Hamid Abidin, Koordinator Aliansi Filantropi untuk Akuntabilitas Sumbangan.


Aktivitas filantropi di Indonesia berpotensi menjadi sebagai sumber daya alternatif untuk mendukung program pemerintahan Prabowo-Gibran. Namun penghambatnya justru ada pada aturan perundang-undangan yang ada.

Sebagaimana diketahui, Presiden Prabowo Subianto melalui kebijakan Asta Cita mendorong program ketahanan pangan, pemberdayaan ekonomi, sampai mitigasi perubahan iklim dan pelestarian lingkungan.

Program tersebut membutuhkan anggaran besar, yang tak sepenuhnya bisa dipenuhi pemerintah melalui Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN). Perlu optimalisasi sumber pendanaan alternatif yang sejalan dengan visi beliau tersebut.

Salah satu dana alternatif yang ada di masyarakat adalah dana filantropi.

Mengutip Badan Wakaf Indonesia, potensi wakaf yang berupa dana tunai (uang) di Indonesia nilainya mencapai Rp180 triliun per tahun. Angka itu baru dari dana filantropi Islam saja.

Namun sayangnya, aktivitas filantropi di Indonesia masih menghadapi kendala sehingga sulit untuk mencapai potensi terbaiknya. Kendala terbesar justru berasal dari peraturan perundang-undangan.

Di Indonesia, aktivitas filantropi dinaungi oleh Undang-Undang Nomor 9 Tahun 1961 Tentang Pengumpulan Uang atau Barang (UU PUB). UU era Orde Lama tersebut hingga kini belum juga diperbarui, meski zaman telah bergerak cepat dengan digitalisasi.

Beberapa aspek regulasi yang sudah usang dan tidak bisa diterapkan di UU PUB tersebut dalam mengatur kegiatan filantropi (kedermawanan sosial) khususnya terkait dengan kegiatan penggalangan, pengelolaan, dan penyaluran sumbangan.

UU PUB yang sekarang ini justru terlalu restriktif dan menghambat perkembangan filantropi.

Persyaratan yang rumit dan perizinan berjenjang dalam UU PUB justru merugikan pemerintah karena menghambat hak warga untuk berpartisipasi dalam pembangunan melalui sumbangan dan bantuan sosial.

Perizinan Sulit, Rawan Kriminalisasi

Sebagai contoh, perizinan dalam UU PUB menghambat lembaga-lembaga filantropi untuk bergerak cepat dalam penanganan bencana karena pengurusan perizinan memakan waktu lama. Akibatnya, potensi dana filantropi pun terhambat.

Durasi perizinan yang didapatkan juga hanya berlaku selama 3 bulan, sehingga lembaga filantropi tak bisa mendukung program-program jangka panjang karena harus menyerahkan laporan program saat mengurus izin yang baru.

UU PUB juga tidak memberikan insentif yang memadai kepada donatur dan lembaga penyelenggara sumbangan dalam bentuk penghargaan, pengembangan kapasitas, atau pengurangan pajak (tax deduction).

Sebaliknya, ketentuan yang ada di UU tersebut malah membuka ruang kriminalisasi bagi pegiat filantropi, misalnya dalam proses membantu korban bencana, jika ketentuan-ketentuan yang kaku tersebut tidak bisa dipenuhi.

Berbicara soal perubahan zaman, berbagai ketentuan dalam UU PUB tidak mampu mewadahi keragaman pelaku dan jenis kegiatan filantropi, serta perkembangan kegiatan filantropi yang berjalan di era digital.

Perubahan Fundamental

Aliansi mengusulkan beberapa perubahan fundamental dalam RUU Penyelenggaraan Sumbangan dalam rangka memajukan filantropi dan membuatnya optimal dalam mendukung program-program pemerintah.

Misalnya, perubahan mekanisme perizinan menjadi pendaftaran dengan pengawasan dan penindakan yang efektif.

Jangka waktu pendaftaran diusulkan berlaku selama 5 tahun, seperti halnya regulasi pengelolaan ZIS (Zakat, Infak, dan Sedekah), dengan peninjauan setiap tahun untuk memastikan akuntabilitas organisasi penyelenggara sumbangan. 

Aliansi juga mendorong beberapa ketentuan yang bisa merespons perkembangan filantropi di era digital, di antaranya pengaturan soal platform crowdfunding (urun daya) dan perlindungan data pribadi donatur.

Selain itu, beberapa ketentuan dalam RUU juga dirancang untuk mendukung pendayagunaan sumbangan bagi program-program strategik dan jangka panjang.

Bola Kini di Tangan DPR

Usulan revisi tersebut telah disampaikan kepada Badan Legislasi DPR RI dalam Rapat Umum Dengar Pendapat (RDPU) dengan Aliansi Filantropi untuk Akuntabilitas Sumbangan di Gedung DPR, Selasa (5/11/2024).

Turut hadir di antaranya perwakilan Aliansi seperti Dompet Dhuafa, YAPPIKA, Yayasan Penabulu, Human Initiative, Filantropi Indonesia, Pusat Studi Hukum dan Kebijakan Indonesia (PSHK), dan Indonesia Judicial Research Society (IJRS).

Di forum tersebut, Aliansi menyampaikan urgensi revisi UU PUB yang dinilai menghambat hak dan partisipasi warga untuk mendukung pemerintah dalam mengatasi masalah sosial melalui kegiatan filantropi.

Pada kesempatan yang sama, Aliansi juga menyerahkan Naskah Akademik dan Rancangan Undang-Undang (RUU) Penyelenggaraan Sumbangan yang diusulkan sebagai pengganti UU PUB.

Revisi UU PUB mendesak dilakukan agar filantropi bisa berkontribusi optimal dalam mendukung berbagai program pemerintah yang membutuhkan sumber daya dan dana dalam jumlah besar.***


Untuk menikmati berita cepat dari seluruh dunia, ikuti kanal TheStanceID di Whatsapp dan Telegram.