Peluang Indonesia dalam Perang Dagang Amerika vs China
Perang dagang AS-China jadi pengingat bahwa kekuatan ekonomi suatu negara harus bertumpu pada kekuatan internal negara tersebut.

Oleh Muhammad Syarkawi Rauf, dosen Fakultas Ekonomi dan Bisnis (FEB) Universitas Hasanuddin, Ketua Komisi Pengawas Persaingan Usaha (KPPU) 2015-2018, pernah menjadi Direktur Utama BERDIKARI dan Komisaris Utama PT Perkebunan Nusantara (PTPN) VI/IX dan kini aktif sebagai Chairman of Asian Competition Institute (ACI).
Trade War 1.0 dimulai pada periode pertama kepresidenan Amerika Serikat (AS) Donald Trump tahun 2017–2021, tandai pengenaan pajak senilai lebih dari US$250 miliar terhadap barang-barang dari China oleh AS pada tahun 2018.
Akibatnya, rantai pasok AS–China terganggu. Harga barang-barang dari China di pasar AS naik, yang membuat importir AS mengalihkan pembelian produknya dari China ke negara lain yang harganya lebih murah.
Perang dagang AS–China jilid satu membuat banyak perusahaan-perusahaan multinasional yang sebelumnya menjadikan China sebagai basis produksi untuk pasar AS memindahkannya ke negara lain.
Ada dua kelompok negara yang mendapat windfall profit (rejeki nomplok). Kelompok pertama, negara yang mengandalkan ketersediaan tenaga kerja murah, mayoritas di Asia Selatan dan Asia Tenggara, seperti Vietnam, Thailand dan Bangladesh.
Kelompok kedua, negara dengan sektor manufaktur berteknologi tinggi yang sangat kompleks. Mereka memiliki tenaga kerja berketerampilan tinggi dengan belanja Research and Development (R&D) besar seperti Taiwan, Korea Selatan, dan Jepang.
Perang dagang mereda setelah Trump tidak terpilih lagi untuk periode kedua tahun 2021–2025. Namun, setelah 4 tahun masa jeda, Trump terpilih kembali untuk periode kedua tahun 2025–2029, yang meningkatkan eskalasi perang dagang AS–China.
Trade War 2.0 yang berlangsung ditandai oleh pengenaan pajak resiprokal ekstra tinggi oleh Trump hingga 145% terhadap produk impor China. Sebaliknya, Presiden China Xi Jinping mengenakan tarif retaliasi sebesar 125% terhadap impor dari AS.
Dampak negatif Trade War 2.0 jauh lebih besar karena tarif ekstra tinggi tidak hanya dikenakan terhadap China, tetapi juga pada puluhan negara lainnya. Vietnam dikenakan pajak hingga 46%, Thailand 36%, Bangladesh 37% dan Indonesia 32%.
Dialasdasari Defisit Perdagangan
Trade War 2.0 bertujuan untuk mengurangi defisit perdagangan AS dengan China dan negara lainnya. Hingga tahun 2024, defisit perdagangan AS–China mencapai US$295 miliar, tertinggi dibandingkan dengan negara lainnya.
Ekskalasi perang dagang AS–China berdampak negatif terhadap perekonomian global, termasuk ekonomi AS, China dan Indonesia. Hal ini tercermin pada proyeksi pertumbuhan ekonomi global yang menurun dari 3,2% menjadi 2,8% tahun 2025.
Sementara itu, pertumbuhan ekonomi AS diprediksi melambat menjadi 1,8% dari sebelumnya 2,5%, China melambat dari 4,5% menjadi 4%, dan Indonesia melambat dari 5,1% menjadi 4,7% pada tahun 2025.
Bank investasi terbesar dunia, Goldman Sach sempat memproyeksikan bahwa ada sekitar 60% peluang terjadinya resesi ekonomi global pada 2025 jika tidak ada penurunan tarif resiprokal AS ke China dan penurunan tarif retaliasi China ke AS.
Pertanyaannya sekarang, apa yang harus dilakukan Indonesia di tengah Trade War 2.0 untuk memanfaatkan peluang investasi, seperti yang didapatkan Vietnam, Thailand dan Bangladesh pada periode Trade War 1.0?
Langkah pertama yang dapat dilakukan adalah mengakselerasi peningkatan efisiensi perekonomian nasional melalui investasi besar-besaran pada program R&D. Meningkatkan kapasitas R&D dalam negeri untuk melahirkan inovasi-inovasi baru.
Strategi investasi pada R&D sukses dilakukan oleh perusahaan telekomunikasi China, Huawei yang mendapat sanksi pembatasan akses teknologi tinggi untuk memproduksi peralatan telekomunikasi.
Saat ini, Huawei mampu menghasilkan teknologi telekomunikasi sendiri dengan biaya sangat murah. Bahkan, Huawei menjadi perusahaan telekomunikasi dengan pendaftaran paten tertinggi melampaui Mitsubishi, Intel dan lainnya.
Jangan Abaikan Pembenahan Teknologi
Langkah kedua, fokus pada akuisisi teknologi manufaktur yang lebih advance.
Program penelitian difokuskan pada pengembangan teknologi terbaru, seperti kecerdasan buatan (artificial inteligence/AI), robot pintar (smart robotic), otomatisasi, dan pemanfaatan big data yang akan meningkatkan efisiensi.
Langkah ketiga, menghindari ketergantungan teknologi terhadap negara tertentu.
Pemerintah dan sektor swasta nasional didorong mendiversifikasi sumber teknologi manufaktur melalui kerja-sama dengan banyak negara atau perusahaan dalam global tech hub.
Langkah keempat, memanfaatkan big data analysis untuk memahami preferensi konsumen, mengoptimalkan desain produk, dan mengenali secara spesifik kebutuhan pasar yang berbeda-beda di berbagai negara.
Hal ini menjadi modal untuk mencari pasar ekspor baru.
Langkah kelima, mentransformasi kelembagaan Dewan Ekonomi Nasional (DEN).
Mengintegrasikan fungsi productivity commission ke dalam DEN yang aktif melakukan riset dan memberikan masukan kepada pemerintah untuk meningkatkan produktifitas perekonomian nasional.
Baca Juga: TIPS KEBIJAKAN: Menyikapi Suku Bunga Fed dan Tarif Amerika-China
Hal ini mengingatkan kita pada Paul Romer, pemenang nobel ekonomi tahun 2018 dengan endogenous growth theory yang menyatakan bahwa kemajuan teknologi dan pertumbuhan produktivitas harus bersumber dari kekuatan internal suatu negara.
Keduanya tergantung pada kemampuan inovasi, kegiatan R&D, dan ketersediaan tenaga kerja terampil.
Kita bisa belajar dari productivity commission Australia yang sangat sukses mengakselerasi pertumbuhan produktivitas perekonomiannya (productivity growth) yang menjadi basis pertumbuhan ekonomi Australia dalam jangka panjang.***
Simak info kebijakan publik & geopolitik dunia di kanal Whatsapp dan Telegram TheStanceID.