Megakorupsi Era Jokowi (1); Bukti Pelemahan Pemberantasan Korupsi

Tiga kasus terparah kerugian korupsi di sejarah NKRI terjadi di era pemerintahan Presiden Joko Widodo.

By
in Now You Know on
Megakorupsi Era Jokowi (1); Bukti Pelemahan Pemberantasan Korupsi
Ilustrasi korupsi yang sudah merajalela. (Sumber: leonardo.ai)

Jakarta, TheStanceID – Dugaan korupsi di PT Pertamina Patra Niaga memantik amarah dan kekecewaan mendalam rakyat. Nilai kerugian yang terus menggunung mengindikasikan minimnya efek jera dalam sistem hukum kita.

Pada 24 Februari 2025, Kejaksaan Agung (Kejagung) mengungkap dugaan korupsi dalam tata kelola minyak mentah dan produk kilang PT Pertamina, Subholding serta Kontraktor Kontrak Kerja Sama (KKKS).

Sebanyak tujuh orang ditetapkan sebagai tersangka, dengan nilai kerugian negara ditaksir mencapai satu kuadriliun (Rp1.000 triliun) berdasarkan berjalannya kasus selama periode 2018-2023.

Baca Juga: LBH Bergerak, Ini yang Bisa Dilakukan Para Korban Pertamax Oplosan

Hal ini terus menjadi rekor terbaru nilai kerugian kasus korupsi dalam sejarah republik Indonesia, di mana tiga kasus terparah kerugian korupsi terjadi baru-baru ini di era pemerintahan Presiden Joko Widodo (Jokowi).

Sebelumnya, Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) menahan tiga tersangka kerja-sama usaha dan akuisisi PT Jembatan Nusantara oleh PT ASDP Indonesia Ferry (Persero) periode 2019-2020 yang ditaksir merugikan negara hingga Rp893,1 miliar.

Agak mundur ke belakang, Indonesia juga digemparkan dengan korupsi PT Timah Tbk terkait pengelolaan tata niaga komoditas timah di Wilayah Izin Usaha Pertambangan (IUP). Dalam periode 2015-2022, kasus ini merugikan negara hingga Rp300 triliun.

Realita ini mengonfirmasi hasil polling Organized Crime and Corruption Reporting Project (OCCRP) yang memasukkan nama Jokowi sebagai finalis 'pemimpin dunia terkorup' menyusul kuatnya persepsi mengenai pemburukan pemberantasan korupsi di era kekuasaannya.

"Ada persepsi yang kuat di antara warga negara tentang korupsi, dan ini seharusnya menjadi peringatan bagi mereka yang dinominasikan bahwa masyarakat sedang memperhatikan, dan mereka peduli. Kami juga akan terus memperhatikan,” tutur penerbit OCCRP, Drew Sullivan, dalam keterangannya, Jumat (3/1/2025).

 

Tren Berbahaya

Dikutip dari laman resmi Transparency International perwakilan Indonesia, Ketua Transparency International François Valérian mengatakan bahwa korupsi adalah ancaman global yang merusak pembangunan sebuah negara.

“Korupsi adalah penyebab utama menurunnya demokrasi, ketidakstabilan, dan pelanggaran hak asasi manusia. Komunitas internasional dan setiap negara harus menjadikan pemberantasan korupsi sebagai prioritas utama dan jangka panjang,” ujarnya, Selasa (11/2/2025).

Sekretaris Jenderal Transparency International Indonesia J Danang Widoyoko menambahkan bahwa demokratisasi sesungguhnya adalah cara untuk mencegah penyalahgunaan kekuasaan, khususnya untuk tindak pidana korupsi.

“Gerakan memberantas korupsi adalah gerakan meminta pertanggungjawaban dari para pemangku kuasa,” tegasnya.

Saat pertama kali Corruption Perception Index (CPI) atau Indeks Persepsi Korupsi (IPK) diluncurkan pada 1995, Indonesia mendapatkan skor 19 dengan berada di peringkat buncit, yakni peringkat 41 dari 41 negara yang disurvei.

Lalu pada 2013, IPK Indonesia membaik dengan skor 32 dan naik menjadi 34 pada 2014 di penghujung pemerintahan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono (SBY).

 

Titik Balik Era Jokowi

Ketika Presiden Jokowi berkuasa, skor IPK Indonesia terus membaik hingga menyentuh rekor tertingginya pada angka 40 di tahun 2019.

Namun, semuanya berbalik drastis setelah Jokowi berkuasa di periode kedua, di mana skor IPK Indonesia terus menurun dan kembali ke angka 34 pada 2023. Indonesia ada di peringkat 115, dari 180 negara yang disurvei.

Memasuki pemerintahan Presiden Prabowo di penghujung tahun 2024, skor Indonesia membaik ke angka 37 dan berada di peringkat 99 dari 180 negara yang disurvei.

Menurut Transparancy International, penurunan skor Indonesia dipicu beberapa hal, terutama maraknya penggunaan sumber daya publik untuk kepentingan pribadi.

Korupsi di Indonesia juga sistematis, karena melibatkan tiga rumpun kekuasaan (eksekutif, legislatif, dan yudikatif) dan meluas hingga meliputi dunia bisnis seperti ekspor, impor dan perolehan kontrak publik.

 

Janji Prabowo

Pasca penangkapan tersangka korupsi Pertamina, Presiden Prabowo Subianto memberikan pernyataan publik bahwa dirinya akan tegas memberantas korupsi di Tanah Air.

“Lagi diurus itu semua, ya. Lagi diurus semua. Oke? Kami akan bersihkan, kami akan tegakkan! Kami akan membela kepentingan rakyat,” kata Prabowo, pada Rabu (26/2/2025).

Dalam catatan Indonesia Corruption Watch (ICW), dalam satu dekade (2013-2022) Indonesia mengalami kerugian akibat korupsi sebesar Rp238,14 triliun, kemudian di tahun 2023 sebesar Rp56 triliun.

Baca Juga: Megakorupsi Era Jokowi (2); UU Perampasan Aset Harus Segera Diteken

Adapun sepanjang 2024, Kejaksaan Agung (Kejagung) telah mencatat kasus korupsi sebesar Rp310 triliun belum termasuk US$7,8 juta dan 58,135 kilogram emas.

Belum lagi ditambah kasus di PT Pertamina Patra Niaga, di mana Kejagung menyebut bahwa nilai kerugiannya ditaksir bisa mencapai ribuan triliun, mengingat nilai kerugian resmi sebesar Rp193,7 triliun hanya yang terungkap pada 2023 saja.

Padahal, kasus tersebut sudah berjalan selama lima tahun, yang artinya angka kerugian dari periode 2018-2022 belum terungkap dan terhitung.

 

Senjata Makan Tuan

Pakar Kebijakan Publik Universitas Indonesia, Roy Valiant Salomo menilai memang sudah waktunya korupsi di Indonesia ditangani secara serius dan ketat. Sebab, efeknya seperti senjata makan tuan.

“Bukan saja masyarakat yang marah dan tidak percaya kepada Pertamina dan pemerintah, namun banyak juga pihak lain di luar negara kita yang kecewa, dan tidak percaya dengan Pertamina dan pemerintah,” ujarnya kepada TheStanceID, Jumat (28/2/2025).

Para investor yang sudah berencana berinvestasi di Indonesia, lanjut dia, akan mempertimbangkan ulang rencana tersebut demi melihat kasus-kasus korupsi yang terus terjadi dan menurunkan kredibilitas pemerintah.

“Tidak percaya dengan kredibilitas pemerintah yang mendatangkan ketidakpastian hukum. Korupsi merusak semua sendi bernegara. Jadi masyarakat harus bersikap keras, misalnya para koruptor, terutama yang kelas menengah dan berat harus dihukum seumur hidup,” tuturnya.

Roy menegaskan, UU perampasan aset harus segera dibahas dan ditetapkan. Selain itu kurikulum anti korupsi harus masuk dari SD. Termasuk kata dia, sistem pengawasan yang harus diperbaiki.

“Dan harus ada kampanye anti korupsi yang masif dan secara terus menerus. Korupsi sudah parah banget di Indonesia,” tegasnya. (par)

Untuk menikmati berita cepat dari seluruh dunia, ikuti kanal TheStanceID di Whatsapp dan Telegram.

\