Senin, 04 Agustus 2025
Term of Use Media Guidelines

Pemerintah Diminta Lebih Tegas Atasi Perusakan Rumah Ibadah

Perusakan rumah doa umat Kristen terjadi di Padang, Sumatra Barat.. Dua anak luka-luka akibat dipukul massa yang berusaha mengusir mereka. Pemerintah dinilai cenderung permisif.

By
in Headline on
Pemerintah Diminta Lebih Tegas Atasi Perusakan Rumah Ibadah
Ilustrasi Intoleransi

Jakarta, TheStanceID – Perlindungan negara atas hak dan kebebasan beragama di Indonesia kembali jadi sorotan setelah aksi penyerangan rumah doa Kristen di Koto Tengah, Padang, Sumatera Barat, Minggu (27/07/2025).

Dua anak luka-luka akibat dipukul kerumunan massa yang berupaya mengusir mereka.

Kepolisian menyatakan telah menahan sembilan orang terduga pelaku perusakan di rumah doa tersebut.

Kronologi Penyerangan

GKSI

Pendeta Gereja Kristen Setia Indonesia (GKSI) Anugerah Padang, F Dachi, menceritakan kejadian berlangsung tiba-tiba. Saat itu ia sedang duduk bersama beberapa orang di teras rumah doa tersebut.

"Saat itu datang bapak RT dan pak Lurah. Mereka memanggil saya dan membawa saya ke belakang," katanya.

"Salah satu diantara mereka menyatakan untuk bubarkan dan hentikan kegiatan. Lalu terjadilah insiden itu," katanya.

Beberapa warga berdatangan membawa kayu, melempar batu, membawa pisau, dan bersorak "bubarkan" ke arah rumah doa itu.

Dachi menambahkan, beberapa orang kemudian memukul jendela kaca menggunakan kayu, melempar kursi, serta merusak barang-barang di dalam rumah.

Puluhan anak-anak yang sedang belajar agama Kristen di dalam rumah doa itu pun langsung histeris dan berlarian keluar. Dua anak berusia 11 tahun dan 9 tahun menjadi korban pemukulan.

"Yang satu kakinya cedera dan tidak bisa jalan karena dipukul dengan kayu. Satu lagi bagian bahunya juga dipukul dengan kayu. Keduanya sudah dibawa ke rumah sakit," kata Dachi.

Polisi Tahan 9 Orang Pelaku Penyerangan

tersangka intoleransi

Wakil Kepala Kepolisian Daerah Sumatera Barat, Brigjen Pol Solihin, mengatakan telah menahan sembilan orang terduga pelaku perusakan di rumah doa tersebut.

"Sampai saat ini kami sudah mengamankan sembilan orang yang diduga melakukan pengrusakan itu," kata Wakapolda Sumbar, Brigjen Pol Solihin dalam keterangannya, Senin (28/7/2025).

Para pelaku ditangkap usai tim dari Polresta Padang mendapati laporan dari masyarakat dan mendatangi lokasi untuk melakukan olah Tempat Kejadian Perkara (TKP).

"Yang sudah kita amankan sembilan orang, tentunya akan berkembang lagi. Sembilan orang ini sesuai dengan apa yang ada di video," ujarnya.

Solihin menegaskan pihaknya akan menindak tegas segala bentuk tindakan intoleransi antar umat beragama. Ia menyebut hal itu juga sebagai komitmen Polda Sumbar untuk menjaga kerukunan antar umat beragama.

"Tidak ada ruang bagi pelaku intoleransi di wilayah Sumatera Barat. Kami akan menindak tegas dan memproses hukum para pelaku sesuai aturan yang berlaku," jelasnya.

Kasus Intoleransi Masih Kerap Terjadi

vila retret

Sebagai catatan, kasus penyerangan rumah doa di Padang ini terjadi hanya sebulan setelah insiden serupa di Sukabumi. Saat itu sekelompok orang membubarkan dan merusak tempat retret pelajar Kristiani pada 27 Juni lalu.

Ketika itu, vila di Cidahu, Sukabumi, Jawa Barat itu dirusak sejumlah warga saat sekelompok anak dan remaja yang beragama Kristen tengah menjalani retret saat libur sekolah.

Sebanyak tujuh orang yang merupakan warga Desa Tangkil, Cidahu, Sukabumi, telah ditetapkan menjadi tersangka.

Para pelaku penyerangan membubarkan paksa acara tersebut dengan alasan rumah singgah atau vila itu tidak memiliki izin sebagai tempat ibadah.

Berdasarkan catatan Setara Institute, sepanjang 2014-2024 telah terjadi 1.998 peristiwa dan 3.217 tindakan pelanggaran Kebebasan Beragama dan Berkeyakinan.

Pada 2024, tiga tindakan pelanggaran yang kerap terjadi adalah intoleransi oleh masyarakat sebanyak 73 kejadian, tindakan diskriminatif oleh negara sebanyak 50 peristiwa, dan gangguan tempat ibadah tercatat 42 kasus.

Sikap Diam Pemerintah Jadi Angin Segar Aksi Intoleransi

Halili Hasan

Direktur Eksekutif SETARA Institute, Halili Hasan, mengatakan tindakan perusakan rumah doa Gereja Kristen Setia Indonesia (GKSI) di Koto Tangah, Padang, Sumatera Barat, tidak dapat dibenarkan dan nyata-nyata merupakan tindak kriminal yang melanggar hukum dan konstitusi.

"SETARA Institute mengecam keras terjadinya pelanggaran KBB (kebebasan beragama/berkeyakinan), intoleransi, dan kekerasan terhadap kelompok minoritas di Padang tersebut," kata Halili dalam keterangan tertulis yang diterima TheStanceID, Senin (28/7/2025).

SETARA juga mendesak pemerintah daerah setempat tidak permisif dan mensimplifikasi persoalan intoleransi dan kekerasan itu sebagai kesalahpahaman.

Menurut Halili, pemerintah harus mengatasi persoalan intoleransi dan pelanggaran KBB dari akar persoalan. Dia melihat selama ini Pemerintah Pusat cenderung diam.

Menurutnya, Presiden, Menteri Agama, Menteri Dalam Negeri, Badan Pembinaan Ideologi Pancasila (BPIP), dan Kementerian/Lembaga terkait tidak menunjukkan kepedulian dan keberpihakan pada korban.

Ia khawatir, diamnya Pemerintah dapat dibaca oleh kelompok intoleran sebagai 'angin segar' yang mendorong mereka untuk mengekspresikan intoleransi, bahkan dengan penggunaan kekerasan.

"Dalam konteks itu, intoleransi akan mengalami penjalaran dan merusak kohesi sosial, modal sosial, serta stabilitas sosial dalam tata kebinekaan Indonesia," katanya.

Respon Pemerintah

Muhammad Adib Abdushomad

Kepala Pusat Kerukunan Umat Beragama (PKUB) Kementerian Agama, Muhammad Adib Abdushomad, mengatakan kementeriannya tengah menyiapkan regulasi khusus yang mengatur keberadaan dan tata kelola rumah doa.

Dirinya berharap regulasi ini bisa jadi panduan bersama agar insiden penyerangan rumah ibadah seperti yang terjadi di Sukabumi, Jawa Barat dan Padang, Sumatera Barat, tidak terulang.

Kemenag memandang perlu menerbitkan regulasi karena selama ini belum ada pengaturan eksplisit mengenai rumah doa dalam Peraturan Bersama Menteri (PBM) Nomor 9 dan 8 Tahun 2006.

PBM selama ini menjadi rujukan pendirian rumah ibadat di Indonesia. Dalam PBM tersebut, hanya disebutkan tempat ibadah seperti masjid, gereja, pura, wihara, dan klenteng.

Rumah doa yang bersifat privat atau digunakan terbatas belum diatur. Dalam praktiknya ia kerap digunakan sebagai ruang ibadah, namun tidak memiliki payung hukum yang jelas.

“Ini menimbulkan dilema: di satu sisi merupakan ekspresi keagamaan yang dijamin oleh konstitusi, namun di sisi lain karena wilayah internum beribadah tersebut “ekpresinya bersinggungan” dan berdampak di ruang publik (wilayah eksternum). Maka memang harus ada kearifan dalam pelaksanaannya dan memang jenis rumah do’a ini belum memiliki prosedur formal yang bisa dijadikan acuan,” jelas Adib, dikutip dari laman resmi Kemenag, Selasa (1/7/2025).

Baca Juga: Rekam Jejak Seksis Gus Miftah Terungkap, Publik Tunggu Sikap Prabowo

Menurut Adib, aturan tentang rumah doa yang sedang digodok akan mengatur beberapa hal mendasar, termasuk definisi, klasifikasi, prosedur pelaporan, mekanisme mediasi, serta hubungan rumah doa dengan lingkungan sekitar.

Diharapkan regulasi ini bisa menjadi solusi di tengah dinamika masyarakat yang semakin majemuk secara keagamaan.

“Kami menyesalkan terjadinya kekerasan dalam bentuk apa pun atas nama keberatan keagamaan. Regulasi ini disiapkan agar persoalan bisa diselesaikan dalam koridor hukum dan dialog, bukan reaksi spontan yang merusak kerukunan,” kata Adib. (est)

Simak info publik, kebijakan & geopolitik dunia di kanal Whatsapp dan Telegram The Stance.

\