Megakorupsi Era Jokowi (2); UU Perampasan Aset Harus Segera Diteken
Prabowo jangan cuma omon-omon soal "pengembalian" aset koruptor, mengingat korupsi belum terkendali.

Jakarta, TheStanceID – Di tengah megaskandal korupsi era Presiden Joko Widodo (Jokowi), Presiden Prabowo Subianto menilai koruptor bisa dimaafkan asalkan hasil korupsi dikembalikan.
“Hei para koruptor, atau yang pernah merasa mencuri dari rakyat, kalau kau kembalikan yang kau curi, ya mungkin kita maafkan, tapi kembalikan dong,” ujar Prabowo saat memberikan sambutan di Universitas Al-Azhar Kairo, Mesir, Kamis (19/12/2024).
Baca juga: Megakorupsi Era Jokowi (1); Bukti Pelemahan Pemberantasan Korupsi
Ungkapan ini pun viral, dan banyak ditafsirkan sebagai upaya membiarkan koruptor tak terjerat hukum. Padahal, pernyataan Prabowo pada titik tertentu justru selaras dengan draf RUU Perampasan Aset Tindak Pidana (PATP) dan semestinya menjadi momentum percepatan pengesaham RUU tersebut.
Dikutip dari laman resmi Indonesia Corruption Watch (ICW), naskah RUU tersebut sebenarnya disusun pada 2008, tapi tidak kunjung masuk prolegnas. Padahal, Presiden Joko Widodo (Jokowi) sempat mendesak RUU PATP agar segera dibahas.
“Menurut saya, undang-undang perampasan aset tindak pidana ini penting segera diselesaikan, karena ini adalah sebuah mekanisme untuk pengembalian kerugian negara dan bisa memberikan efek jera,” ujar Presiden pada Puncak Peringatan Hari Antikorupsi Sedunia (Hakordia) Tahun 2023, di Jakarta, Selasa (12/12/2023).
Saat itu, Ketua DPR RI Puan Maharani justru meminta awak media untuk bertanya ke Presiden Jokowi apakah hadirnya aturan tersebut akan menimbulkan efek konstruktif atau sebaliknya.
“Apakah dipercepat akan menjadi lebih baik? Itu tolong tanyakan itu,” ujar Puan, retoris, menambahkan seluruh elemen masyarakat perlu dilibatkan dalam pembahasannya.
Publik Pun Lupa
Hingga 14 tahun lamanya, Badan Legislatif DPR RI tidak kunjung memasukkan wacana regulasi ini ke Prolegnas Prioritas 2025. Bahkan, kemungkinan keberadaan RUU ini sudah terhapus dari ingatan publik.
Adalah Lembaga Kajian dan Pengembangan Sumber Daya Manusia Pengurus Besar Nahdlatul Ulama (Lakpesdam PBNU) yang mengingatkan kembali soal ini, mendesak pemerintah dan DPR mengesahkan RUU PATP.
“Lakpesdam PBNU meminta kepada pemerintah dan parlemen untuk segera membahas dan mengesahkan RUU Perampasan Aset,” kata Pengurus Lakpesdam PBNU Maftuchan.
Dari 176 RUU yang masuk dalam Prolegnas jangka menengah 2025-2029, dan 41 RUU prioritas Prolegnas 2025, RUU PATP hanya masuk dalam Prolegnas jangka menengah sehingga sudah dipastikan tidak akan dibahas atau disahkan tahun ini.
Digagas PPATK
Penggagas RUU PATP adalah Pusat Pelaporan dan Analisis Transaksi Keuangan (PPATK), guna memulihkan aset hasil tindak pidana, sebagai respons atas sulitnya negara menyita dan merampas aset pelaku tindak pidana korupsi.
Di dunia, wacana perampasan aset tanpa putusan pidana atau non-conviction based (NCB) asset forfeiture berkembang pada awal tahun 2000-an, seiring meningkatnya upaya pemberantasan korupsi, pencucian uang, dan kejahatan ekonomi lainnya.
Ide ini menguat setelah ditemukan berbagai kendala dalam praktik penyitaan dan perampasan aset, terutama ketika tersangka atau terdakwa melarikan diri, meninggal dunia, atau tidak diketahui keberadaannya.
Pada tahun 2008, PPATK mulai mengusulkan mekanisme perampasan aset dengan pendekatan NCB, mengacu pada praktik di beberapa negara yang telah menerapkan kebijakan serupa seperti Amerika Serikat, Swiss, Kolombia, dan Filipina.
Negara-negara tersebut menerapkan mekanisme NCB dalam memberantas kejahatan korupsi dan pencucian uang. Harapannya, aset pelaku kejahatan tindak pidana dapat dikembalikan ke negara meskipun tidak ada putusan pidana terkait itu.
Tantangan Utama
Beberapa tantangan utama RUU PATP adalah risiko pelanggaran hak asasi manusia dan pelanggaran hak kepemilikan. Demikian juga risiko penyalahgunaan kewenangan oleh aparat penegak hukum.
Kepala PPATK Ivan Yustiavandana mengungkapkan perlunya kelengkapan maksimal dalam penerapan RUU PATP demi meningkatkan efektivitas sistem dan mekanisme pelaksanaannya.
“Seringkali, proses penyitaan dan perampasan aset melalui prosedur pidana menimbulkan persoalan, bahkan tidak dapat dilanjutkan prosesnya, di antaranya manakala tersangka/terdakwanya meninggal dunia, melarikan diri, dan sakit permanen atau tidak diketahui keberadaannya,” ujar Ivan kepada TheStanceID.
Oleh karena itu, tegasnya, perlu mekanisme baru di mana penyitaan atau perampasan aset hasil tindak pidana dan/atau instrumen yang digunakan dalam tindak pidana tersebut disita atau dirampas tanpa dikaitkan dengan vonis pengadilan.
“Pengaturan tuntutan atau gugatan terhadap aset, memungkinkan dilakukannya pemulihan atau pengembalian aset hasil tindak pidana tanpa Putusan pengadilan dalam perkara pidana atau non conviction based (NCB) asset forfeiture,” sambung Ivan.
Dengan mekanisme ini, terbuka kesempatan luas untuk merampas segala aset yang diduga merupakan hasil pidana (proceed of crimes). Termasuk aset-aset lain yang patut diduga akan atau telah digunakan sebagai sarana (instrumentalities) tindak pidana.
Bahkan sekalipun, aset hasil tindak pidana tersebut, baik secara langsung atau tidak langsung, telah dikonversikan menjadi harta kekayaan lain.
Detil RUU PTAP
Secara resmi, perampasan aset sebagaimana didefinisikan dalam Pasal 1 ayat (3) dalam RUU tentang Perampasan Aset Tindak Pidana bisa dipahami sebagai:
“Upaya paksa yang dilakukan oleh Negara untuk mengambil alih penguasaan dan/atau kepemilikan aset tindak pidana berdasarkan putusan pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap tanpa didasarkan pada penghukuman terhadap pelakunya.”
Aset tindak pidana yang dapat dirampas diatur di Pasal 5 ayat (1) RUU ini, meliputi aset hasil tindak pidana baik langsung atau tidak langsung, hingga aset sah pelaku tindak pidana sebagai pengganti aset yang dinyatakan ‘dirampas negara.’
Secara teknis, sesuai dengan Pasal 6 di RUU yang sama, aset tindak pidana yang dapat dirampas adalah yang memiliki nilai Rp100 juta ke atas, yang terkait dengan tindak pidana yang diancam dengan pidana penjara 4 (empat) tahun atau lebih.
Adapun diatur dalam Pasal 7 ayat (1), perampasan aset dilakukan ketika tersangka atau terdakwa meninggal dunia, melarikan diri, sakit permanen, atau tidak diketahui keberadaannya atau diputus lepas dari segala tuntutan hukum. RUU PA dianggap sebagai terobosan untuk memperkuat sistem hukum Indonesia dalam memberantas kejahatan ekonomi.
Dengan pemberlakuan regulasi ini, PPATK berharap tercipta kepastian hukum dalam hal pemulihan aset negara, dan mempersempit ruang bagi pelaku kejahatan untuk menyembunyikan aset hasil tindak pidana mereka.
Oleh karena itu, Presiden Prabowo semestinya tidak cuma omon-omon soal "pengembalian" aset koruptor, dan berbenah dari rekor kerugian negara ribuan triliun dari megakorupsi era Presiden Jokowi. (par)
Untuk menikmati berita cepat dari seluruh dunia, ikuti kanal TheStanceID di Whatsapp dan Telegram.