Pejuang Supremasi Hukum Pers; Pak Atma dalam Kenangan

Kepergian Pak Atma menandai berakhirnya tokoh generasi jurnalisme politik, yang tak sekadar memberitakan.

By
in Human of Change on
Pejuang Supremasi Hukum Pers; Pak Atma dalam Kenangan
Foto Atmakusumah Astraatmadja ketika menerima penghargaan pengabdian seumur hidup dari Ketua Dewan Pers Ninik Rahayu pada 2023 (Sumber: Dewan Pers)

Semarang, TheStanceID - Tahun 2025 diawali dengan kedukaan bagi insan pers Indonesia. Atmakusumah Astraatmadja yang akrab disapa Pak Atma telah pergi meninggalkan kita menuju keabadian pada Kamis (2/1/2025).

Kepergian Pak Atma menandai berakhirnya generasi jurnalisme politik, yang tak sekadar menulis dan memberitakan, tapi berjuang secara politis untuk menegakkan demokrasi dan supremasi hukum bagi insan pers.

Dia dikenal luas sebagai wartawan yang mendedikasikan hidupnya bagi kebebasan pers, etika jurnalisme dan kebebasan berpendapat. Juga dalam perannya sebagai Ketua Dewan Pers pertama di era Reformasi.

Sepanjang perjalanan hidupnya, Pak Atma menunjukkan bahwa profesi wartawan bukan sekadar kuli tinta, tetapi perjuangan di jalan pedang melawan kezaliman.

Dia memegang peran krusial sebagai wartawan yang turut merancang Undang-Undang Pers tahun 1999 dan memastikan rancangan tersebut sesuai dengan standar internasional.

Kehidupan Awal Sebagai Wartawan

Atmakusumah lahir di Labuhan, Banten, pada tahun 1938. Setelah menyelesaikan pendidikan menengah di Jakarta pada tahun 1957, ia bekerja sebagai wartawan di "Indonesia Raya" pada usia 19 tahun.

Pada tahun 1958, ia menulis sebuah feature tentang Mochtar Lubis, pendiri harian Indonesia Raya. Namun saat artikel masih dalam proses, beberapa perwira Polisi Militer mendatangi ruang redaksi dan minta agar tulisan tersebut disetop.

Beberapa bulan kemudian, militer memberedel Indonesia Raya. Peristiwa ini menjadi pengalaman pertamanya menghadapi sensor pers.

Atmakusumah melanjutkan pendidikannya di bidang penerbitan sambil bekerja sebagai penyiar radio di RRI. Ia kemudian bergabung dengan Duta Masyarakat sebagai wartawan.

Namun, ia kembali menghadapi tekanan dari sensor militer terkait tulisannya tentang film, yang membuat media tersebut terancam akan dibredel.

Dalam kebingungannya, Atmakusumah bertanya kepada Mahbub Djunaidi, editor Duta Masyarakat: apakah ia sebaiknya meninggalkan Indonesia? Mahbub pun menganjurkan Atmakusumah untuk pergi ke luar negeri.

Merantau ke Australia dan Eropa

Berawal dari pembredelan itulah, pada Desember 1961, saat baru berusia 23 tahun, Atmakusumah merantau ke Melbourne untuk bekerja selama 3 tahun di Radio Australia divisi Indonesia.

Di Melbourne, ia menyewa tempat tinggal dari beberapa keluarga Australia dengan latar belakang berbeda, mulai dari keturunan Yahudi-Inggris, Yahudi-Hungaria, hingga Yahudi-Polandia.

Melbourne, yang menjadi salah satu kota di Australia dengan populasi Yahudi terbesar, banyak dihuni oleh mereka yang melarikan diri dari penindasan di Eropa selama Perang Dunia II.

Selama tinggal di Melbourne itulah, Atmakusumah berkenalan dengan berbagai orang dari beragam latar belakang dan suku bangsa, termasuk keturunan Indonesia yang telah menetap di sana sejak sebelum Perang Dunia II.

Setelah kontraknya di Radio Australia berakhir pada tahun 1964, Atmakusumah memutuskan menjelajahi Eropa selama lebih dari 1 tahun dengan mengendarai Vespa.

Di tengah perjalanannya, ia sempat kehabisan uang dan bekerja selama 10 bulan di harian Deutsche Welle, yang berbasis di Köln, Jerman Barat.

Mudik dan Menghadapi Huru-Hara

Pada pertengahan 1965, ia kembali ke Jakarta dan bekerja di kantor berita Antara, yang kala itu suasana meja redaksinya sedang tidak kondusif, dipenuhi gesekan antarkelompok.

Ia melewati masa sulit yang penuh dengan ketegangan politik antara 1965-1968, termasuk ketika terpaksa memberhentikan sejumlah wartawan Antara yang dianggap "kiri" atau pendukung Soeharto.

Pada tahun 1968, Mochtar Lubis mengajak Atmakusumah untuk kembali membangkitkan harian Indonesia Raya setelah 10 tahun dibredel. Atmakusumah setuju dan menjabat sebagai redaktur pelaksana.

Dua tahun kemudian, pada 1970, ia menikahi Sri Rumiati, kepala perpustakaan Indonesia Raya, yang terkesan dengan keberanian Atmakusumah membela dua wartawan yang dituduh "kiri" setelah menerbitkan berita tentang "kecelakaan lalu lintas yang melibatkan mobil perwira militer" pada tahun 1969.

Namun pada 1974, Indonesia Raya kembali dibredel. Atmakusumah masuk dalam daftar hitam wartawan, yang membuatnya tidak dapat menjadi redaktur maupun menulis dengan namanya sendiri.

Ia pun kehilangan kesempatan untuk bekerja sebagai jurnalis. Beruntung, istrinya tetap bekerja sebagai pustakawan, membantu menopang keluarga mereka di tengah situasi yang sulit.

Atmakusumah lantas mencoba peruntungan di bisnis anggrek dan peternakan ayam, tetapi gagal.

Ia kemudian diterima bekerja di Kedutaan Besar Amerika Serikat (AS), mengelola program United States Information Service (USIS), termasuk menerbitkan majalah Titian.

Pekerjaan ini ia jalani hingga awal 1990-an, sebelum memulai karier baru sebagai pengajar jurnalisme di Lembaga Pendidikan Pers Dr. Soetomo (LPDS), Jakarta.

Menyusun UU Pers

Pada tahun 1994, Atmakusumah bergabung menjadi anggota Persatuan Wartawan Indonesia (PWI) yang secara terbuka memprotes pembredelan tiga majalah mingguan: Detik, Editor, dan Tempo.

Aksi ini menandai kembalinya Atmakusumah ke perjuangan membela kebebasan pers, kali ini dengan sikap tegas. Pembredelan media pada tahun 1994 pun berbeda dari sebelumnya, karena memicu perlawanan massif dari wartawan dan masyarakat sipil.

Puluhan wartawan muda merespons peristiwa ini dengan mendirikan Aliansi Jurnalis Independen (AJI) pada 7 Agustus 1994.

Pada 1998, setelah Presiden Soeharto mundur, Atmakusumah aktif dalam reformasi hukum pers di Indonesia. Ia ikut menulis draf Undang-Undang Pers tahun 1999, turut mendirikan Dewan Pers, dan ditunjuk sebagai ketua pertama Dewan Pers.

Dua tahun kemudian Atmakusumah dianugerahi Penghargaan Ramon Magsaysay untuk Jurnalisme, Sastra, dan Seni Komunikasi Kreatif, yang disampaikan oleh The Ramon Magsaysay Award Foundation di Manila pada 31 Agustus 2000.

Penghargaan ini menjadi afirmasi atas perjuangannya selama 4 dekade dalam meningkatkan mutu jurnalisme dan memperjuangkan kebebasan pers di Indonesia.

Sebagai seorang penulis dan kolumnis, karya-karya Atmakusumah telah dipublikasikan di berbagai media terkemuka, baik di dalam maupun luar negeri seperti di majalah Reflexie yang berbasis di Den Haag, Belanda.

Terakhir, dia mendapat Penghargaan Pengabdian Seumur Hidup (Lifetime Achievement Award) dari Ketua Dewan Pers Ninik Rahayu pada 2023 lalu. (mfp)


Untuk menikmati berita cepat dari seluruh dunia, ikuti kanal TheStanceID di Whatsapp dan Telegram.

\