Jakarta, TheStance – Mahkamah Konstitusi (MK) resmi membatalkan Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2016 tentang Tabungan Perumahan Rakyat (Tapera) melalui putusan 96/PUU-XXIII/2025 yang dibacakan pada Senin (29/9/2025).
Dalam amar putusannya, Mahkamah menyatakan UU Tapera harus diubah karena bertentangan dengan UUD 1945.
"Mengadili, satu, mengabulkan permohonan Pemohon untuk seluruhnya. Dua, menyatakan UU No 4 Tahun 2016 tentang Tabungan Perumahan Rakyat (Lembaran NRI Tahun 2016 No 56, tambahan lembaran NRI nomor 5863) bertentangan dengan UUD NRI Tahun 1945 dan tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat sepanjang tidak dilakukan penataan ulang sebagaimana amanat Pasal 124 UU No 1 Tahun 2011 tentang Perumahan dan Kawasan Permukiman," kata ketua hakim MK Suhartoyo saat membacakan amar putusan di Mahkamah Konstitusi, Jakarta Pusat, Senin (29/9/2025).
Gugatan UU Tapera ini dilayangkan oleh sejumlah pihak termasuk kalangan serikat pekerja yang meminta agar MK menghapus kata "wajib" dalam Pasal 7 Ayat 1 Undang-Undang Tapera dan mengubahnya menjadi 'dapat' yang bersifat opsional.
"Setiap Pekerja dan Pekerja Mandiri yang berpenghasilan paling sedikit sebesar upah minimum wajib menjadi Peserta," demikian bunyi pasal tersebut.
Frasa wajib itu, menurut para penggugat, hanya menambah beban finansial sementara tak ada jaminan mereka bakal mendapatkan rumah.
Pertimbangan MK: Iuran Wajib Bebani Pekerja
Dalam pertimbangannya, Hakim Konstitusi Saldi Isra mengatakan bahwa kata "wajib" dalam Pasal 7 Ayat 1 UU Tapera akan menjadi beban bagi pekerja, terutama bagi mereka yang baru terkena pemutusan hubungan kerja (PHK).
Karena telah jelas dalam pasal selanjutnya terdapat sanksi administratif bagi pekerja atau pemberi kerja yang tidak mendaftarkan diri sebagai peserta Tapera, seperti pembekuan izin usaha dan pencabutan izin usaha.
"Sehingga berpotensi mendegradasi kehidupan sosial-ekonomi yang semakin menjauhkan negara dalam upaya mewujudkan amanat Pasal 34 Ayat (1) UUD NRI Tahun 1945, yang berdampak pada kehidupan ekonomi pekerja maupun pemberi kerja," kata Saldi dalam sidang.
Begitu juga dengan cakupan pekerja yang diwajibkan menjadi peserta Tapera dalam Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 25/2020.
Disebutkan bahwa peserta wajib dalam UU Tapera mencakup calon Pegawai Negeri Sipil (PNS), Tentara Nasional Indonesia (TNI), polisi, pejabat negara, dan pekerja baik di Badan Usaha Milik negara (BUMN), swasta, maupun pekerja lepas.
"Artinya, siapa pun yang bekerja dan menerima gaji atau upah wajib menjadi peserta Tapera," ucapnya. Atas dasar ini, MK mengabulkan permohonan pemohon dan menegaskan bahwa keseluruhan UU Tapera bertentangan dengan UUD 1945.
Ubah Sifat Tabungan dari Sukarela jadi Memaksa
Dalam pertimbangan lainnya, MK menilai Tapera telah menggeser makna konsep tabungan yang sejatinya bersifat 'sukarela' menjadi pengutang yang bersifat 'memaksa.'
Hakim MK Saldi Isra menyebutkan tabungan seyogianya adalah bentuk kerja sama dan ada unsur kesukarelaan serta persetujuan yang menjadi fondasi penting penyimpanan dana.
"Sementara Tapera adalah penyimpanan yang dilakukan oleh peserta secara periodik dalam jangka waktu tertentu yang hanya dapat dimanfaatkan untuk pembiayaan perumahan dan/atau dikembalikan berikut hasil pemupukannya setelah kepesertaan berakhir," kata Saldi.
Menurut Saldi, istilah "tabungan" menjadi rancu karena Tapera memiliki sifat yang memaksa.
Sedangkan, pungutan yang bersifat memaksa, seperti pajak, secara konstitusional diatur dalam Pasal 23A UUD 1945, yaitu terkait pajak dan pungutan lain yang bersifat memaksa untuk keperluan negara.
"Oleh karena itu, Mahkamah menilai Tapera telah menggeser makna konsep tabungan yang sejatinya bersifat sukarela menjadi pungutan yang bersifat memaksa sebagaimana didalilkan para pemohon," tuturnya.
Atas pertimbangan ini, MK akhirnya mengabulkan permohonan pemohon agar Tapera tak menjadi hal yang diwajibkan bagi pekerja swasta. Selain itu, kewajiban membayar iuran Tapera yang sedianya bakal diberlakukan pada 2027 juga dipastikan batal.
Adapun untuk kebijakan yang telah berjalan seperti kewajiban iuran untuk ASN, TNI, dan Polri, MK memberikan tenggat 2 tahununtuk menata ulang kebijakan tersebut, setelah UU Tapera dinyatakan bertentangan dengan UUD 1945.
"Menyatakan Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2016 tentang Tabungan Perumahan Rakyat (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2016 Nomor 55, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5863) dinyatakan tetap berlaku dan harus dilakukan penataan ulang dalam waktu paling lama 2 (dua) tahun sejak putusan a quo diucapkan," kata Suhartoyo.
Satu Pasal yang Picu Penolakan
Untuk diketahui, aturan Tapera untuk pekerja swasta tertuang dalam Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 21 Tahun 2024 tentang Perubahan Atas PP Nomor 25 Tahun 2020 Tentang Penyelenggaraan Tabungan Perumahan Rakyat pada 20 Mei 2024.
PP No.21 tahun 2024 ini merupakan turunan dari Undang-Undang 4 tahun 2016 tentang Tabungan Perumahan Rakyat atau UU Tapera.
Pasal 15 ayat 1 PP 21/2024 dijelaskan bahwa besaran simpanan peserta yang ditetapkan sebesar 3% dari gaji atau upah peserta. Hal inilah yang kemudian banyak disorot dan mendapat banyak penolakan dari masyarakat maupun pengusaha.
Perinciannya, iuran pekerja ditanggung bersama: pemberi kerja sebesar 0,5 dan pekerja menanggung beban iuran 2,5% dari gaji. Besaran iuran simpanan peserta bagi pekerja mandiri akan sepenuhnya ditanggung sendiri yakni sebesar 3%.
Penarikan iuran kepada pelaku swasta baru akan dibebankan 7 tahun setelah PP 25/2020 resmi diteken atau berlaku mulai 2027.
Hal itu juga dijelaskan dalam Pasal 68 yang menegaskan bahwa pemberi kerja untuk Pekerja sebagaimana dimaksud dalam Pasal 7 huruf i (pekerja swasta) mendaftarkan Pekerjanya kepada BP Tapera paling lambat 7 tahun sejak berlakunya PP tersebut.
Aturan yang mewajibkan pekerja swasta menjadi peserta Tapera itu pun sempat diprotes kalangan pekerja karena akan semakin membebani para pekerja.
Kali Ini Pekerja dan Pengusaha Kompak
Menanggapi putusan MK yang menyatakan Tabungan Perumahan Rakyat (Tapera) tidak wajib diikuti oleh pekerja, Presiden Konfederasi Serikat Pekerja Indonesia (KSPI) Said Iqbal menyambut gembira putusan MK tersebut.
Dia menilai, putusan MK atas uji materi Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2016 tentang Tabungan Perumahan Rakyat (UU Tapera) itu sudah tepat karena iuran Tapera membebani para pekerja.
“Keputusan tersebut sudah benar karena iuran Tapera membebani buruh yang sudah banyak potongan gaji untuk membayar iuran lainnya,” kata Said Iqbal dalam keterangannya, Senin (29/9/2025).
Apalagi, kata Said Iqbal, pada dasarnya keikutsertaan buruh dalam Tapera tidak menjamin bahwa buruh akan mendapatkan kepastian memiliki rumah.
Penolakan terhadap Tapera juga disampaikan kalangan pengusaha. Ketua Umum Asosiasi Pengusaha Indonesia (Apindo), Shinta W. Kamdani mengatakan telah menyampaikan keberatan terkait iuran Tapera yang bakal mempersulit pelaku usaha.
Pasalnya, beban pungutan terkait pekerja yang ditanggung pengusaha saat ini mencapai 18,24% hingga 19,75% yang mencakup Jamsostek, JHT, jaminan kematian, kecelakaan kerja, pensiun, jaminan sosial kesehatan, dan lainnya.
Pengamat perumahan Institut Teknologi Bandung (ITB) Muhammad Jehansyah Siregar menilai putusan MK ini sangat adil karena Tapera mengabaikan urgensi kebutuhan dasar pekerja yakni kesehatan dan pensiun, dan bukannya tabungan rumah.
"Pekerja sudah dibebani iuran yang lebih mendesak; Tapera justru menambah beban tanpa jaminan manfaat langsung," ujar Jehansyah dalam keterangannya, Senin (29/9/2025).
RI Belum Punya Sistem Perumahan Terpadu
Ini bukan sekadar soal finansial, kata Jehansyah, melainkan pengakuan atas ketidakadilan sistemik. "Buruh bukan ATM berjalan. Pemerintah harus prioritaskan program yang langsung berdampak, bukan tabungan yang baru cair setelah 10-20 tahun."
Hal ini merujuk pada data Badan Pusat Statistik (BPS) dimana angka backlog perumahan nasional mencapai 12,7 juta unit pada 2025, tapi hanya 20% yang tersedia untuk Masyarakat Berpenghasilan Rendah (MBR).
Oleh karena itu, tanpa reformasi suplai, Tapera hanya akan jadi "hantu" yang mengumpulkan dana Rp20 triliun sejak 2018 tanpa menyentuh akar masalah.
Menurut Jehansyah, butuh undang-undang baru yang mengintegrasikan Tapera dengan developer publik, seperti halnya Housing and Development Board (HDB Act) di Singapura.
Tanpa itu, Tapera sukarela berisiko gagal total, karena hanya 20% pekerja yang mau menabung tanpa insentif kuat.
"Putusan MK ini alarm merah karena Indonesia tak bisa meniru Central Provident Fund (CPF) Singapura tanpa meniru ekosistemnya. Singapura sukses karena mulai dari nol dengan visi terpadu, bukan iuran tinggi di negara miskin," imbuh Jehansyah.
Selain itu, pemerintah juga harus memprioritaskan membangun pengembang nasional untuk suplai massal, mengintegrasikan Tapera dengan FLPP via undang-undang baru, menaikkan upah minimum agar iuran tak memiskinkan.
"Jika tidak, backlog perumahan akan jadi bom waktu sosial. Singapura kaya karena rumah dulu, bukan sebaliknya. Indonesia? Saatnya belajar, bukan iri," pungkasnya.
Nasib Tapera Usai Dibatalkan MK
Sementara itu, Komisioner Badan Pengelola Tabungan Perumahan Rakyat (BP Tapera), Heru Pudyo Nugroho, menyebutkan bahwa pihaknya menghormati segala putusan yang ditetapkan MK.
"Ya kita menghormati putusan MK, nanti akan kita lakukan kajian lah pasti. Bagaimana supaya Tapera ini bisa berjalan, tapi tidak menjadi beban bagi rakyat, bagi masyarakat," kata Heru di Cileungsi, Bogor, Senin (29/9/2025).
Pihaknya akan berkoordinasi dengan Kementerian Perumahan dan Kawasan Permukiman (PKP), karena UU Tapera merupakan produk inisiatif kementerian teknis terkait saat itu yakni Kementerian Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat (PUPR).
Lebih lanjut, dirinya akan merumuskan sejumlah konsep pembiayaan kreatif. Salah satunya, Tabungan Perumahan Rakyat akan diusulkan untuk mendapat pendanaan dari proyek investasi.
Saat ini, BP Tapera tengah mengupayakan berbagai creative financing yang bisa dilakukan. Salah satu strateginya adalah perluasan skema fasilitas likuiditas pembiayaan perumahan (FLPP).
"Bisa jadi ini perluasan skema FLPP yang saat ini kita kelola atas pemerintah, ataupun skema berbasis investasi, tapi kan tentu aturannya harus kita sesuaikan dulu," ujarnya.
Baca Juga: Pernah Gagal, Program 1.000 Rumah Subsidi Ditolak Asosiasi Jurnalis
Heru memastikan, dengan putusan MK tersebut, maka iuran Tapera yang semula akan ditarik mulai 2027 batal dijalankan. Namun, ia belum dapat memastikan apakah iuran Tapera itu akan tetap berlaku bagi PNS ataupun ASN.
"Tentu kita harus lihat dulu ya, konteks dari pasca putusan MK ini seperti apa nantinya, ke implementasi Undang-Undang No.4 Tahun 2016 tentang Perumahan Rakyat. Kalau konteksnya sukarela, tentu harus ada upaya untuk membuat satu skema tabungan sukarela, tapi benefitnya jelas," tambahnya.
Sebelumnya, Heru menjelaskan bahwa tujuan utama pemerintah ingin menjalankan program Tapera ialah untuk menekan angka ketimpangan pemilikan rumah atau backlog perumahan yang dilaporkan mencapai 9,95 juta.
Sementara kemampuan pemerintah untuk menyediakan rumah sangat terbatas. Oleh karena itu, dia menilai implementasi Tapera bakal menjadi salah satu jalan yang mampu mengentaskan ketimpangan tersebut. (est)
Simak info publik, kebijakan & geopolitik dunia di kanal Whatsapp dan Telegram The Stance