Jakarta, TheStanceID – Pemerintah mengenakan cukai Minuman Berpemanis Dalam Kemasan (MBDK) pada semester II 2025. Kebijakan yang membebani pelaku usaha ini diharapkan menekan penyakit gula di Indonesia.

Mulanya, kebijakan cukai atas MBDK ini muncul sebagai respons atas meningkatnya prevalensi penyakit tidak menular (Non-Communicable Diseases/NCD) seperti diabetes, obesitas, dan hipertensi. 

Kementerian Keuangan (Kemenkeu) menjadi entitas pertama yang mengajukan usulan penerapan cukai atas MBDK pada tahun 2020, sebagai bagian dari reformasi kebijakan fiskal yang mendukung kesehatan masyarakat.

Menurut Ikatan Dokter Anak Indonesia (IDAI), kasus diabetes anak melesat 70% dari 2010 hingga 2023. Satu dari lima anak berusia 12-18 tahun dilaporkan mengalami gejala awal gagal ginjal dengan memiliki hematuria atau proteinuria dalam urinnya.

Ditambah lagi pada Agustus 2024, sebanyak 60 anak mengalami gagal ginjal dan harus menjalani cuci darah secara rutin di Rumah Sakit Umum Pusat Nasional Cipto Mangunkusumo (RSCM), Jakarta.

Karenanya, usulan kebijakan pengenaan cukai terhadap minuman berpemanis semakin serius. Setelah sempat tertunda karena pandemi Covid-19, pengenaan cukai atas MBDK pun diketok palu untuk diimplementasikan pada semester II 2025.

Secara fiskal, kebijakan ini juga membuat Kemenkeu atas nama negara mengantongi Rp3,8 triliun dari pemasukan cukai atas MBDK pada 2025, melalui Direktorat Jenderal dan Bea Cukai. 

Tahap Implementasi

Direktur Komunikasi dan Bimbingan Pengguna Jasa Bea Cukai Kemenkeu Nirwala Dwi Heryanto menyebutkan penetapan batasan kadar gula akan tertuang dalam Peraturan Pemerintah (PP) setelah proses penyusunan aturan tuntas. 

Cukai dikenakan berbasis kadar gula per 100 mililiter produk, mengikuti standar yang telah diterapkan di negara Asia Tenggara, seperti Thailand dan Filipina. Sasarannya adalah minuman kemasan bersoda, teh, jus, kopi, hingga minuman energi.

Saat ini pemerintah masih dalam tahap finalisasi regulasi, termasuk menentukan ambang batas kadar gula yang akan dikenakan cukai serta besaran tarif yang akan diusulkan.

Sebagai langkah awal, kebijakan ini direncanakan untuk diterapkan secara bertahap, dimulai dengan edukasi kepada masyarakat dan produsen tentang pentingnya mengurangi kadar gula dalam produk.

Meniru Negara Lain

Diketahui, pemerintah menggodok aturan tersebut dengan melakukan pendekatan Amati, Tiru dan Modifikasi (ATM) secara komprehensif dari negara yang sudah mengimplimentasikan kebijakan ini yang kemudian disesuaikan kondisi Indonesia. 

Beberapa negara yang menjadi acuan karena dinilai sukses menerapkan kebijakan serupa adalah Meksiko, Inggris, dan Thailand.

Penggolongan cukai MBDK juga diterapkan berdasarkan kadar gula dalam minuman dengan mengacu pada standar di Amerika Serikat (AS) yakni American Heart Association (AHA). 

Mengacu pada standar tersebut, Badan Pengawas Obat dan Makanan (BPOM) mendorong perusahaan mereformulasikan produk minuman berpemanisnya dengan menurunkan kadar gula menjadi 6 gram (gr) per 100 mililiter (ml).

 

Pengusaha Menolak Keras

Ketua Umum Gabungan Produsen Makanan dan Minuman Indonesia (Gapmmi) Adhi S. Lukman mengeklaim bahwa cukai demikian memicu kenaikan harga produk hingga 30%.

Dia ngotot mendesak pemerintah untuk membatalkan kebijakan tersebut, dengan dalih bahwa penyakit akibat gula tetap akan tinggi meski cukai diberlakukan. "Kami sudah menjelaskan ke pemerintah bahwa MBDK itu tidak tepat untuk mengatasi NCD."

Sebaliknya, peneliti Global Health Security sekaligus epidemiolog dari Griffith University Dicky Budiman menilai penerapan cukai terhadap minuman berpemanis adalah langkah efektif untuk menekan kasus diabetes melitus dan obesitas. 

“Ini adalah kebijakan pro-kesehatan yang terbukti efektif. Dengan konsumsi minuman berpemanis yang menurun, risiko penyakit tidak menular seperti diabetes, hipertensi, dan penyakit kardiovaskular juga berkurang signifikan,” ujar Dicky kepada TheStanceID pada Sabtu (19/1/2025).

Dia berharap pendapatan cukai dari industri berpemanis ini bisa dimanfaatkan untuk mendukung layanan kesehatan, pendidikan, atau program kesejahteraan lainnya

Tak Ada Kata Terlambat

Menurut catatan TheStanceID, Indonesia terlalu lamban dalam mengenakan cukai atas MBDK. Pasalnya, ada 73 negara di seluruh dunia—atau 37% dari negara yang ada di bumi—telah menerapkan pajak terhadap minuman berpemanis.

Contohnya, Meksiko telah memberlakukan kebijakan ini sejak 2014 dan berhasil menurunkan konsumsi minuman berpemanis hingga 37% dalam dua 2 pertama. Inggris menyusul dengan mencatat penurunan konsumsi sebesar 35% sejak 2018.

“Penerapan kebijakan seperti ini di Indonesia akan sangat berdampak dalam menekan prevalensi penyakit tidak menular, meningkatkan kesehatan masyarakat, dan mengurangi beban pembiayaan kesehatan nasional,” tutur Dicky.

Dengan langkah yang tepat dan dukungan kebijakan yang menyeluruh, penerapan pajak minuman berpemanis diharapkan menjadi tonggak penting dalam upaya menciptakan masyarakat Indonesia yang lebih sehat dan produktif.

Semestinya Diperluas

Pakar Kebijakan Publik Universitas Indonesia, Roy Valiant Salomo menilai cukai terhadap produk minuman berpemanis seharusnya diperluas, mencakup makanan berpemanis juga.

“Ide ini sudah beberapa tahun saya bicarakan di kalangan terbatas, terutama dalam berbagai perkuliahan saya. Gula adalah salah satu penyebab utama berbagai penyakit kronis,” ungkap Roy saat dihubungi TheStanceID, Minggu (19/1/2025).

Bahkan, lanjut dia, cukai serupa juga perlu diberlakukan untuk makanan dalam kemasan yang mengandung garam atau natrium, karena juga berdampak buruk bagi kesehatan dalam jangka panjang.

Kebijakan preventif demikian diharapkan membuat masyarakat Indonesia lebih sehat dan produktif, sekaligus mengurangi beban biaya yang ditanggung oleh Badan Penyelenggara Jaminan Sosial (BPJS) Kesehatan.

“Dana BPJS saat ini banyak digunakan untuk mengobati penyakit yang sebenarnya bisa dicegah. Dengan adanya cukai ini, konsumsi gula dalam berbagai bentuk dapat ditekan,” tambahnya.

Publik Mendukung

Langkah ini menuai dukungan dari berbagai kalangan. Salah satu pendukung kebijakan ini adalah Nena Febriana (46 tahun), ibu rumah tangga asal Bogor. Ia menyatakan kebijakan ini dapat memberikan dampak positif bagi anak-anak.

"Saya setuju dengan cukai ini. Anak-anak sekarang sering tergoda minuman manis yang ada di mana-mana. Kalau harganya lebih mahal, mungkin mereka jadi lebih jarang beli. Kesehatan mereka kan yang paling penting," ujarnya saat ditemui TheStanceID.

Yuliana Roju Thena (32 tahun), karyawan swasta di Jakarta, menilai kebijakan ini sebagai langkah preventif yang tepat. "Kita sering mendengar teman atau keluarga yang terkena diabetes. Kalau ini bisa mencegah orang mengonsumsi gula berlebihan, kenapa tidak?"

Tidak hanya itu, Eustakia Novanista Ata (30 tahun) asal Nusa Tenggara Timur (NTT) mendukung kebijakan cukai pada minuman berpemanis karena dana yang dihasilkan bisa membantu pemerintah mengatasi problem kesehatan publik.

“Saya mendukung sekali dengan adanya kebijakan ini, hasilnya bisa juga digunakan untuk melengkapi strategi dalam menurunkan tingkat penyakit akibat NCD di Indonesia,” tandasnya.

Kali ini, pemerintah bertindak benar dengan mendukung kesehatan publik dan pemasukan negara, ketimbang mempertebal laba pelaku usaha melalui produk asupan murah yang berdampak buruk bagi masyarakat. (par)


Untuk menikmati berita cepat dari seluruh dunia, ikuti kanal TheStanceID di Whatsapp dan Telegram.