Megathrust Mengintai, Skema Asuransi Bencana untuk Rakyat Belum Ada
Pemerintah rajin kampanye soal bahaya Megathrust. Tapi untuk urusan asuransi bencana? Santai sekali.

Jakarta, TheStanceID - Di tengah gegap-gempita kampanye pemerintah terkait kewaspadaan bencana Megathrust, sampai detik ini belum ada konsep asuransi bencana yang efektif untuk melindungi seluruh masyarakat tatkala bencana itu menerpa.
Terakhir Indonesia mengalami bencana besar, berskala nasional, ketika virus SARS-CoV-2 menyebar dari sebuah pesta dansa di sebuah kafe di bilangan Kemang, Jakarta Selatan, pada awal Maret 2020.
Bencana tersebut menewaskan 162.063 orang, menurut Worldometers terakhir (per 13 April 2024). Amerika Serikat (AS) menjadi negara dengan korban tewas terbanyak yakni 1,2 juta orang, disusul India (533.570 orang).
Dari aspek ekonomi, kerugian bencana Covid-19 tidaklah tidak sedikit.
Pialang asuransi Howden, pada Februari 2022, melaporkan nilai kerugian global yang diasuransikan akibat dampak COVID-19 mencapai US$44 miliar atau Rp682 triliun (kurs Rp15.500/US$).
Menurut Howden, dilansir Reuters, angka ini adalah biaya terbesar ketiga dalam sejarah asuransi bencana, setelah Badai Katrina (2005) dan Serangan 9/11 (2001).
Di Indonesia, bencana Covid-19 menyedot anggaran negara Rp1.645 triliun selama 2020 hingga 2022 untuk dana Pemulihan Ekonomi Nasional (PEN), mengacu pada catatan Kementerian Keuangan.
Sebagai negara yang rawan bencana, beban anggaran tersebut bukanlah yang terakhir. Menurut Bank Dunia, Indonesia masuk peringkat 12 dari 35 negara di dunia yang berisiko tinggi terhadap korban jiwa dan kerugian ekonomi akibat bencana.
Sepanjang 2023 saja, Buku Data Bencana Indonesia mencatat 5.400 bencana di Tanah Air: 99,35% terkait hidrometeorologi (badai siklon tropis, badai petir, badai es, tornado, curah hujan ekstrem, banjir, dll) dan sisanya 0,65% terkait geologi.
Ini persoalan serius secara fiskal.
Sekadar mengingatkan, tragedi gempa dan tsunami Aceh di 2004 menyebabkan kerusakan dan kerugian ekonomi mencapai Rp51,4 triliun (US$3,5 miliar).
Berapa kemampuan APBN mengalokasikan dana penanggulangan risiko bencana? Cuma Rp3 triliun-Rp10 triliun per tahun.
Strategi Kemenkeu
Kementerian Keuangan (Kemenkeu) melalui Badan Kebijakan Fiskal (BKF) sejak tahun 2018 menyusun Strategi Pembiayaan dan Asuransi Risiko Bencana (PARB) atau Disaster Risk Financing and Insurance (DRFI) Strategy.
Setidaknya ada dua skema penganggaran bencana yang disiapkan yakni Pooling Fund Bencana (PFB) dan Asuransi BMN (Barang Milik Negara).
Pertama, PFB dengan mengumpulkan, mengakumulasi, dan menyalurkan dana khusus bencana oleh lembaga pengelola dana. Pada 2020, Indonesia meraih utang US$500 juta (Rp7,8 triliun) dari Asian Development Bank (ADB) untuk dana darurat bencana.
“Indonesia terletak di Cincin Api Pasifik dan sangat rentan terhadap berbagai bahaya alam, termasuk gempa, tsunami, letusan gunung berapi, tanah longsor, banjir, kekeringan, serta Covid-19,” kata Wakil Presiden ADB Ahmed M. Saeed, dalam siaran pers.
Nah, unit pengelola PFB ini dilengkapi kemampuan mentransfer risiko bencana ke pasar keuangan melalui asuransi. Unit ini juga memiliki mandat untuk membayarkan premi asuransi bagi aset negara dan juga aset pemerintah daerah jika diperlukan.
Asuransikan Gedung Kantor
Kedua, asuransi BMN lewat payung hukum PMK Nomor 97 tahun 2019 tentang Pengasuransian BMN. Pada 2019. Kemenkeu mulai mengasuransikan gedung perkantoran, pendidikan, pelatihan, dan klinik kesehatan sebagai pilot project asuransi BMN.
Saat itu ada 1.360 gedung kantor, pendidikan, pelatihan, dan klinik kesehatan diasuransikan dengan nilai total Rp10,8 triliun. Sebanyak 50 perusahaan asuransi umum dan 6 reasuransi tergabung dalam konsorsoum, dengan nilai premi Rp21,3 miliar.
Pada 2020, 10 kementerian/lembaga (K/L) menyusul mengasuransikan aset mereka, lalu di 2021 semua K/L sudah memiliki perlindungan asuransi. Cakupannya pun meluas termasuk bagi infrastruktur jalan, jembatan, bendungan, dan lainnya.
“Manfaatnya pun sudah dirasakan ketika Kemenkeu menerima pembayaran klaim atas kerusakan aset akibat banjir Jakarta di awal 2020,” tulis BKF.
Namun apakah asuransi serupa juga sudah melindungi bangunan milik warga Indonesia? Jawabannya: belum.
Tarif Asuransi Bencana
Bagi pelaku usaha swasta, bencana alam berimplikasi pada klaim yang melonjak, dan bisa melempar industri asuransi nasional ke dalam kondisi tegang atau hardening market, yang berlanjut hingga 2025.
Hardening market ialah situasi ketika premi asuransi naik, sementara kapasitas risiko menjadi turun akibat bencana besar yang memicu kerugian dan pembayaran klaim yang sangat signifikan.
Tak heran, Asosiasi Asuransi Umum Indonesia (AAUI) mengusulkan penaikan tarif premi asuransi gempa sebesar 5–10% mulai tahun 2025. Usulan tersebut tengah ditelaah Otoritas Jasa Keuangan (OJK).
“Kalau sekali ke-hit kan bisa habis semua itu,” kata Ketua Umum AAUI Budi Herawan, dikutip Bisnis, dalam acara Indonesia Rendezvous 2024, Nusa Dua, Bali, Kamis (10/10/2024).
Kornelius Simanjuntak, Ketua Umum AAUI periode 2011-2014 yang kini menjadi anggota Supervisory Board AAUI sekaligus Dosen Fakultas Hukum Universitas Indonesia (UI), mengamini bahwa Indonesia sangat memerlukan asuransi bencana.
Pasalnya, Indonesia berada di antara tiga lempeng tektonik yaitu Indo-Australia, Eurasia, dan Pasifik di jalur cincin api (Ring of Fire) Asia Pasifik, di mana 127 gunung berapi aktif berjajar terbanyak di dunia, membentang melewati 13.466 pulau.
Disertasi Asuransi Bencana
Oleh karena itu, Kornelius meneliti skema asuransi bencana alam terbaik bagi Indonesia dan menuangkannya dalam disertasi. Hasilnya, perlu skema asuransi bersifat tolong-menolong yang menjamin setiap rumah tinggal dari risiko bencana alam.
“Reasuransi, dapat memberikan dukungan terhadap skema asuransi bencana alam di Indonesia dengan jaminan reasuransi dari pasar reasuransi tradisional,” kata kata Kornelius, dalam keterangan resmi UI.
Selain itu, lanjut dia, catastrophic bond dapat memberikan jaminan reasuransi inovatif yang lebih besar melalui investor korporasi di pasar modal global.
Hanya saja, skema tersebut bisa dijalankan jika hukum perasuransian dan penanggulangan bencana sudah direvisi. Tanpa itu, Indonesia belum punya apa-apa.
Sampai sekarang, belum ada kemajuan signifikan untuk menuju ke sana. (mts)