvokasi perang brutalnya. Misalnya ketika dia diwawancara ABC News, atau ketika berpidato di Kongres AS pada 24/7/2024.

Atas nama keamanan, kaum ultrakanan Israel pun mengumumkan target kemenangan mereka yakni menduduki Gaza secara penuh, sebagaimana diulas media Israel Haaretz.

Dua atmosfer berbeda yang melingkupi konsep 'hidup mulia' inilah yang tidak mungkin ketemu. Tak ada keamanan (Israel) jika rasa keadilan (Palestina) tak dipenuhi.

Maka, terjadilah perang eksistensial, di mana serbuan Hamas pada 7 Oktober 2023 dibalas oleh Netanyahu dengan melancarkan serangan brutal yang lebih tampak sebagai genosida.

Di perang ini, kedua kubu berjuang untuk kemenangan versi masing-masing: bebas dari pendudukan (versi kubu perlawanan Palestina) dan bebas untuk melakukan pendudukan (versi kubu zionis ultrakanan).

Medan Karbala

Di tengah perang yang saling meniadakan itu, Sinwar menegaskan bahwa pilihan bagi rakyat Palestina adalah mencapai target operasi Badal Al-Aqsa—sebagaimana mereka implikasikan dalam setiap upaya gencatan senjata, yakni penukaran tahanan.

Jika tidak, maka pilihan lain adalah Karbala.

Karbala adalah ikon perjuangan ekstrim dalam membela kebenaran, di mana cucu Nabi Muhammad, yakni Husein bin Ali bersama 72 orang pengikutnya dibantai di padang Karbala, Irak.

Meski berjumlah sedikit dan dikepung ribuan tentara, Husein dan pengikutnya menolak tunduk pada penguasa lalim yakni Yazid bin Muawiyah. Mereka memilih melawan, dan mati memperjuangkan nilai kebenaran, ketimbang tunduk pada kelaliman.

Dalam keyakinan Sinwar, kubu Palestina berdiri seperti Husein dan pengikutnya. Mereka adalah faksi perlawanan (muqawwamah) di mana Hamas dan Jihad Islam bersatu melawan rezim kejam zionis.

Koalisi Terekstrim di Sejarah Israel

Berseberangan, sebagai penguasa lalim laiknya Yazid di mata Sinwar, berdiri koalisi ultrakanan Israel yang dipimpin Netanyahu melalui Partai Likud. Haaretz menyebut koalisi ini sebagai yang terekstrim dalam sepanjang sejarah negara Israel.

Dalam pertarungan tak berimbang ini, di mana Israel dibantu AS, Jerman, Inggris—dengan memasok peralatan perang, dana, dukungan diplomatik hingga info intelijen, Hamas berjuang dengan dukungan fisik hanya dari dua negara: Iran dan Suriah.

Sisa pendukungnya adalah milisi seperti Hizbullah (di Lebanon), Houthi (di Yaman), dan Popular Mobilization Force (PMF) atau Hashd As-shaabi (di Irak).

Negara Arab lain hanya membantu dengan pasokan makanan, obat-obatan, dan kain kafan, sembari tetap berdagang dengan rezim Israel dan memasok kebutuhan di tanah pendudukan yang memungkinkan agresi terus berjalan.

Meski demikian, Sinwar dan pengikutnya terus berjuang, untuk melawan kelaliman dalam medan Karbala versi mereka. Mereka hidup di atas sebuah nilai dan siap mati demi menjaga nilai tersebut.

Layaknya Husein, Sinwar dikeroyok dan terbunuh demi cita-cita yang dibela. Di sisi lain, layaknya Yazid, Netanyahu memantau dari kejauhan di gedung besar dan penuh penjagaan.

Karbala, betapa tepatnya.*** (ags)

\