Harun Al-Rasyid Lubis

Oleh Harun Al-Rasyid Lubis. Guru Besar Fakultas Teknik Sipil dan Lingkungan (FTSL) Institut Teknologi Bandung (ITB), alumni KRA 37 Lembaga Ketahanan Nasional (Lemhanas), dan kini aktif di Infrastructure Partnership & Knowledge Center (IPKC).

Artikel ini merupakan tanggapan terhadap tulisan Laksda TNI (Purn.) Soleman B. Ponto berjudul “Prajurit Tua dan Negeri Pelupa” yang menyuarakan kekecewaan dan kekhawatiran para purnawirawan terhadap arah pemerintahan sipil. Tulisan ini mencoba menanggapi dengan perspektif yang kritis, sekaligus menegaskan pentingnya keseimbangan antara pemahaman sejarah dan jasa militer terhadap kebutuhan akan tata kelola sipil yang profesional dalam negara demokrasi.

Dalam sejarah pascakolonial Indonesia, sedikit lembaga yang memiliki pengaruh sepanjang dan sekuat militer.

Dari medan tempur kemerdekaan hingga ruang kekuasaan negara, Tentara Nasional Indonesia (TNI) telah memainkan peran sentral—bukan hanya sebagai alat pertahanan, tetapi juga sebagai aktor pemerintahan.

Saat ini sejarah Indonesia kembali merefleksikan ayunan pendulum antara militerisme dan demiliterisasi. Memahami ayunan ini penting untuk menangkap ketegangan antara kekuasaan, keamanan, dan demokrasi di masa kini dan akan datang.

Kemerdekaan Indonesia tidak hanya dicapai melalui diplomasi, tetapi diperjuangkan melalui pertempuran bersenjata. Setelah proklamasi 17 Agustus 1945, republik baru belum memiliki struktur sipil yang fungsional.

Dalam kekosongan itu, militer—terdiri dari laskar rakyat, mantan PETA, dan pemuda bersenjata—muncul sebagai institusi pertama yang terorganisir. Mereka tak hanya bertempur, tapi juga mengelola keamanan, logistik, dan bahkan pemerintahan lokal.

Peran pendiri ini memperkuat klaim legitimasi politik militer.

Di era Orde Baru, militerisme dilembagakan melalui doktrin dwifungsi, yang membenarkan keterlibatan militer dalam urusan sosial-politik. Perwira aktif duduk di DPR, menjadi gubernur, menteri, bahkan rektor universitas.

Inilah puncak dominasi militer dalam pemerintahan Indonesia.

Reformasi dan Dorongan Demiliterisasi

Krisis 1998 melahirkan gelombang reformasi demokratis, dan salah satu agenda utamanya adalah demiliterisasi. Doktrin dwifungsi dihapus, perwakilan militer di parlemen ditarik, dan undang-undang membatasi jabatan sipil bagi perwira aktif.

Militer difokuskan kembali sebagai alat pertahanan. Keterlibatan dalam bisnis dilarang, dan kepolisian dipisahkan sebagai penanggung jawab keamanan dalam negeri.

Namun, budaya keterlibatan politik masih bertahan di kalangan purnawirawan, dan tantangan baru seperti terorisme atau bencana alam menciptakan ruang bagi TNI untuk tetap relevan.

Dalam satu dekade terakhir, pendulum mulai berayun kembali ke arah militerisme.

Sejumlah jenderal purnawirawan menduduki posisi penting dalam kabinet Presiden Joko Widodo. Revisi UU TNI tahun 2019 dan usulan perluasan peran militer di luar pertahanan memperkuat kecenderungan ini.

Pendukungnya menilai langkah ini realistis. Indonesia menghadapi ancaman hibrida: dari kejahatan siber hingga perambahan wilayah. Militer dinilai memiliki disiplin dan kapasitas logistik yang mumpuni.

Namun, kritik menyebut ini sebagai gejala militerisme merayap—ketika militer kembali masuk ke ruang sipil tanpa kontrol dan akuntabilitas yang cukup.

Keterbatasan Militer dalam Kebijakan Publik dan Tata Kelola Teknis

Di sinilah letak persoalan yang luput dalam tulisan “Prajurit Tua dan Negeri Pelupa.”

Komando militer memang unggul dalam krisis, logistik, dan operasi tempur. Namun dalam ranah kebijakan publik dan layanan teknis sipil—yang kompleks, multidisipliner, dan berbasis data—struktur komando militer menghadapi keterbatasan serius.

Perumusan kebijakan publik bukan sekadar eksekusi perintah. Ia menuntut analisis ekonomi, konsultasi publik, evaluasi dampak lingkungan, koordinasi lintas sektor, hingga adaptasi terhadap dinamika global.

Bidang seperti reformasi sistem kesehatan, pengelolaan energi, transportasi cerdas, atau digitalisasi pelayanan publik tidak dapat dijalankan hanya dengan kedisiplinan dan komando. Ia menuntut keahlian teknokratis, kerja partisipatif, dan transparansi.

Militer terbiasa dengan chain of command, kejelasan misi, dan kecepatan eksekusi. Tetapi tata kelola publik membutuhkan proses deliberatif, akomodasi kepentingan yang berbeda, serta pembentukan konsensus.

Ketika perwira aktif atau purnawirawan tanpa kompetensi sektoral ditunjuk untuk memimpin kementerian teknis, risikonya bukan otoritarianisme, melainkan salah kelola dan kebijakan yang tidak efektif.

Ini bukan berarti militer tidak bisa berkontribusi dalam pembangunan. Tapi kontribusi itu harus ditempatkan dalam konteks yang tepat: bukan untuk mendominasi birokrasi, tetapi mendukungnya dalam situasi darurat dan dengan batasan yang jelas.

Di luar itu, kepemimpinan sipil yang profesional dan teknokratis tetap menjadi kebutuhan mutlak negara demokrasi modern.

Baca Juga: Irjen Polisi Iqbal Jadi Sekjen DPD, Terang-terangan Langgar Undang-undang

Bukan berarti militer tidak boleh eksis dalam kehidupan publik. Tapi perannya harus berada dalam batas konstitusi dan prinsip sipil supremasi. Demokrasi membutuhkan militer yang kuat dan profesional, tetapi tidak mengendalikan pemerintahan sipil.

Legitimasi dalam demokrasi berasal dari mandat rakyat, bukan sejarah pertempuran. Pemerintahan yang baik bukan sekadar mengenang jasa masa lalu, tapi juga membangun institusi yang akuntabel, transparan, dan berpihak pada kepentingan publik.

UU TNI sudah sah dan pendulum antara militerisme dan demiliterisasi mencerminkan perjalanan bangsa yang terus mencari keseimbangan. Peran historis militer harus dihormati—tetapi pemerintahan tak boleh diserahkan pada bayang-bayang komando.

Indonesia membutuhkan kemitraan sipil-militer yang sehat, bukan substitusi. Negara ini harus mampu menghormati para prajurit tua, sambil tetap memperkuat tata kelola sipil yang adaptif, profesional, dan demokratis.

Di sinilah titik keseimbangan demokrasi modern: menghargai pengorbanan tanpa mengorbankan masa depan tata kelola yang baik.***

Simak info kebijakan publik & geopolitik dunia di kanal Whatsapp dan Telegram TheStanceID.