Obituari: Mengenang Kwik Kian Gie
Reformasi tidak serta-merta mengubah keberanian Kwik. Ia tetap menjadi suara yang kritis, bahkan ketika diberi tanggung jawab dalam pemerintahan. Jabatan tak pernah menghalangi integritas dan independensinya. Salah satu warisan pemikirannya yang paling kuat adalah soal kedaulatan ekonomi.

Oleh Didik J. Rachbini, tokoh Partai Amanat Nasional (PAN) yang pernah menjabat sebagai anggota Komisi VI Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) masa bakti 2004-2009. Kini menjabat sebagai Rektor Universitas Paramadina dan aktif sebagai ekonom senior Institute for Development of Economics and Finance (Indef).
Indonesia kehilangan salah satu putra terbaiknya: Kwik Kian Gie.
Seorang ekonom intelektual, tokoh publik, dan pemikir independen, wafat dalam usia yang matang dengan meninggalkan jejak pemikiran yang tajam, keberanian moral yang kuat, serta warisan perjuangan untuk kedaulatan ekonomi Indonesia.
Saya mengenal almarhum bukan hanya sebagai kolega dalam dunia pemikiran, tetapi juga sebagai figur yang berani mengambil jalan sunyi, berdiri tegak di luar kekuasaan ketika banyak cendekiawan lain memilih jalan yang lebih nyaman.
Pada dekade 1980-an, ketika jumlah kaum intelektual ekonomi di Indonesia masih sangat terbatas, Kwik sudah menempuh pendidikan tinggi di salah satu pusat pemikiran ekonomi dunia—Nederlandse Economische Hogeschool di Rotterdam (kini Erasmus University).
Kepulangan beliau ke Tanah Air menjadi suluh yang menerangi ruang-ruang diskusi kebijakan ekonomi melalui tulisan-tulisan yang tajam di berbagai media massa.
Saat itu, suaranya sangat berpengaruh dan menjadi bagian penting dalam membentuk kesadaran publik tentang ekonomi nasional.
Memasuki era 1990-an, ketika sebagian besar ekonom memilih merapat ke dalam lingkar kekuasaan Orde Baru, Kwik tetap berada di luar.
Ia memainkan peran check and balances secara informal.
Memberikan Kritik dan Ide Alternatif
Bersama beberapa ekonom lain seperti Sjahrir, Rizal Ramli, Dorodjatun, Hendra Esmara, Nuriman Hasibuan, Rijanto, dan saya—ia ada di dalam Kelompok Ekonom 30 tahun 1990-an yang rajin mengisi ruang publik dengan kritik dan gagasan alternatif.
Sayangnya, sebagian dari kelompok itu kini telah berpulang, dan kini, Kwik pun menyusul mereka.
Reformasi tidak serta-merta mengubah keberanian Kwik. Ia tetap menjadi suara yang kritis, bahkan ketika diberi tanggung jawab dalam pemerintahan.
Ia pernah menjabat sebagai Menteri Perencanaan Pembangunan Nasional/Kepala Bappenas (1999–2000) di masa Presiden Abdurrahman Wahid dan kemudian sebagai Menko Ekuin (2001) di bawah Presiden Megawati Soekarnoputri.
Namun jabatan tak pernah menghalangi integritas dan independensinya. Salah satu warisan pemikirannya yang paling kuat adalah soal kedaulatan ekonomi.
Kwik secara konsisten mengingatkan bangsa ini agar tidak tunduk pada kekuatan asing dan tidak menjadi subordinat Dana Moneter Internasional (International Monetary Fund/IMF) atau jebakan utang luar negeri.
Ia menolak dominasi konglomerasi rente yang menyandera negara melalui lisensi dan koneksi kekuasaan. Ia bahkan berani menyebutnya sebagai konglomerat hitam yang menyandera ekonomi bangsa.
Baca Juga: Yai Imam Aziz, Ulama di Simpang Kiri Jalan
Pandangan Kwik soal BUMN juga sangat penting untuk dicatat. Baginya, BUMN bukan sekadar entitas bisnis, tetapi merupakan separuh ekonomi bangsa yang bersifat strategis.
Maka ketika hari ini kita berbicara tentang Danantara, kita wajib menyadari bahwa kegagalan dalam mengelola BUMN bukan sekadar kegagalan manajerial, tapi kegagalan dalam menjaga kedaulatan ekonomi kita sendiri.
Selamat jalan, Kwik Kian Gie. Terima kasih atas teladan keberanian, ketegasan intelektual, dan cinta tanah air yang tidak pernah surut.
Semoga Allah SWT memberi tempat terbaik bagi beliau, dan bangsa ini tak lupa akan suara kritis yang pernah menyelamatkannya.***
Simak info publik, kebijakan & geopolitik dunia di kanal Whatsapp dan Telegram The Stance.