TIPS KEBIJAKAN: Menyikapi Suku Bunga Fed dan Tarif Amerika-China
Peristiwa yang melawan siklus pelemahan ekonomi adalah kesepakatan tarif AS & China. Apa dampaknya bagi negara berkembang seperti Indonesia?

Oleh Muhammad Syarkawi Rauf, dosen Fakultas Ekonomi dan Bisnis (FEB) Universitas Hasanuddin, Ketua Komisi Pengawas Persaingan Usaha (KPPU) 2015-2018, pernah menjadi Direktur Utama BERDIKARI dan Komisaris Utama PT Perkebunan Nusantara (PTPN) VI/IX dan kini aktif sebagai Chairman of Asian Competition Institute (ACI).
Terdapat dua peristiwa yang mempengaruhi arah perekonomian global dalam dua minggu terakhir
Pertama, keputusan The Federal Reserve (Fed) bank sentral Amerika Serikat (AS) untuk mempertahankan suku bunga acuan (Federal Fund Rate/FFR) sebesar 4,25– 4,5%. Kedua, kesepakatan pelonggaran tarif impor antara China dengan AS.
Perubahan suku bunga acuan Fed menjadi sinyal bagi pelaku pasar mengenai arah perekonomian global, secara khusus Negara Pasar Baru (Emerging Market Economies/EMEs), seperti Indonesia.
Suku bunga Fed berdampak langsung terhadap likuiditas pasar keuangan, nilai tukar, harga saham, harga dan imbal hasil (yield) obligasi EMEs.
Pasalnya, peranan dolar AS dalam foreign exchange market sangat besar, yaitu transaksi over-the-counter (transaksi langsung) mencapai 88% dari total nilai US$200 triliun karena melibatkan dua mata uang secara bersamaan.
Euro mencapai 31% dari total transaksi. Sementara, transaksi over-the-counter mata uang utama lainnya, seperti Pound Sterling Inggris sekitar 13% dan Yen Jepang sebesar 17%. Sementara transaksi Renminbi sangat kecil, hanya 7%, sampai dengan 2023.
Hingga kini, penggunaan dolar AS dalam cadangan devisa bank sentral global juga sangat dominan. Sekitar 58% cadangan devisa global dinyatakan dalam dolar AS dan 23% dalam Euro. Hanya 4–6% dinyatakan dalam mata uang Renminbi, China.
Demikian juga dengan peran dolar AS dalam pembayaran internasional (international payment system) yang mencapai 47%, disusul Euro 23%. Sementara mata uang lain, seperti Renminbi, China hanya 4,3% pada tahun 2023.
Tiga Faktor di Balik Fed Fund Rate
Secara empiris, sejalan dengan penelitian Carlos Arteta dkk. (Bank Dunia, 2022), besar-kecilnya pengaruh perubahan FFR ke EMEs sangat tergantung pada beberapa faktor, salah satunya jenis tekanan eksternal yang mempengaruhi keputusan Fed.
Terdapat tiga jenis tekanan eksternal (external shock) yang selama ini menjadi pertimbangan Fed mengubah suku bunga acuan, yaitu: inflation shock, reaction shock dan real shock.
Inflation shock berkaitan dengan kesesuaian antara target inflasi Fed dan ekspektasi inflasi. Jika ekspektasi inflasi lebih tinggi dari target inflasi maka Fed akan lebih memilih menaikkan atau paling tidak mempertahankan suku bunga acuan.
Sebaliknya, jika target inflasi lebih kecil atau sama dengan ekspektasi inflasi maka Fed akan cenderung menurunkan suku bunga acuan.
Keputusan Fed pekan lalu, Rabu (7/5/2025) mempertahankan suku bunga acuan sebesar 4,25–4,5% lebih banyak disebabkan oleh tingginya ekspektasi inflasi paska pengumuman tarif tinggi oleh Presiden AS Donald Trump.
Ekspektasi inflasi AS akibat Trade War meningkat menjadi 2,7% tahun 2025. Kenaikan suku bunga Fed akibat tingginya ekspektasi inflasi (inflation shock) dan sentimen investor (reaction shock) memberikan dampak terbesar bagi EMEs.
Selanjutnya, reaction shock adalah memburuknya sentimen investor terhadap Fed. Di mana, investor memperkirakan bahwa Fed akan bersifat agresif dengan menaikkan FFR.
Langkah ini berdampak pada melemahnya kinerja ekonomi AS yang ditransmisikan ke EMEs melalui berbagai jalur, khususnya pasar uang.
Sementara, real shock adalah tekanan terhadap kenaikan suku bunga The Fed yang bersumber dari kegiatan ekonomi riil. Di mana, penguatan kegiatan ekonomi AS dapat menyebabkan peningkatan permintaan impor yang menguntungkan EMEs.
Kenaikan FFR karena real shock berdampak paling kecil terhadap EMEs.
Kesepakatan Tarif AS-China
Peristiwa kedua dalam seminggu terakhir yang bersifat counter cyclical atau melawan siklus pelemahan ekonomi adalah kesepakatan tarif antara AS dan China. Kedua negara sepakat menurunkan tarif resiprokal dari AS dan tarif retaliasi dari China.
Pemerintah AS sepakat menurunkan tarif impor kepada China dari 145% menjadi hanya 30%. Sementara, pemerintah China bersedia menurunkan tarif retaliasi dari 125% menjadi hanya 10%.
Kebijakan Fed dan kesepakatan tarif AS–China berdampak pada perkembangan harga saham global. Indeks S&P 500 mengalami kenaikan sebesar 3,2% dan indeks Nasdaq naik 4,3% (BBC, 9/05/24).
Namun demikian, ketidakpastian perekonomian global tetap tinggi karena pemerintahan Trump masih memberlakukan tarif impor 30% terhadap China, menunggu keseriusan China melaksanakan reformasi hambatan tarif dan non tarif.
Singkatnya, negara EMEs, khususnya Indonesia, akan menghadapi rezim suku bunga tinggi hingga tahun 2026.
Ekspektasi inflasi AS meningkat menjadi 2,7% tahun 2025 dan 2,2% tahun 2026, alias lebih besar dari target Fed sebesar 2%. Inflasi AS diproyeksikan lebih kecil dari target Fed pada 2030, yaitu 1,9%.
Hal ini memberikan sinyal bahwa BI akan bersikap sama, mempertahankan rezim suku bunga tinggi hingga tahun 2026.
Tujuannya mempertahankan suku bunga riil dikurangi premi risiko tetap positif sehingga menarik bagi investor portofolio berinvestasi di pasar modal Indonesia.
Baca Juga: TIPS KEBIJAKAN: Menjaga Rupiah di Tengah Memudarnya Peran Amerika
Untuk sementara, pilihan bernegosiasi menghadapi kebijakan tarif Trump terhadap Indonesia adalah strategi terbaik.
Bersamaan dengan itu, pemerintah Indonesia dapat mendorong inisiatif kerjasama regional ASEAN dengan menjadikan ASEAN intrai-industry trade atau ASEAN sebagai production based untuk secara bersama-sama penetrasi ke pasar AS.
Terakhir, gagasan ASEAN atau EAST ASIA currency union juga dapat dihidupkan kembali menghadapi perkembangan perdagangan dan keuangan global yang multipolar atau multikutub.
Pilihannya, Indonesia akan ikut dalam salah satu kutub atau mendorong ASEAN plus sebagai kutub baru dalam perdagangan global. Atau tidak di mana-mana.***
Simak info kebijakan publik & geopolitik dunia di kanal Whatsapp dan Telegram TheStanceID.