Halo WHO, Nyamuk Rekayasa Wolbachia Gagal Tekan Angka DBD!
Dari 2012-2024 setelah nyamuk Wolbachia disebar luas, kasus DBD melesat 133,4%.

Jakarta, TheStanceID – Di tengah kontroversi penggunaan nyamuk sebagai agen vaksinasi dan pencegahan penyakit, Indonesia melepas jutaan nyamuk rekayasa berkandungan bakteri Wolbachia, meski efektivitasnya terbukti gagal dan dampak ke ekosistem masih sumir.
Nyamuk Wolbachia adalah nyamuk Aedes aegypti yang direyakasa dengan disisipi bakteri Wolbachia dan dikembangkan ke alam liar. Bakteri ini dapat mengeliminasi populasi nyamuk Aedes aegypti, yang membawa virus demam berdarah dengue (DBD).
Penelitian rekayasa nyamuk Wolbachia di Indonesia sudah dimulai sejak tahun 2011. Berpusat di Yogyakarta, ia menjadi studi Applying Wolbachia to Eliminate Dengue (AWED) pertama di dunia, berdesain Cluster Randomized Controlled Trial (CRCT).
CRCT dikenal sebagai standar tertinggi dalam penelitian ilmiah. Studi dilakukan melalui 4 fase, yakni kelayakan dan keamanan (2011-2012), pelepasan skala terbatas (2013-2015), pelepasan skala luas (2016-2020), dan implementasi (2021-2022).
Riset ini dimulai 3 tahun setelah Bill Gates mendanai rekayasa nyamuk yang didesain untuk mengatasi malaria di Jichi Medical University. Ketika berkunjung ke Yogyakarta pada 2014 Gates kelepasan ngomong dengan menyebut bahwa dia mendanai proyek Wolbachia.
Peneliti pun mengklarifikasi dan menyebutkan bahwa penelitian AWED itu dibiayai oleh Yayasan Tahija, milik Julius Tahija, mantan CEO pertama PT Caltex Oil Indonesia (kini bernama PT Chevron Oil Products). Tahija tidak pernah membuka dari mana dananya berasal. Apakah dari Gates, atau tidak.
Penyebaran nyamuk rekayasa ber-wolbachia dilakukan berdasarkan program kerja-sama dengan World Mosquito Program (WMP) dengan Kemenkes. Diteken pada tahun 2022, program itu menentukan bahwa Indonesia menjadi salah satu negara tempat uji coba.
Setahun kemudian, Organisasi Kesehatan Dunia (World Health Organization/WHO) melalui Vector Control Advisory Group (VCAG) secara resmi merekomendasikan penggunaan nyamuk Aedes aegypti ber-Wolbachia.
VCAG adalah badan yang memberikan panduan dan nasihat terkait pengendalian vektor, termasuk pengendalian penyakit yang ditularkan oleh nyamuk dengan cara konvensional.
Siti Fadilah Supari Menolak
Mantan Menteri Kesehatan Siti Fadilah Supari, yang dikenal kritis terhadap dominasi negara maju dan lembaga internasional dalam pengelolaan kebijakan kesehatan dunia, menolak tegas penyebaran nyamuk hasil rekayasa tersebut.
Dia mengingatkan bahwa nyamuk yang direkayasa perlu diawasi karena berisiko menjadi senjata biologis. Ia mempertanyakan transparansi riset-riset lembaga besar, aspek pengawasannya, termasuk penelitian lanjutan mengenai dampak sosial dan ekologis yang ditimbulkan.
“Jika saya menjadi Menteri Kesehatan saat ini, saya akan menolak program Wolbachia. Program ini seharusnya dikaji lebih dalam, bukan diterima begitu saja,” tegasnya kepada TheStanceID, Minggu (19/1/2025).
Siti Fadilah pernah mengritik monopoli lembaga internasional terhadap sampel virus flu burung (H5N1), yang menurutnya menguntungkan negara maju dalam memproduksi vaksin tanpa memperhatikan kebutuhan negara-negara terdampak.
Salah satu kritikan utamanya adalah ketergantungan negara berkembang terhadap sistem kesehatan global yang dikendalikan oleh negara maju, terutama dalam pengelolaan virus dan vaksin.
Dia juga menjadi sosok di balik penutupan laboratorium militer milik AS di Jakarta, yakni Naval Medical Research Unit (NAMRU) 2, pada tahun 2009. Proyek tersebut berubah menjadi Indonesia-United States Center for Medical Research (IUC), di mana militer Amerika tidak lagi terlibat.
Tidak Urgen tapi Dilakukan
Siti Fadilah Supari menekankan bahwa angka kematian akibat DBD di bawah 1%, sehingga program nyamuk Wolbachia tidaklah urgen. Menurut data Kemenkes, angka kematian DBD (per Oktober 2024) sebesar 0,59%, yakni 1.210 kematian akibat DBD dari 203,921 kasus.
Secara global, mengutip laporan WHO berjudul “Global Vector Control Response (2017-2030)”, nyamuk memicu 350 juta kasus kesehatan setiap tahun, dengan 500.000 kematian. Artinya, angka kematian (fataility rate) hanya 0,14%.
Angka ini jauh lebih rendah dari tingkat kematian flu, yang menurut WHO sebesar 9,6%-13% per tahun, yakni mencapai 290.000-650.000 kematian dari 3 juta-5 juta kasus/tahun.
Meski demikian, pemerintah telah menyetujui penyebaran 150 juta nyamuk Wolbachia di Indonesia. Yogyakarta mendapat tempat Istimewa karena menjadi lokasi pertama penyebaran.
Siti Fadilah mengkhawatirkan dampak jangka panjangnya terhadap lingkungan dan ekosistem, yang belum diteliti mendalam. “Kita tidak tahu apa yang akan terjadi pada populasi serangga lain atau makhluk yang tergantung pada rantai makanan nyamuk.”
Sudah Disebar di Lima Kota
Pada April 2024, Direktur Jenderal Pencegahan dan Pengendalian Penyakit Kemenkes Maxi Rein Rondonuwu memastikan bahwa proyek penyebaran nyamuk rekayasa yang sudah diinjeksi bakteri Wolbachia berjalan tanpa aral melintang.
Nyamuk tersebut telah disebar di lima kota yakni Semarang, Kupang, Bontang, Bandung, dan Jakarta Barat. Bali sempat menjadi sasaran penyebaran, tetapi gagal karena masyarakat Bali menolak mentah-mentah.
Maxi menegaskan bahwa karakteristik nyamuk Aedes aegypti di daerah yang telah disebarkan maupun belum disebarkan nyamuk ber-wolbachia tetaplah sama. Tidak ada eskalasi tingkat keparahan penderita DBD.
“Secara keseluruhan karakteristik dan gejalanya sama. Bahkan, tidak ada perbedaan jumlah nyamuk Aedes aegypti sebelum dan setelah wolbachia dilepaskan,” kata Maxi di Jakarta, Senin (1/4/2024) dikutip dari laman resmi Kemenkes.
Dari lima kota tersebut kata Maxi, konsentrasi nyamuk rekayasa yang dilepas ke alam liar hanya di kisaran 20% dari populasi aslinya, atau masih di bawah persentase nyamuk Aedes aegypti hasil rekayasa (ber-wolbachia) yang ditargetkan mencapai 60% di alam.
Kasus DBD Justru Naik!
Kemenkes mengeklaim nyamuk ber-wolbachia terbukti efektif menurunkan kasus demam berdarah di Yogyakarta. Sejak pertama kali disebar, nyamuk ber-wolbachia terbukti menurunkan 77% kasus DB dan 86% kejadian masuk rumah sakit pada 2017.
“Setelah populasinya mencapai 60%, pelepasan ember nyamuk ber-wolbachia akan ditarik kembali dan hasil penurunan kasus dengue baru akan mulai terlihat setelah 2 tahun, 4 tahun, 10 tahun,” ungkap Maxi.
Namun menurut catatan TheStanceID, penurunan itu tidak terkait langsung dengan program nyamuk rekayasa Wolbachia, mengingat angka DBD pada 2016 terbilang anomali, mencapai puncak tertinggi dalam 10 tahun, yakni sebanyak 204.171 kasus.
Angka tersebut kemudian anjlok pada 2017—berbarengan dengan mulai disebarnya nyamuk rekayasa Wolbachia—menjadi 68.407 kasus yang merenggut 486 jiwa, tetapi meningkat lagi pada 2018 ke kisaran 134.000 kasus.
Sumber: Kemenkes
Terakhir per Oktober 2024 (pekan ke-43) kasus DBD menembus angka 210.644 kasus, yang merenggut 1.239 jiwa. Padahal di tahun 2012 (sebelum nyamuk Wolbachia dilepas terbatas), angka DBD hanya 90.245 kasus dengan kematian 816 jiwa.
Artinya, selang 12 tahun (dari 2012-2024) setelah nyamuk Wolbachia disebar di Indonesia, kasus DBD justru melonjak 133,4% dengan jumlah kematian yang naik sebesar 51,8%.
Jika ditarik dari 2017 saja (ketika nyamuk rekayasa mulai disebar dalam skala luas), kasus DBD nasional pada 2024 itu malah terhitung melesat, sebesar 207,9%. Jumlah kematian melompat 154,9% (dari 486 jiwa menjadi 1.239 jiwa)
Harap diingat, angka di 2024 itu per Oktober, belum angka setahun penuh. Fakta ini membanting klaim Kemenkes soal “dampak AWED terhadap penurunan kasus DBD akan terlihat beberapa tahun.”
Diklaim Efektif dan Aman
Pemerintah juga mengklaim keamanan penerapan nyamuk ber-wolbachia karena memanfaatkan bakteri alami yang ada pada serangga dan telah melalui proses penelitian selama 12 tahun, dari 2011 hingga 2023.
Analisis risiko atas program ini dilakukan oleh Kemenristekdikti dan Balitbangkes Kemenkes, dengan melibatkan 20 ahli dari berbagai bidang yang hasilnya pelepasan nyamuk ber-Wolbachia memiliki risiko yang sangat rendah.
"Selama 30 tahun ke depan, potensi peningkatan risiko dari penyebaran Aedes aegypti ber-Wolbachia dapat diabaikan," ujar Maxi.
Jika program AWED ini justru tak berpengaruh pada jumlah kasus DBD, bagaimana dengan tingkat keparahan yang memicu fatality rate? Tingkat kematian akibat DBD pada 2012 adalah 0,9% (816 kematian dari 90.245 kasus).
Pada 2017, setelah nyamuk rekayasa disebar secara luas, angka kematian turun menjadi 0,71% atau 486 kasus kematian. Namun pada 2023, rasio kematian akibat DBD naik lagi menjadi 0,78% atau setara 894 korban jiwa.
Artinya, tingkat keparahan tidak terlalu banyak berubah dan malah cenderung meningkat. Lalu mengapa uji coba nyamuk ini tetap diputuskan jalan terus?
Harus Transparan
Menurut Roy Valiant Salomo, seorang pakar kebijakan publik, kualitas sebuah kebijakan dapat dinilai dari proses pembuatannya yang bersifat partisipatif, melibatkan para ahli, dan transparan.
“Artinya, kebijakan tersebut harus dibahas oleh para ahli yang memiliki pemahaman mendalam tentang substansi, seperti fungsi nyamuk dalam konteks ini,” ujarnya kepada TheStanceID.
Selain itu, Roy menegaskan pentingnya transparansi dalam pengambilan keputusan dan implementasi kebijakan. “Proses tersebut harus dapat diawasi oleh berbagai komponen stakeholders utama yang memahami aspek teknis di bidang ini.”
Dengan demikian, ia menyerukan akuntabilitas perumusan kebijakan terkait kesehatan publik, yang disertai sistem monitoring dan evaluasi yang transparan, serta melibatkan partisipasi berbagai pihak.
“Jika seluruh proses kebijakan dilakukan dengan mengacu pada prinsip-prinsip good governance atau tata kelola yang baik, maka tidak ada alasan untuk merasa khawatir terhadap kebijakan apapun,” tambah Roy.
Kaji Ulang Proyek Wolbachia
Siti Fadilah Supari menilai penggunaan nyamuk sebagai agen vektor memiliki risiko besar, yakni pada titik sebaliknya bisa digunakan oleh pihak tak bertanggung-jawab sebagai penyebar penyakit bagi manusia, hewan maupun tanaman.
Program ini, lanjutnya, selalu diklaim sebagai hal yang positif untuk menurunkan penyebaran nyamuk berbahaya. Namun sebagai mantan peneliti, dia menilai perlu ada riset yang lebih komprehensif sebelum menyebarkan nyamuk rekayasa tersebut.
“Penelitian tentang nyamuk Wolbachia ini adalah penelitian jangka pendek. Apakah nyamuk yang disuntik ini nantinya tidak akan mengubah ekosistem atau lingkungan? Itu masih memerlukan penelitian jangka panjang,” tuturnya.
Bagi Siti Fadilah Supari, pemerintah sebaiknya mengutamakan pendekatan tradisional seperti penggunaan kelambu berinsektisida atau obat-obatan dalam mengatasi malaria dan demam berdarah.
Ia juga menekankan pentingnya edukasi masyarakat agar memahami dampak jangka panjang dari program-program ini. “Kita harus memastikan bahwa rakyat Indonesia tidak menjadi korban uji coba teknologi baru yang dampaknya belum jelas.” (par)
Untuk menikmati berita cepat dari seluruh dunia, ikuti kanal TheStanceID di Whatsapp dan Telegram.