Hutan Lindungnya Hilang, Dua Area Puncak Alami Banjir Longsor Terparah
Rencana Tata Ruang dan Wilayah Kabupaten Bogor 2016-2036 justru mengurangi luas hutan lindung.

Jakarta, TheStanceID – Banjir bandang hingga longsor terjadi di kawasan Puncak, Bogor, Jawa Barat, pada Minggu (02/03/2025) malam. Jakarta kena getahnya, tapi kebijakan tetap saja tidak pro-kelestarian ekologi.
BPBD Kabupaten Bogor, Jawa Barat, mencatat sebanyak 204 kepala keluarga (KK) dan 423 jiwa di Kampung Pensiunan, Desa Tugu Selatan, Cisarua, terdampak bencana banjir bandang. Selain itu, ratusan rumah warga jebol dan 6 jembatan rusak berat.
Banjir bandang di Cisarua, Kabupaten Bogor juga mengakibatkan seorang warga Desa Citeko bernama Asep Mulyana (59), hanyut. Jasad Asep ditemukan dalam keadaan meninggal dunia pada Senin sore, sekitar 7-8 km dari titik hilang.
Total sebanyak 16 kecamatan yang terdiri atas 28 desa di Kabupaten Bogor terdampak bencana dalam sehari di antaranya di Kecamatan Cisarua, Parungpanjang, Bojonggede, Cigudeg, Tenjo, Rumpin, dan Dramaga.
Hujan deras dengan intensitas tinggi menyebabkan Sungai Ciliwung meluap ke pemukiman warga sekitarnya sehingga mengirim ribuan kubik air bah ke pemukiman warga.
Di sisi lain, pengaturan permukiman dan tata ruang yang tidak memperhatikan aspek ekologis berujung pada pembukaan vegetasi di tanah-tanah yang semula berfungsi menyerapkan air.
BPBD Kabupaten Bogor mencatat tanah longsor menerpa Kecamatan Cijeruk, Sukaraja, Megamendung, Sukamakmur, Ciawi, Sukajaya, Leuwisadeng, dan Babakan Madang.
PTPN Disorot
Gubernur Jawa Barat Dedi Mulyadi menilai banjir bandang dan tanah longsor yang melanda kawasan Puncak Bogor disebabkan oleh alih fungsi lahan oleh PT Perkebunan Nusantara (PTPN).
PTPN, disebut Dedi, kerap mengubah lahan perkebunan menjadi tempat rekreasi. "Itu kan terjadi begini, PTPN mengubah peruntukan lahan menjadi dari area perkebunan menjadi area rekreasi," ujar Dedi.
"Di area rekreasi itulah dibuat bangunan-bangunan seperti yang terjadi di Ciater, seperti yang terjadi di Ciwidey, terjadi di Puncak," tambahnya.
Dedi mengungkapkan keprihatinannya terhadap maraknya alih fungsi lahan di kawasan tersebut. Menurutnya, kawasan perkebunan seharusnya tidak dialihfungsikan untuk tujuan ekonomi tanpa memikirkan dampak lingkungan.
"Sudah lebih dari 1.000 hektare perkebunan teh yang sudah dialihfungsikan. Jangan hanya mementingkan ekonomi saja, tapi pikirkan juga dampaknya terhadap lingkungan dan masyarakat," ujarnya.
Saking banyaknya alih fungsi lahan, Dedi menyindir sebaiknya PTPN berubah nama jadi PT Pariwisata.
"Ini kan saya juga aneh, namanya juga PT Perkebunan. Tapi di PT Perkebunan merealokasi tanah dari area [perkebunan] jadi area pembangunan. Ya, menurut saya PTPN-nya nanti harus diganti jadi PT Pariwisata," katanya.
PTPN Membantah
Menanggapi tudingan Gubernur Jawa Barat tersebut, Kepala Bagian Sekretariat Perusahaan PTPN I Regional 2 Dinnar menilai optimalisasi lahan PTPN I selama ini tidak mengubah fungsi utama lahan dan sudah melalui proses resmi di Pemerintah Daerah.
Di sisi lain, dia mengakui terdapat fenomena alih fungsi lahan ilegal di beberapa wilayah Regional 2, termasuk okupansi oleh oknum-oknum tertentu dengan membuat bangunan dan villa liar serta mengubah fungsi lahan menjadi perkebunan sayuran.
“Aktivitas ilegal yang terjadi di PTPN I Regional 2 ini dilakukan tanpa izin dan tanpa mempertimbangkan dampak lingkungan maupun sosial," jelasnya.
Hingga kini, lanjutnya, PTPN I Regional 2 bersama Pemerintah Daerah, terus berupaya mengatasi tantangan ini melalui koordinasi dan penegakan hukum, sehingga perlu melibatkan banyak pihak.
Selain itu, kerja sama pemanfaatan lahan juga telah melalui prosedur, tidak dilakukan secara mandiri oleh PTPN, melainkan melalui koordinasi dan persetujuan Pemerintah Daerah serta melibatkan stakeholders terkait.
Dinnar mengeklaim beberapa upaya juga telah dilakukan PTPN untuk menjaga keseimbangan ekosistem di kawasan Puncak.
Ia mencontohkan penanaman kembali vegetasi di area-area tertentu seperti yang seringkali dilakukan di kawasan Agrowisata Gunung Mas, pengelolaan daerah resapan air guna memastikan air hujan dapat terserap dengan baik.
Termasuk, berkoordinasi dengan pemerintah daerah serta pihak terkait untuk memastikan kepatuhan terhadap peraturan lingkungan.
Area Resapan Air Berkurang
Pengamat Lingkungan IPB University Ernan Rustiadi menyebut ada dua faktor penyebab banjir bandang di kawasan Puncak Bogor. Pertama, curah hujan yang tinggi dan kedua berkurangnya area resapan air akibat maraknya alih fungsi lahan hijau.
"Dengan begitu kemampuan tanah untuk meresap air juga semakin menurun, yang akhirnya debit air di sungai melonjak sebagaimana terlihat dari debit air di katulampa saat ini sudah siaga 1," jelas Ernan.
Khusus di Kampung Pensiunan tugu Selatan Puncak Bogor, Ernan memperkirakan banjir terjadi akibat penyempitan badan sungai lantaran adanya pembangunan pemukiman warga.
"Padahal kawasan Kampung Pensiunan merupakan titik temu dari dua anak sungai Naringgul dan anak sungai Cilamatan, keduanya anak-anak sungainya Ciliwung Hulu," jelas Ernan dikutip dari Radar Bogor, senin (4/3/2025).
Menurutnya, ada beberapa solusi yang bisa dilakukan agar banjir bandang tidak lagi terjadi. Pertama, para warga yang pemukimannya tertimpa banjir mesti mendapat pengetahuan mitigasi bencana lebih besar.
Apalagi, menurut perkiraan BMKG, hujan deras akan terus terjadi sepanjang bulan Maret.
Kedua, Pemkab Bogor harus sudah mulai menanam pohon yang bisa menyerap air lebih banyak, seperti pohon bambu. Ketiga, Pemda membuat sumur resapan agar air yang turun di hulu bisa lebih lambat.
Ernan berpesan kepada seluruh masyarakat yang rumahnya berada di kawasan sungai untuk selalu waspada. Sebab bencana banjir dan longsor dapat terjadi kapanpun.
Aturan Menata Puncak
Upaya melindungi area hutan lindung di kawasan Puncak sebenarnya sudah terjadi sejak era presiden Soekarno.
Dua tahun sebelum turun tahta, presiden pertama Republik Indonesia itu sempat cemas melihat Puncak dan sekitarnya karena merasa pembangunan di kawasan itu semakin massif.
Maklum, sejak era kolonial Belanda, Puncak sudah masyhur sebagai lokasi pelesiran.
Soekarno pun menerbitkan Peraturan Presiden Nomor 13 Tahun 1963 tentang Penertiban Pembangunan Baru di Sepanjang Jalan antara Jakarta-Bogor-Puncak-Cianjur, di Luar Batas-batas Daerah Khusus Ibu Kota Jakarta Raya, Daerah Swatantra Tingkat II Bogor, dan Daerah Swatantra Tingkat II Cianjur.
Melalui Pepres tersebut, izin untuk mendirikan bangunan di sepanjang Jalan Raya Jakarta-Bogor-Puncak-Cianjur harus diproses di pemerintah pusat melalui Departemen Pekerjaan Umum dan Tenaga (kini Kementerian Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat).
Rezim berganti, mulai dari Presiden Soeharto hingga Susilo Bambang Yudhoyono mengeluarkan aneka Peraturan Presiden yang mengatur tentang Tata Ruang Kawasan Puncak, agar Puncak area dan daerah sekitarnya tak sembarangan dirambah.
Presiden Susilo Bambang Yudhoyono meneken Perpres 54 Tahun 2008 tentang Penataan Ruang Kawasan Jakarta, Bogor, Depok, Tangerang, Bekasi, Puncak, Cianjur.
Di situ Puncak ditetapkan sebagai kawasan strategis nasional bersama beberapa wilayah lain seperti DKI Jakarta, Kota Bogor, Kota Bekasi, Kota Tangerang, Kota Depok, Kabupaten Bogor, Kabupaten Bekasi, Kabupaten Tangerang, Kabupaten Cianjur.
Dalam Perpres itu, Presiden SBY menetapkan tiga kecamatan di wilayah Puncak, yakni Megamendung, Ciawi, dan Cisarua menjadi kawasan lindung yakni area yang berfungsi untuk melindungi kelestarian lingkungan hidup.
Masalahnya, Perpres 54 Tahun 2008 yang sesungguhnya memiliki status hukum lebih tinggi ternyata tak menjadi acuan Pemerintah Daerah dalam menata kawasan Puncak.
Pemda Bikin Aturan Sendiri
Rencana Tata Ruang dan Wilayah (RTRW) Kabupaten Bogor 2016-2036, justru mengurangi luas hutan lindung menjadi hanya 1% di tiap daerah yang memiliki hutan lindung. Artinya, beban kawasan Puncak akan semakin berat.
Berdasarkan RTRW Kabupaten Bogor 2016-2036 itu, 200 hektare hutan lindung akan menjadi hutan konversi (yang mencakup fungsi wisata alam), 300 hektare lainnya akan menjadi hutan produksi, dan 700 hektare lagi bakal menjadi area perkebunan.
Luas hutan lindung yang mencapai 2.100 hektare pada RTRW 2005-2025 pun menyusut menjadi hanya 789 hektare pada RTRW 2016-2036.
Di sisi lain, luas perkebunan justru meningkat dari 520 hektare berdasarkan RTRW 2005-2025 menjadi 1.047 hektare pada RTRW 2016-2036.
Selain itu, dua daerah yang mengalami penurunan luas hutan lindung antara lain Desa Tugu Utara dan Tugu Selatan di Kecamatan Cisarua.
Penelitian Pusat Pengkajian, Perencanaan, dan Pengembangan Wilayah Lembaga Pengembangan dan Pemberdayaan Masyarakat Institut Pertanian Bogor (P4W LPPM IPB) sejak 1990 sampai 2012 menujunkkan penambahan luas permukiman sebesar 39% di Desa Tugu Utara, dan 70% di Desa Tugu Selatan.
Penambahan area permukiman dan perkebunan itu jelas meningkatkan potensi bencana di Puncak, sebab kawasan Puncak tak sanggup menopangnya. Terbukti, dua daerah tersebut pada Minggu (2/3/2025) malam lalu menjadi lokasi utama banjir bandang dan tanah longsor.
Hutan yang sudah terlalu kecil sebagai penyangga ditambah daya dukungnya yang rendah membuat lingkungan menjadi rentan. Akhirnya, ketika cuaca ekstrem disertai curah hujan tinggi mengakibatkan terjadinya bencana banjir dan longsor.
Pertanyaannya kemudian; beranikah Kang Dedi menata itu semua? (est)
Untuk menikmati berita cepat dari seluruh dunia, ikuti kanal TheStanceID di Whatsapp dan Telegram.