Anak Meninggal karena DBD, Aturan Gawat Darurat BPJS Kesehatan Makan Korban
Tiga anak meninggal dunia akibat Demam Berdarah Dengue (DBD) di Gresik, Jawa Timur, karena terlambat dibawa ke rumah sakit. Pasien BPJS tak bisa langsung dirawat di RS karena aturan mengharuskan penanganan awal DBD dilakukan di puskesmas. Padahal, kondisi pasien bisa memburuk dalam waktu cepat.

Jakarta, TheStanceID – Persoalan klaim pembiayaan antara rumah sakit dengan Badan Pengelola Jaminan Sosial (BPJS) Kesehatan mendapat sorotan khalayak karena sudah sampai memakan korban jiwa.
Keluarga pasien kini merasakan rumitnya memanfaatkan layanan kesehatan. Padahal mereka rutin membayar iuran tiap bulan.
Dilansir dari Jawa Pos, tiga anak dilaporkan meninggal dunia akibat Demam Berdarah Dengue (DBD) di Gresik, Jawa Timur diduga telat dibawa ke rumah sakit karena dinilai belum masuk kategori gawat darurat.
Korban terbaru adalah AA, seorang siswa SD berusia 10 tahun. Dia baru dibawa ke rumah sakit setelah 5 hari demam, dan kesadarannya sudah menurun. Sudah masuk fase Dengue Shock Syndrome (DSS).
AA sempat sehari dirawat di ICU, tapi nyawanya tidak tertolong dan meninggal Kamis pekan lalu (15/5/2025).
Untuk diketahui, aturan dari BPJS Kesehatan mensyaratkan pasien DBD baru bisa dirawat inap di rumah sakit saat trombositnya di bawah 100.000 dan suhu tubuh di atas 40 derajat.
Selain itu, aturan baru klaim pembiayaan oleh BPJS Kesehatan mengharuskan penanganan DBD dilakukan di Puskesmas sebagai fasilitas kesehatan tingkat pertama (FKTP). Padahal, kondisi pasien bisa memburuk dalam waktu cepat.
Sejumlah kejadian akibat rumitnya layanan kesehatan kini mulai bermunculan di berbagai daerah sebagai buntut dari perubahan sistem tersebut.
Salah satunya dialami oleh RA, seorang balita yang dirawat Maret lalu dengan keluhan demam disertai kejang.
Saat itu, RA dibawa ke IGD rumah sakit swasta di Kota Pudak Gresik dan disarankan untuk opname. Hasil laboratorium pun menunjukkan leukosit tinggi. Namun, kondisi tersebut belum bisa berobat dengan program jaminan kesehatan nasional (JKN).
“Alasannya kejam, demam tidak di-cover dan panasnya tidak sampai 40 derajat,” ucap Aldi, orang tua pasien.
Terbaru, seorang pria 60 tahun dibawa ke rumah sakit tengah malam. Setelah diobservasi, pasien tersebut disuruh pulang saat masih waktu subuh karena pengobatannya tidak dijamin. Besoknya, pasien asal Gresik Kota itu tak sadarkan diri, dirujuk lagi ke RS oleh puskesmas, tapi kemudian meninggal dunia.
Biaya Pengobatan DBD Ditanggung BPJS Kesehatan
Asisten Deputi Bidang Komunikasi Publik dan Humas BPJS Kesehatan, Rizzky Anugerah, memastikan program JKN menjamin pelayanan untuk kasus DBD, baik rawat jalan maupun rawat inap.
"Adapun terkait penjaminan pelayanan terhadap kasus DBD, BPJS Kesehatan tetap menjamin pelayanan baik rawat jalan maupun rawat inap, yang diberikan di FKTP maupun FKRTL, sesuai dengan ketentuan dan prosedur yang berlaku," katanya dalam keterangan, Kamis (15/5/2025).
Untuk mendapatkan layanan tersebut, peserta diharapkan telah terdaftar dan memiliki status kepesertaan aktif saat mengakses layanan.
Selain itu, peserta juga harus mengikuti prosedur layanan seperti berobat di FKTP terlebih dahulu, kecuali dalam kondisi gawat darurat.
Hal ini sesuai dengan Peraturan Menteri Kesehatan Nomor 5 Tahun 2014 tentang Panduan Praktik Klinis bagi Dokter di Fasilitas Pelayanan Kesehatan Primer.
144 Penyakit Harus ke Puskesmas Dulu, Dirujuk ke RS setelah Darurat
Rizzky membenarkan ada 144 penyakit yang pengobatannya harus dioptimalkan di fasilitas kesehatan tingkat pertama (FKTP) meliputi puskesmas, klinik pratama, tempat praktik mandiri dokter umum, tempat praktik mandiri dokter gigi, serta rumah sakit kelas D pratama.
"Tetapi, diagnosis-diagnosis tersebut tetap dapat dirujuk ke rumah sakit apabila berdasarkan indikasi medis dan kondisi peserta, serta memerlukan penanganan lebih lanjut oleh dokter spesialis," katanya.
Syaratnya, rujukan dilakukan setelah peserta terlebih dahulu mendapatkan pelayanan dari dokter umum di FKTP, dan selanjutnya dirujuk ke FKTL, seperti rumah sakit atau klinik utama.
Dia menambahkan terkait penentuan status gawat darurat, nantinya akan dilakukan oleh dokter di rumah sakit sesuai ketentuan dalam Peraturan Presiden Nomor 82 Tahun 2018 serta Peraturan Menteri Kesehatan Nomor 47 Tahun 2018.
Penilaian tersebut dilakukan secara objektif oleh dokter dan tenaga kesehatan yang berwenang, berdasarkan kompetensi profesional dan dukungan sarana medis yang tersedia.
Rumah Sakit Sulit Cairkan Klaim BPJS
Meski BPJS Kesehatan sudah menjamin bahwa pelayanan untuk kasus DBD, baik rawat jalan maupun rawat inap dapat diklaim, namun di lapangan menunjukan fakta yang berbeda.
Sejumlah rumah sakit mengeluhkan klaim penanganan pasien JKN yang ditolak karena dianggap tidak layak bayar, termasuk oleh RS swasta dan RS pelat merah.
Misalnya, RSUD Ibnu Sina Gresik Jawa Timur yang mengaku kesulitan mencairkan klaim BPJS karena DBD tidak termasuk 144 diagnosis kategori darurat.
"Klaim pasien DBD rujukan dari puskesmas ditolak meski sudah didiagnosis ulang dan ditangani," ujar Direktur Utama RSUD Ibnu Sina, dr Soni.
Akibatnya, banyak pasien harus membayar sendiri jika ingin dirawat di rumah sakit.
Rumah Sakit Tidak Boleh Menolak Pasien
Sementara itu, Ketua Perhimpunan Rumah Sakit Indonesia (Persi) Jawa Timur, Hendro Soelistijono, menyayangkan ada rumah sakit di wilayahnya yang menolak pasien dengan alasan "tidak ditanggung BPJS Kesehatan".
Sebab pada dasarnya, rumah sakit punya kewajiban menolong orang alias tidak boleh menolak pasien.
Meski begitu, ia memahami sikap rumah sakit yang tetap mengacu pada kriteria baru 'gawat darurat' yang ditetapkan oleh BPJS Kesehatan, meski risikonya akan berdampak pada masyarakat.
Untuk itu, dia berharap BPJS Kesehatan sedikit melonggarkan kebijakannya. Apalagi tidak semua pasien paham kriteria kegawatdaruratan ditambah faktor lokasi tempat tinggal pasien dengan fasilitas kesehatan terdekat.
"Nah, apakah orang menuju syok dulu baru dibawa ke rumah sakit? Sementara orang kan pasti mencari [fasilitas kesehatan] terdekat dulu. Kalau posisi klinik atau puskesmasnya lebih jauh, masa harus ke sana dulu? Ini kan sangat membahayakan."
"Kami sepakat perlu ada kriteria, clear, tapi kalau sudah telanjur ke rumah sakit, kami enggak bisa menolak. Tidak boleh rumah sakit menolak." sambung Hendro.
Pertarungan 'Klaim' sering terjadi di IGD
Koordinator Advokasi BPJS Watch, Timboel Siregar melihat ada faktor "perselisihan" lama antara rumah sakit dengan BPJS Kesehatan terkait klaim pembiayaan.
"Pertarungan (klaim) antara rumah sakit dengan BPJS Kesehatan itu kan kerap terjadi di IGD dan kasusnya banyak. Sementara saya berkali-kali bilang, pasien enggak mungkin iseng doang ke IGD. Tapi memang sakit."
"Tapi karena pertarungan mereka (rumah sakit dan BPJS Kesehatan) menyebabkan pasien jadi korban," ungkap Timboel.
Padahal, sesuai UU Kesehatan, rumah sakit tidak boleh menolak pasien dan harus mengutamakan keselamatan pasien.
Sehingga, kalaupun sekarang ada alasan "tidak ditanggung BPJS Kesehatan", rumah sakit tetap tidak boleh memakai dalih itu untuk menolak pasien.
“Tidak boleh rumah sakit itu mempersulit. Tadi asas rumah sakit adalah salah satunya harus keselamatan pasien. Memastikan keselamatan pasien. Tidak boleh dilarang ataupun dipersulit," ujar Timboel.
Menurutnya, kalaupun ada klaim pembayarannya ditolak BPJS Kesehatan, pihak rumah sakit sebetulnya punya cara menggugat secara perdata ke pengadilan. Peluang itu terbuka dan ada di UU BPJS Kesehatan.
"Ada ruang menggugat, masalahnya belum pernah ada rumah sakit yang melakukan," ujar Timboel.
Baca Juga: Halo WHO, Nyamuk Rekayasa Wolbachia Gagal Tekan Angka DBD!
Dirinya pun berharap perbedaan pandangan antara rumah sakit dengan BPJS Kesehatan terkait klaim pembiayaan bisa segera selesai karena nyawa pasien menjadi taruhannya.
"Saya khawatir kalau seperti ini terus terjadi, yang jadi korban itu rakyat. Harusnya kan tidak boleh." ujarnya. (est)
Simak info publik, kebijakan & geopolitik dunia di kanal Whatsapp dan Telegram TheStanceID.