Penghapusan Presidential Threshold; Idealita yang Sarat Risiko & Sandungan
Putusan MK belum tentu berujung egalitarianisme dan kestabilan politik jika masyarakat sipil tak mengawalnya.

Jakarta, TheStanceID – Semua partai boleh mengusung jagoannya sendiri di pilpres setelah pasal paling seksi, tentang batas minimal persentase pengusulan pasangan capres dan wapres (presidential threshold) direvisi. Realisasinya bakal tak mudah.
Mahkamah Konstitusi (MK) menilai semua partai politik peserta pemilu berhak mengusulkan pasangan calon presiden dan wakil presiden, dengan menghapus menghapus ambang batas pencalonan presiden.
Putusan MK yang dibacakan pada Kamis (2/1/2025) ini diajukan empat mahasiswa Fakultas Syariah dan Hukum UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta, yakni Enika Maya Oktavia, Rizki Maulana Syafei, Faisal Nasirul Haq, dan Tsalis Khoirul Fatna.
Dalam pertimbangannya, MK menilai ketentuan presidential threshold di pasal 222 nomor 7 tahun 2017 tentang pemilu itu tidak hanya bertentangan dengan hak politik dan kedaulatan rakyat, tetapi juga melanggar moralitas, rasionalitas, dan ketidakadilan.
Intinya, pasal itu mengatur bahwa calon presiden dan wakil presiden hanya bisa diusung partai atau gabungan partai yang memiliki paling sedikit 20% jumlah kursi DPR atau memperoleh 25% suara sah nasional pada pemilu legislatif sebelumnya.
Target Uji Materi Berulang Kali
Sebagai informasi, pasal ini telah berulang kali dimintakan uji materi. Sebelum mengadili empat perkara terakhir, MK telah menangani 32 perkara serupa. Hasilnya, 24 perkara tidak dapat diterima, enam ditolak, dan dua ditarik kembali.
Bahkan, jauh sebelum lahirnya UU No 7/2017, permohonan uji materi dengan materi yang relatif sama sudah diajukan oleh Mayor Jenderal TNI (Purnawirawan) Saurip Kadi pada 2014 silam.
Saat itu yang diuji materi adalah Undang-Undang Nomor 42 Tahun 2008 tentang Pemilihan Umum Presiden dan Wakil Presiden, terutama terkait presidential threshold yang dinilai pemohon sebagai praktik monopoli kekuasaan oleh parpol tertentu.
Namun kala itu hasilnya nihil. MK memutuskan menolak seluruh permohonan.
Lantas, Mengapa MK Berubah Sikap?
Wakil Ketua MK Saldi Isra menyebut pergeseran pendirian tersebut tidak hanya menyangkut besaran atau angka persentase ambang batas, karena yang lebih mendasar adalah hak semua warga negara untuk berlaga di pilrpres melalui parpol.
"Berapa pun besaran atau angka persentasenya, adalah bertentangan dengan pasal 6A, ayat 2, Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia 1945," ujar Saldi Isra, pada Kamis (2/01/2025).
Dalam pertimbangan hukumnya, MK juga mencermati dalam beberapa pemilu presiden dan wakil presiden terdapat dominasi parpol tertentu yang berdampak pada terbatasnya hak konstitusional pemilih dalam mendapatkan alternatif yang memadai terkait pasangan capres dan cawapres.
Presidential Treshold Picu Polarisasi
Selain itu, aturan presidential threshold yang ada dinilai cenderung hanya menghasilkan dua pasangan calon di tiap pemilu presiden, yang membuat masyarakat mudah terjebak dalam polarisasi.
Jika aturan itu dibiarkan, MK khawatir ujung-ujungnya hanya akan ada satu pasangan calon di pemilu presiden. Apalagi, fenomena calon tunggal melawan kotak kosong di pemilihan kepala daerah kian marak dari waktu ke waktu.
Di sisi lain, MK pun menilai jumlah calon presiden dan wakil presiden yang terlalu banyak berpotensi merusak hakikat pelaksanaan pemilu langsung oleh rakyat.
Untuk itu, meskipun MK telah menghapus presidential treshold, hakim MK memberikan catatan dan pedoman bagi DPR selaku pembentuk UU untuk melakukan rekayasa konstitusional dalam mengatur persyaratan pencalonan presiden dan wakil presiden.
Siapa yang Diuntungkan?
Putusan MK yang menghapus ambang batas pencalonan presiden dan wakilnya disambut hangat kalangan masyarakat sipil. Pakar Hukum Universitas Indonesia Titi Anggraini menyebut putusan ini sebagai “kemenangan bagi seluruh rakyat Indonesia."
"Tidak ada yang dirugikan. Semua partai politik peserta pemilu mendapat manfaat akses pada pencalonan presiden yang setara," katanya melalui akun X.
Dengan keputusan ini, kata dia, masyarakat mendapatkan keragaman pilihan politik melalui pemilu yang lebih inklusif. Anak-anak Indonesia, juga jadi lebih berani bermimpi menjadi presiden/wakil presiden karena akses itu lebih terbuka.
Menurutnya pemerintah dan DPR serta semua partai politik harus menghormati putusan ini. “Jangan sampai ada upaya mendistorsi putusan MK apalagi sampai berani melakukan pengingkaran atas putusan tersebut.”
Ketua Komisi II DPR Rifqinizamy Karsayuda mengatakan pihaknya akan menindaklanjuti putusan MK dengan memasukkan poin yang diputuskan ke dalam pembentukan undang-undang yang mengatur pengusulan pasangan capres-cawapres.
"Putusan MK ini adalah babak baru bagi demokrasi konstitusional Indonesia," ujar Rifqinizamy.
Pemerintah Janji Tindak-Lanjuti
Menteri Koordinator bidang Hukum, Hak Asasi Manusia (HAM), Imigrasi dan Pemasyarakatan Yusril Ihza Mahendra mengatakan pemerintah menghormati putusan MK yang menghapus presidential threshold.
"Sesuai ketentuan Pasal 24C UUD 45, putusan MK adalah putusan pertama dan terakhir yang bersifat final dan mengikat [final and binding]," kata Yusril melalui keterangan tertulis, Jumat (3/1/2024).
Yusril mengatakan setelah putusan MK nomor 87, 121 dan 129/PUU-XXII/2024 yang membatalkan ambang batas pencalonan pasangan presiden dan wakil presiden, pemerintah akan membahas implikasinya terhadap pelaksanaan Pilpres tahun 2029.
"Jika diperlukan perubahan dan penambahan norma dalam UU Pemilu akibat penghapusan presidential threshold, maka pemerintah tentu akan menggarapnya bersama-sama dengan DPR," ucap Yusril.
Dia berjanji akan melibatkan semua stakeholders dalam prosesnya, mulai dari Komisi Pemilihan Umum (KPU), Badan Pengawas Pemilu (Bawaslu), akademisi, pegiat pemilu dan masyarakat.
Respon Parpol Non Parlemen
Presiden Partai Buruh Said Iqbal menyambut positif putusan MK. Setelah pada pemilu 2024 partainya gagal masuk parlemen, ke depan partainya bisa mencalonkan sosok buruh sebagai sebagai presiden atau wakil presiden seperti di Brasil dan Australia.
"Dengan keputusan ini, demokrasi yang sehat telah dihidupkan kembali. Kini, seorang buruh pabrik memiliki peluang yang sama untuk mencalonkan diri sebagai presiden atau wakil presiden di Pilpres 2029," kata Said, Kamis (2/1/2025).
Bahkan, Said menjanjikan pada Kongres ke-2 Partai Buruh yang akan digelar pada Oktober 2026, nama calon presiden dan wakil presiden yang akan diusung untuk Pemilu 2029 akan langsung diumumkan.
Risiko Kerumitan Politik
Namun, tak semua setuju. Lab 45, think tank yang menyoroti isu politik keamanan dan ekonomi politik mengingatkan adanya risiko parpol-parpol baru menjamur usai putusan MK.
"Kelembagaan kepartaian penting untuk dibangun agar putusan MK yang menghapus ambang batas pemilihan presiden ini tidak melahirkan parpol- parpol yang berlandaskan ”pragmatisme sempit"," ujar penasihat senior Lab 45 Haryadi.
Pengajar FISIP Universitas Airlangga ini juga memperkirakan putusan MK akan menciptakan kerumitan baru terutama terkait stabilitas politik di parlemen. Sebab, selama ini presiden terpilih lazimnya didukung mayoritas kursi partai pendukung.
Dengan putusan MK ini, presiden terpilih bisa saja berasal dari partai tanpa suara signifikan sehingga menghadapi risiko politik besar. "Presiden dan kabinetnya akan berseberangan politik dengan partai-partai di Parlemen."
Kemungkinan lain, sebagian besar partai yang memiliki kursi di parlemen tertular virus pragmatisme sempit dan berkompromi dengan presiden terpilih.
"Niscaya pemerintahan yang ada tidak berkeadilan dan pasti memfalsifikasi kepentingan publik," kata Haryadi.
Perjalanan Masih Panjang
Direktur Eksekutif Arus Survei Indonesia (ASI) Ali Rif'an tak yakin putusan MK itu bakal diterima sepenuhnya oleh delapan partai di parlemen saat ini. Apalagi, bagi partai petahana di parlemen yang memiliki privilege posisi politik.
Dalam konteks pilpres ke depan, mereka tak lagi menjadi perahu atau pemegang tiket pencalonan. Sebab, semua partai, bahkan yang tak memiliki kursi sekalipun bisa mengusung calon mereka sendiri.
Ali menjelaskan putusan MK itu bersifat open legal policy. Artinya, penerapannya harus tetap melalui revisi undang-undang yang memerlukan kesepakatan antara partai-partai di parlemen dan pemerintah.
"Jadi menurut saya ini belum final ya. Karena dinamika ini akan ada di parlemen karena jelas putusan ini secara politik semakin mengerdilkan posisi partai politik," kata Ali seperti dikutip CNN Indonesia.
Dengan kata lain, putusan MK ini belum tentu berujung pada terwujudnya egalitarianisme dan kestabilan politik. Pun belum tentu bisa dijalankan jika masyarakat sipil tidak mengawal hingga proses perumusan peraturan di Senayan. (est)
Untuk menikmati berita cepat dari seluruh dunia, ikuti kanal TheStanceID di Whatsapp dan Telegram.