Nyamuk Biokimia, Blangko Kosong Bill Gates Merekayasa Vaksin

Tidak ada yang menjamin nyamuk lab itu takkan dipakai untuk motif lain, seperti senjata biokimia.

By
in Big Shift on
Nyamuk Biokimia, Blangko Kosong Bill Gates Merekayasa Vaksin
Ilustrasi Bill Gates dan dedikasinya untuk merekayasa nyamuk agar bisa menjadi agen vaksin dan pencegahan penyakit. (Sumber: Leonardo.ai)

TheStanceID – Bill Gates meyakini nyamuk bisa direkayasa menjadi agen vaksinasi yang efektif untuk mencegah penyakit berbahaya. Namun tanpa pengawasan publik, serangga tersebut berisiko dipakai untuk apa saja, termasuk senjata biokimia.

Semua orang tentu kenal Bill Gates, pendiri Microsoft yang dikenal kaya raya dan dermawan. Dengan harta US$128 miliar (setara Rp2.100 triliun), dia menduduki posisi sebagai orang terkaya ketujuh di dunia, menurut versi Forbes.

Citra kedermawanannya menguat setelah dia dan mantan istrinya (Mellinda) mendirikan Gates Foundation pada tahun 2000. Misinya adalah menciptakan “sebuah dunia di mana semua orang memiliki kesempatan menjalani hidup sehat dan produktif.”

Mereka mengeklaim telah mendonasikan US$7,75 miliar dalam seperempat abad terakhir untuk mendorong kesetaraan gender, kesehatan, dan advokasi kebijakan khususnya di negara miskin dan terbelakang.

Dalam perkembangannya, Bill Gates mendanai berbagai uji coba dan penelitian yang terdengar aneh, dan mencurigakan. Salah satunya adalah membiakkan nyamuk yang bakal menjadi “jarum suntik terbang” untuk vaksin mengatasi malaria.

Terbaru, Pusat Medis Universitas Leiden, yang didukung Gates Foundation, di Belanda awal tahun ini sukses mengembangkan metode vaksinasi malaria dengan memakai nyamuk yang telah diinjeksi parasit Plasmodium falciparum hidup yang dilemahkan.

Nyamuk tersebut dibiarkan menggigit peserta eksperimen. Setengah tahun kemudian, peserta eksperimen yang sama dikondisikan agar digigit nyamuk yang mengandung parasit Plasmodium falciparum aktif.

Hasilnya, vaksinasi yang lebih efektif terhadap malaria terbentuk, demikian simpulan penelitian berjudul “Single Immunization with Genetically Attenuated Pf∆Mei2 (GA2) Parasites by Mosquito Bite in Controlled Human Malaria Infection: A Placebo-Controlled Randomized Trial.”

“Kami melaporkan pemberian GA2-MB yang aman, tanpa malaria dan perlindungan steril, pada sembilan dari 10 peserta dalam 6 minggu setelah imunisasi tunggal dengan 50 nyamuk yang terinfeksi GA2,” tulis laporan tersebut yang diterbitkan di jurnal Nature.

Penelitian Belasan Tahun

Bagi Bill Gates, capaian ini bukanlah perjalanan yang cepat dan murah.

Semua dimulai tahun 2008, ketika Yayasan tersebut memberikan hibah US$100.000 (Rp1,6 miliar) kepada Hiroyuki Matsuoka, peneliti dari Jichi Medical University, di Jepang. Washington Post mengupasnya, berbarengan dengan penelitian unik lainnya.

Saat itu, targetnya adalah mendesain nyamuk yang bisa memproduksi protein vaksin malaria, yang diharapkan “bisa memberikan vaksin perlindungan melawan penyakit infeksi yang lain.”

Selang setahun kemudian, Bill Gates memberikan dana senilai sama kepada Universitas Leiden untuk melakukan penelitian serupa. Kali ini targetnya sudah naik kelas, bukan membuat nyamuk, tapi membuat vaksin yang bisa dibawa nyamuk tersebut.

Sembari menyempurnakan vaksin malaria versi jarum suntik hidup, Bill Gates bergabung dengan Global Alliance for Vaccine and Immunisations (GAVI) untuk mendukung inisiatif pendanaan proyek vaksinasi global senilai US$3,7 miliar.

Baru 14 tahun kemudian, penelitian tersebut membuahkan hasil. Nyamuk dari laboratorium penelitian yang disokong Bill Gates benar-benar menjadi 'jarum suntik terbang' untuk mengirimkan vaksin malaria yang didesain khusus, kepada manusia yang digigitnya.

Pada tahun 2018 hingga 2020, Bill Gates mendanai Oxitec untuk memodifikasi nyamuk jantan secara genetik, agar hasil perkawinannya dengan nyamuk betina liar akan mati sebelum dewasa. Nilai pendanannya mencapai US$1,4 juta.

Vaksin atau Senjata Kimia?

Namun, kekhawatiran pun mengemuka. Jarum suntik terbang berbentuk nyamuk tersebut bakal dikendalikan siapa? Bukankah dia akan “memvaksin” semua yang digigitnya tanpa perlu persetujuan dari manusia yang divaksin?

Mantan Menteri Kesehatan Siti Fadilah Supari mengakui Bill Gates memang merupakan tokoh di balik vaksinasi berbasis nyamuk. Vaksinasi ini bahkan telah dilaksanakan di Indonesia melalui nyamuk Wolbachia, untuk mengurangi demam berdarah.

Ketika menjabat sebagai anggota Dewan Pertimbangan Presiden, Siti menyaksikan bagaimana World Mosquito Program (WMP), organisasi yang dianggap sebagai "tangan kanan" Gates sejak 2011 mendukung penyebaran nyamuk Wolbachia, bahkan mendirikan pabrik nyamuk di beberapa negara, termasuk Indonesia.

Saat ini, produksi nyamuk Wolbachia di Indonesia mencapai 8 juta ekor per minggu, dengan target meningkat hingga 40 juta ekor per minggu. Menurut Siti, program ini harus dievaluasi secara kritis.

“Saya tidak mau rakyat Indonesia menjadi bahan uji coba. Seharusnya kita menghitung terlebih dahulu: apakah kita benar-benar membutuhkan program ini? Jika tidak perlu, kenapa harus kita terima?” tegasnya kepada TheStanceID, Minggu (19/1/2025).

Nazi Juga Teliti Nyamuk

Pemikiran untuk menggunakan nyamuk sebagai senjata biologis mematikan, dengan memungkinkan mereka menjadi vektor atau pembawa virus dan bakteri berbahaya sudah mengemuka sejak Perang Dunia II.

Nazi (Nationalsozialist) dilaporkan mengembangkan nyamuk pembawa malaria sebagai senjata biologis di Dachau, kamp konsentrasi pertama di Jerman. Hal ini diungkapkan oleh biologis University of Tubingen Klaus Reinhardt, seperti diulas Nat Geo.

NAZI tentu saja tak bisa memberikan hak jawab. Yang pasti, rencana itu—jikapun ada—tidak pernah terwujud atau dieksekusi. Amerika Serikat (AS) justru menjadi tertuduh pertama atas praktik penggunaan nyamuk sebagai senjata biokimia.

Tuduhan itu dikemukakan Presiden Kuba Fidel Castro terkait epidemi Demam Berdarah Dengue (DBD) tahun 1981. Dalam epidemi terparah sepanjang sejarah Amerika Selatan itu, 98-99% warga Kuba terjangkit DBD dengan 158 penderita berakhir meninggal.

Namun anehnya, tak ada satupun warga Amerika di pangkalan militernya di Teluk Guantanamo yang terjangkit.

Lab Biokimia Amerika

Pentagon dikabarkan telah melakukan penelitian biokimia di berbagai laboratorium luar negeri, termasuk di Ukraina, sebagaimana diangkat oleh Letnan Jenderal Rusia Igor Kirillov—yang terbunuh akhir tahun lalu.

Dalam pidatonya yang ditujukan pada Hague, Kirillov mengungkapkan dokumen rahasia AS tahun 1977 yang menunjukkan bahwa militer Amerika mempelajari virus dan penyakit yang ditularkan oleh nyamuk, termasuk di antaranya demam berdarah.

“Ia menunjukkan aktivitas utama militer AS dalam program pengembangan senjata biologis. Menurut penyusunnya, materi ini disiapkan untuk perwakilan Kongres agar mereka makin mawas dengan program biologis Departemen Pertahanan AS,” ujarnya dalam pidatonya.

Pemerintah Amerika tak pernah memberikan bantahan resmi atas tuduhan tersebut. Namun, media Barat ramai-ramai menuding Kirillov sebagai pendusta dan Rusia sedang menyebarkan propaganda. Salah satunya Voice of America, media pelat merah di AS.

Sampai dengan detik ini, tidak ada lembaga yang menjamin bahwa nyamuk-nyamuk dari lab itu tidak akan dipakai untuk menyuntikkan zat lain yang tak ada urusannya dengan kesehatan publik: sebagai senjata biologis, atau biang untuk memicu pandemi.

Lalu bagaimana dampaknya terhadap kelangsungan plasma nutfah? Apakah pemangsa alami nyamuk tersebut akan mengalami mutasi atau gangguan genetika? Semua itu belum juga diteliti. (par)


Untuk menikmati berita cepat dari seluruh dunia, ikuti kanal TheStanceID di Whatsapp dan Telegram.

\