Trump Ancam Anggota BRICS+, Indonesia Kok Malah Gabung?
Dedolarisasi dinilai hanya wacana politik, BRICS+ diyakini bisa menjaga posisi tawar Indonesia.

Jakarta, TheStanceID - Jelang pergantian tahun, presiden terpilih Amerika Serikat (AS) Donald Trump mengancam tarif baru bagi negara anggota BRICS+ (Brazil, Rusia, India, China, South Africa). Indonesia malah nekad bergabung.
Brasil selaku Ketua Kerjasama Multilateral BRICS+ mengumumkan bergabungnya Indonesia secara resmi sebagai anggota penuh organisasi antar-negara tersebut pada Selasa (7/1/2025).
Padahal, akhir November tahun lalu, Trump telah mengumbar ancaman akan memberlakukan tarif 100% bagi negara anggota BRICS+ jika mereka mendukung dedolarisasi dalam perdagangan internasional.
"Negara-negara BRICS mencoba untuk menjauh dari dollar dan berpikir kita hanya diam dan menonton," tegasnya lewat akun Truth Social pada (30/11/2024).
Gertakan Trump ini merupakan reaksi dari Konferensi Tingkat Tinggi (KTT) BRICS+ terakhir yang berlangsung di Kazan, Rusia pada November 2024.
Dibentuk sebagai alternatif dari blok G7, organisasi elit yang beranggotakan negara dengan ekonomi terbesar di dunia, BRICS+ diharapkan mendorong kerja-sama berdasarkan prinsip kesetaraan, saling menghormati, dan berkelanjutan.
Dengan bergabungnya Indonesia, akses dan peningkatan kerjasama antar anggota yang bertumbuh pesat tersebut akan tercermin dalam kebijakan luar negeri ekonomi dan politik Indonesia.
Namun di sisi lain, bergabungnya Indonesia dengan BRICS dinilai membawa dilema karena dapat mempersulit ruang politik luar negeri Indonesia dengan negara-negara Barat.
Maklum saja, organisasi yang awalnya didirikan Brasil, Rusia, India, China, serta Afrika Selatan tersebut memang identik dengan kubu yang berseberangan dengan kepentingan Barat secara politik.
Diplomasi Investasi
Deputi Kerja Sama Penanaman Modal Kementerian investasi/BKPM, Tirta Nugraha Mursitama menekankan bahwa keanggotaan Indonesia di BRICS dapat menjadi pengungkit untuk meningkatkan daya saing ekonomi dan politik.
Diplomasi investasi yang kuat melalui perjanjian investasi internasional bilateral dan multilateral diharapkan mendorong pertumbuhan ekonomi hingga 8%, sesuai target Presiden Prabowo Subianto.
"Dengan adanya BRICS ini, selain daya tawar kita naik, diversifikasi sumber investasi kita juga akan lebih banyak dan terbuka. Nah, ini satu hal yang menurut saya bagus," ujar Tirta.
Keuntungan lain dari bergabungnya Indonesia dengan BRICS+ meliputi transfer teknologi, peningkatan daya saing internasional, peluang ekspansi pasar, hingga akses ke pendanaan alternatif.
Namun Tirta menggarisbawahi tantangan yang timbul dari pengelolaan persepsi ketergantungan pada China di BRICS+, implementasi kebijakan, kualitas investasi, persaingan internal antar anggota, dan risiko geopolitik.
"Indonesia harus mampu me-manage hubungan dengan negara-negara Barat, terutama AS," ungkap Tirta.
Manifestasi Politik Bebas Aktif
Ekonom Senior Institute for Development of Economics and Finance atau INDEF, Fadhil Hasan berpendapat bergabungnya Indonesia ke BRICS secara geopolitik merupakan langkah strategis sebagai manifestasi politik luar negeri Indonesia yang bebas aktif.
Apalagi, Indonesia juga sedang mengajukan untuk bisa tergabung dalam Organisasi untuk Kerja Sama Ekonomi dan Pembangunan (OECD), di mana sebagian besar negara yang tergabung adalah negara maju yang berpendapatan per kapita tinggi.
"Bebas aktifnya di sini lebih jelas dengan bergabung OECD,.. dan juga sekarang dengan bergabung ke BRICS itu merupakan manifestasi dari politik kita yang bebas aktif," ujarnya dalam diskusi "Plus Minus Indonesia menjadi Anggota BRICS", pada Senin (20/01/2025) malam.
Dari sisi ekonomi, bergabung dengan BRICS diharapkan memberikan berbagai manfaat bagi Indonesia, seperti akses ke pembiayaan, diversifikasi pasar ekspor, peningkatan kerja sama ekonomi, dan pengaruh terhadap perdagangan global.
Fadhil mencatat bahwa meskipun investasi dari negara-negara OECD lebih besar, Foreign Direct Investment (FDI) dari negara-negara BRICS+ menunjukkan tren yang lebih stabil dan positif.
"Selain itu, ekspor Indonesia ke negara-negara BRICS+ juga dalam tren meningkat, sementara ekspor ke negara-negara OECD cenderung menurun," jelas Fadhil.
Meski demikian, menurut Fadhil, tantangan yang muncul, seperti perbedaan kepentingan politik dan ekonomi antar anggota serta kompleksitas kebijakan global, perlu dipertimbangkan dalam strategi jangka panjang.
Rugikan Indonesia Secara Geopolitik
Di posisi berseberangan, pengajar Fakultas Ilmu Sosial Ilmu Politik (FISIP) Universitas Airlangga Radityo Dharmaputra memiliki pandangan yang berbeda terhadap keanggotaan Indonesia di BRICS.
Dia menilai keanggotaan di BRICS lebih condong merugikan Indonesia. "Keuntungan ekonominya (bergabung ke BRICS) masih belum jelas. Sementara kerugiannya geopolitiknya sudah di depan mata."
Salah satu kerugian itu adalah ancaman tarif Trump jika BRICS+ menciptakan mata uang baru atau mendukung mata uang lain untuk menggantikan dollar AS yang disebutnya "perkasa."
"[Jika tidak] Mereka akan menghadapi tarif 100% dan bersiap-siaplah mengucapkan selamat tinggal pada ekonomi AS yang luar biasa," tambah Trump.
Dedolarisasi Hanya Wacana
Fadhil meragukan wacana dedolarisasi akan terwujud, mengingat sejumlah negara-negara pendiri BRICS sebenarnya masih berbeda pandangan soal ini. India dan Afrika Selatan membutuhkan pasar negara-negara maju yang mayoritas menggunakan dolar.
"Disini kita lihat belum ada kesepahaman yang kuat antara negara-negara BRICS tentang isu dedolarisasi," ungkap Fadhil.
Selain itu, jika negara-negara BRICS ingin menciptakan mata uang global untuk menyaingi dolar AS, mereka juga harus mengubah kebijakan ekonomi internal mereka, termasuk liberalisasi arus modal dan harmonisasi kebijakan moneter.
"Itu juga bukan sesuatu yang mudah dilakukan karena mereka harus mengubah kebijakan ekonomi di dalam negerinya sendiri," jelas Fadhil.
Membangun Dialog dengan AS
Radityo memperkirakan, Amerika akan menjadi lebih agresif dan unilateralis. "Ini adalah Amerika Serikat yang berbeda. Trump periode kedua diperkirakan akan lebih agresif daripada Trump periode pertama."
Neraca perdagangan Indonesia dengan Amerika dalam 5 tahun terakhir tercatat surplus karena nilai ekspor Indonesia ke AS lebih besar dibandingkan nilai impornya. Angka ekspor Indonesia ke AS baru naik sejak tahun 2020, setelah Trump lengser.
Dia pun menekankan pentingnya membangun dialog dengan AS demi meyakinkan negara adidaya itu bahwa Indonesia tidak "berniat buruk dengan bergabung ke BRICS".
"Manfaatkanlah orang-orang yang punya pengalaman diplomatik tinggi [atau] pengalaman personal berhubungan dengan Amerika Serikat. Jangan semuanya dilakukan sendiri oleh presiden," ujar Radityo.
Global South sebagai Alternatif
Di luar kerangka BRICS, langkah mitigasi yang bisa dilakukan untuk meminimalisir risiko geopolitik dari Amerika salah satunya dengan memperkuat forum-forum di luar BRICS seperti solidaritas Global South.
"Manfaatkan juga forum-forum di luar BRICS seperti event 70 tahun KAA, forum yang sudah ada. Bisa juga manfaatkan forum-forum negara menengah seperti Astana Forum dan MIKTA," ujar Radityo.
Guru Besar Hubungan Internasional Universitas Negeri Saint Petersburg Connie Rahakundini Bakrie mengakui keanggotan Indonesia di BRICS memiliki konsekuensi pada hubungan dengan negara-negara Barat.
Apalagi, selama ini BRICS digambarkan sebagai penyeimbang dari pengaruh Barat.
Optimalkan Peran ASEAN
Meski juga mendapatkan keuntungan ekonomi dari keanggotaan BRICS, Connie mendorong Indonesia memperkuat strategi diplomatiknya untuk mempertahankan kebijakan luar negeri yang netral dan fleksibel.
"Yang memungkinkan, bisa memanfaatkan ASEAN sebagai platform untuk multi alignment," ujar Connie.
Selain itu, untuk mengurangi dampak dari risiko geopolitik dan keamanan pasca bergabung dengan BRICS, Indonesia juga harus menyeimbangkan hubungan keamanannya melalui kerjasama pertahanan dengan AS melalui Forum Regional ASEAN (ARF).
“Selain tentunya dengan menjaga keterlibatannya yang lebih dalam dengan BRICS, untuk menghindari berkesitegangan dalam kebijakan luar negeri,” ujar Connie. (est)
Untuk menikmati berita cepat dari seluruh dunia, ikuti kanal TheStanceID di Whatsapp dan Telegram.