Jakarta, TheStanceID - Dalam upaya mencegah pernikahan diam-diam (siri), Pemerintah Provinsi Jakarta baru-baru ini mengeluarkan kebijakan yang mengizinkan Aparatur Sipil Negara (ASN) berpoligami. Isu kuno ini kembali mewarnai headline media nasional.
Kebijakan ini dituangkan dalam Peraturan Gubernur (Pergub) Nomor 2 Tahun 2025 yang mengatur tentang Tata Cara Pemberian Izin Perkawinan dan Perceraian.
Dalam peraturan itu dicantumkan beberapa pasal mengenai kewajiban mendapatkan izin dan syarat-syarat poligami bagi ASN, bahkan menambahkan prosedur administratif pelaku poligami, yakni mengantongi surat putusan pengadilan.
Namun kebijakan itu pun ramai jadi sorotan meski Pergub tersebut secara administratif justru mempersulit pelaku poligami, dengan mengharuskannya mendapatkan putusan pengadilan.
Dan, aturan soal poligami bagi ASN sudah ada, yakni di Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan, Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 10 Tahun 1983 juncto PP Nomor 45 Tahun 1990 tentang Izin Perkawinan dan Perceraian bagi Pegawai Negeri Sipil (PNS) dan Surat Edaran Badan Kepegawaian Negara.
Regulasi soal poligami bagi ASN di Indonesia punya sejarah panjang dan pelik, di mana ada peran besar Tien Soeharto dalam lahirnya aturan tersebut.
Tien yang pernah ikut di Barisan Pemuda Putri di bawah Fujinkai di masa revolusi, dikenal berperan penting memoles kebijakan negara terkait hak perempuan semasa Soeharto menjabat sebagai Presiden ke-2.
Salah satu gagasannya yang monumental adalah pembangunan Taman Mini Indonesia Indah (TMII) yang diresmikan pada 20 April 1975, selain penghapusan budaya permisif terhadap poligami di kalangan ASN.
Lahirnya UU Perkawinan
Ibu negara bernama lengkap Raden Ayu Siti Hartinah alias Tien Soeharto ini dikenal sebagai penganut prinsip pernikahan monogami harga mati, karena pria yang beristri lebih dari satu seringkali tidak bisa berlaku adil.
Ia juga berada di balik lahirnya Undang-Undang Perkawinan 1974 yang rancangan awalnya sempat membuat geram sejumlah elemen umat Islam Indonesia, karena mempersulit praktik poligami.
Bila organisasi wanita saat itu memperjuangkan UU perkawinan lewat aksi unjuk rasa, maka Tien bergerak dari jalur istana. Ia mendorong suaminya membela perempuan melalui UU Perkawinan yang kemudian diteken DPR.
"Dalam membina keluarga yang bahagia sangatlah perlu adanya usaha yang sungguh-sungguh untuk meletakkan perkawinan sebagai ikatan suami-istri dalam kedudukan yang semestinya dan suci," kata Soeharto di hadapan DPR kala itu, dikutip dalam buku Siti Hartinah: Ibu Utama Indonesia.
Akhirnya pada 2 Januari 1974, RUU Perkawinan diputuskan menjadi UU No.1 tahun 1974. Undang-Undang ini memang tak melarang poligami tetapi mengatur prosedur dan syarat serta ketentuannya..
Dalam UU ini diatur, seorang pria hanya boleh memiliki satu istri dan seorang wanita hanya boleh memiliki satu suami. Bagi sebagian kalangan, aturan ini dinilai bertentangan dengan ketentuan dalam agama Islam.
Awal Mula Larangan Poligami
Usaha Tien untuk mencegah poligami dan perceraian tak berhenti di UU Perkawinan. Ia berhasil membuat aturan ini diberlakukan kepada tentara pada tahun 1980 dan polisi setahun kemudian.
Puncaknya adalah keluarnya Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 10 Tahun 1983 tentang Izin Perkawinan dan Perceraian Bagi PNS yang didalamnya memuat aturan larangan poligami bagi semua PNS.
Lahirnya PP ini bukan tanpa sebab.
Pada awal 1980-an, ada banyak keluhan dan tuntutan di kalangan Dharma Wanita, yang menjadi wadah perhimpunan istri pegawai negeri. Kala itu, marak laporan dari anggota Dharma Wanita di berbagai wilayah soal kelakuan suami mereka.
Di antara laporan itu adalah tingginya kasus poligami, praktik pernikahan di bawah tangan yang dilakukan oleh pejabat negara, bahkan perceraian yang dilakukan secara sewenang-wenang.
Isu Perselingkuhan Soeharto
Saat itu, ramai juga isu perselingkuhan Soeharto dengan salah seorang artis ibu kota. Bahkan, Presiden Soeharto sampai harus mengeluarkan bantahan dan klarifikasi saat berpidato di acara ulang tahun komando pasukan Sandi Yudha.
Soeharto menjelaskan bahwa isu itu sengaja dihembuskan untuk menghalangi agenda politiknya, serta mencemarkan nama baiknya. Soeharto menegaskan jika ia adalah seorang pria yang setia.
"Hanya ada satu Nyonya Soeharto dan tidak ada lagi yang lainnya. Jika ada, akan timbul pemberontakan yang terbuka di dalam rumah tangga Soeharto,” katanya sambil tersenyum kepada jurnalis Jerman O.G. Rieder dalam buku Anak Desa: Biografi Presiden Soeharto.
Mendengar aduan di kalangan Dharma Wanita dan isu yang menerpa suaminya, sangat murka dan mendesak agar dibuat aturan tentang larangan poligami. Lalu muncullah Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 10 Tahun 1983 tentang Izin Perkawinan dan Perceraian Bagi PNS.
“Jadi memang dari Bu Tien itu peraturan, menanggapi protes di Dharma Wanita,” ujar Nurlailiyah, mantan anggota Dharma Wanita di jajaran Departemen Agama, seperti dikutip dari Republika.
Ia mengenang, kala itu Dharma Wanita Departemen Agama jadi ujung tombak sosialisasi aturan persyaratan poligami itu. “Sepuluh tahun kayaknya kami ke instansi-instansi yang lain untuk memberikan penyuluhan.”
Melawan Pejabat Doyan Kawin
Aktivis perempuan dan kesetaraan gender Julia Suryakusuma menilai PP 10 Tahun 1983 merupakan cermin kecemasan Tien terhadap kebiasaan doyan kawin pejabat elit yang bergaya priyayi.
Umum diketahui, Ibu Tien kala itu dapat menentukan nasib pejabat tinggi pemerintahan yang terbukti melakukan “pelanggaran seksual”, seperti misalnya perceraian ataupun poligami.
Widjojo Nitisastro yang menjabat Menteri Koordinator Ekonomi merangkap Ketua Bappenas hanyalah salah satu contoh yang harus menerima konsekuensi penerapan PP 10 ini.
Widjojo kala itu memilih menceraikan istrinya agar bisa menikahi sekretarisnya. Dia pun akhirnya harus melepas jabatannya, meski kemudian dipertahankan sebagai penasihat ekonomi Soeharto.
"Sanksi pelanggaran berupa penundaan kenaikan pangkat atau gaji, dan paling buruk dipecat dengan tidak hormat dari kepegawaian," tulis Julia dalam artikel yang dimuat di jurnal Prisma (7/7/1991).
Revisi Aturan Poligami PNS
Seiring waktu, PP Nomor 10/1983 dinilai terlalu bias kepada kaum hawa di mana istri yang diceraikan oleh suami berstatus ASN wajib diberi gaji sang suami hingga separuhnya, tak peduli jika perceraian itu dipicu sang istri sekalipun.
Maka, peraturan tersebut disempurnakan melalui PP Nomor 45 Tahun 1990. Namun terkait poligami masih sama: ASN boleh memiliki istri lebih dari satu, tapi dengan syarat dan ketentuan yang lumayan rigid.
Pada 2006, Presiden Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) meminta aturan poligami yang selama ini berlaku hanya untuk PNS dan anggota TNI/Polri diperluas cakupannya.
Oleh karena itu, SBY meminta PP No 45/1990 kembali direvisi. Dalam usulan revisi itu, pejabat negara dan pejabat pemerintahan seperti menteri, gubernur, bupati, wali kota, maupun anggota DPR akan tercakup di dalamnya.
Bukan rahasia juga, kalau Ibu negara Ani Yudhoyono, seperti halnya Tien Soeharto adalah penentang poligami dan bisa mempengaruhi sang suami untuk mengatur kebijakan negara seputar hak perempuan.
Namun rencana itu tak kunjung dijalankan, bahkan di bawah presiden Jokowi.
Akhirnya di era Prabowo PP Nomor 45/1990 untuk pertama kali diturunkan dalam Peraturan Gubernur oleh Pemprov DKI, dan kaum tunahistoria terkaget-kaget seolah kebijakan itu baru turun dari langit. (est)
Untuk menikmati berita cepat dari seluruh dunia, ikuti kanal TheStanceID di Whatsapp dan Telegram.