Jakarta, TheStanceID – Selepas wasit asal Rumania, Istvan Kovacs, meniup peluit panjang pada pertandingan final Liga Champions 2025 antara Paris Saint-Germain (PSG) vs Inter Milan (1/6/2025), seketika itu pula pelatih PSG Luis Enrique berlari dengan penuh kegembiraan di pinggir lapangan merayakan gelar juara bersama para pemain dan staf klub di lapangan.
Ini adalah trofi liga champions kedua bagi Enrique sebagai seorang pelatih, setelah pertama kali bersama Barcelona di tahun 2015.
Malam itu, PSG membantai Inter dengan skor mencolok 5-0, sekaligus memastikan meraih gelar juara pertama mereka di kompetisi Eropa. Achraf Hakimi mencetak gol pertama ke gawang mantan klubnya. Berikutnya, Desire Doue yang sebelumnya menciptakan assist untuk gol Hakimi, mencetak dua gol berikutnya. Dua gol tambahan dibuat Khvicha Kvaratskhelia dan Senny Mayulu.
Momen Xana di Kaus dan Tifo Raksasa
Di tengah perayaan juara, sorot kamera langsung tertuju pada pelatih Luis Enrique yang tiba-tiba mengganti pakaiannya dengan sebuah kaus berwarna hitam pemberian penonton.
Pelatih asal Spanyol itu mengenakan kaus bertuliskan ”Kami adalah juara”. Ada gambar kartun yang mereferensikan dia dan putri bungsunya, Xana, tengah menancapkan bendera klub di lapangan, bersama-sama.
Tak lama berselang, suporter PSG mengibarkan penghormatan mereka sendiri. Sebuah tifo atau spanduk raksasa terpampang di tribun Stadion Muenchen Football Arena, Minggu (1/6/2025) dini hari WIB itu. Spanduk tersebut menampilkan gambar seorang ayah sedang menancapkan bendera bersama anak perempuan berjersey PSG. Sama persis dengan gambar di kaus yang dikenakan Enrique.
Ternyata, baik spanduk Tifo dan kaus itu terinspirasi dari foto moment sang pelatih dengan anaknya setelah final Liga Champions 2014-2015. Xana, yang saat itu berusia lima tahun, mengibarkan bendera Barcelona, lalu menyaksikan sang ayah menancapkan bendera itu di lapangan rumput di Berlin setelah klub itu sukses menjuarai Liga Champions usai mengalahkan Juventus, 3-1.
Sayang, momen itu tidak bisa diulangi lagi. Xana, gadis kecil penuh energi itu sudah berpulang pada 29 Agustus 2019 di usia sembilan tahun, usai divonis mengidap osteosarkoma, sejenis kanker tulang yang langka.
“Itu sangat emosional. Indah sekali memikirkan para pendukung ternyata memikirkan saya dan keluarga,” ujar Enrique penuh haru ditemani istrinya Elena Cullell, anak lelakinya Pacho Martinez, dan putrinya Sira Martinez.
Jauh sebelum laga final PSG dan Inter Milan, Enrique telah mengatakan bahwa momennya bersama Xana satu dekade lalu itu merupakan kenangan yang indah. Pelatih berusia 55 tahun ini mengaku ingin mengulanginya dengan bendera PSG.
”Putri saya tidak akan hadir secara fisik, tetapi dia akan hadir secara spiritual, dan itu sangat penting bagi saya,” kata Enrique saat konferensi pers Ligue 1 atau Liga Perancis melawan RC Lens, Januari lalu.
Ketegaran Luar Biasa
Keberhasilan Luis Enrique membawa PSG menjadi kampiun liga Champions Eropa untuk pertama kali sepanjang sejarah klub bukan diraih dalam sekejap.
Inilah hasil keteguhan hatinya, mentalitas yang selalu ia tunjukkan bahkan pada momen sulit sekalipun. Termasuk ketika menghadapi tragedi kehilangan sang putri.
Enrique yang kala itu menjabat pelatih Timnas Spanyol memilih untuk mundur dari posisinya demi menemani sang putri karena kondisi yang kian memburuk.
Selama lima bulan, Xana dirawat di Rumah Sakit Sant Joan de Deu, rumah sakit anak-anak di Barcelona. Ia menghabiskan hari-hari terakhirnya di rumah, dikelilingi oleh orang-orang yang mencintainya.
"Momen-momen itu sangat berat, tapi juga sangat mengharukan, sangat pribadi," kata Enrique dalam film dokumenter tentang dirinya berjudul No Teneis Ni P*** Idea (You Have No F****** Idea) yang rilis tahun ini, dikutip dari The Athletic.
Kepergian sang putri membawa perubahan besar bagi Enrique. Bukannya jatuh semakin dalam, ia justru berubah menjadi pribadi yang lebih tegar dan teguh hatinya.
Wajahnya selalu bersinar dan bersemangat jika mengenang kepribadian Xana, kebahagiaan yang dibawanya, bukan hanya untuk keluarga, tetapi juga bagi banyak orang di sekitarnya.
Yang mencolok, tidak ada nada marah atau getir dalam suara Enrique. Padahal, kala berstatus sebagai pemain, ia dikenal sebagai sosok yang temperamental.
Baca Juga: Francesco Acerbi, Simbol Remontada Sesungguhnya
Rasa sakit dan kehilangan seorang putri kecil itu bisa saja melahirkan kemarahan. Tetapi tidak kepadanya. Yang ada justru ketenangan, penerimaan, dan kebesaran hati yang luar biasa menyentuh.
"Pengalaman paling negatif dalam hidup justru yang paling banyak mengajarkan kita," katanya.
"(Orang mungkin berkata,) 'Tapi, putrimu… anak perempuanmu… meninggal di usia sembilan tahun…'. Tapi, putriku datang ke dunia ini dan tinggal bersama kami selama sembilan tahun yang luar biasa. Kami punya ribuan kenangan bersamanya."
"Anda bisa bertanya, apakah saya merasa beruntung atau malang? Saya merasa sangat beruntung. Sangat beruntung." ucap Enrique.
Ketika ditanya bagaimana ia menemukan kekuatan untuk terus melangkah setelah kehilangan Xana, ia menjawab, "Saya termotivasi untuk terus maju, menghadapi apa pun yang ditawarkan hidup kepada saya."
Berhasil Menepis Keraguan
Jauh sebelum membangun karier sebagai pelatih, Luis Enrique dikenal sebagai salah satu gelandang terbaik di eranya.
Pria kelahiran Gijon ini pula yang mengawali era "pengkhianatan" terbesar dalam sejarah rivalitas El Clasico.
Setelah mempersembahkan empat gelar untuk Real Madrid, termasuk satu trofi Liga Spanyol 1994-1995, Enrique memilih hengkang ke klub rival, Barcelona. Keteguhan hati dengan keputusan sendiri yang tampak seperti sikap ‘bodo amat’ ini berbuah prestasi.
Baru semusim pindah, amarah fans Madrid pun dibuatnya meradang, saat Enrique mencetak gol kemudian merayakan sambil membentangkan dan mencium logo Barcelona di hadapan ultras Stadion Barnebeu.
Keraguan para pendukung Barcelona saat itu mampu Enrique jawab, dengan penampilan impresif selama delapan tahun dengan delapan trofi. Ia pun sempat menjadi kapten tim dan mencetak beberapa gol pada momen penting, termasuk ke gawang Real Madrid dalam El Clasico.
"Saya tidak peduli dengan apa yang dipikirkan orang. Adalah kebanggaan berseragam El Barca serta cetak gol di Bernabeu (markas Real Madrid)," katanya.
Dia pun akhirnya jadi idola baru dan legenda di hati rakyat Catalan karena totalitasnya di lapangan membela Barcelona hingga menutup karir di klub itu pada tahun 2004.
Filosofi Percaya Pemain Muda
Prinsip keteguhan hati itu jugalah yang ia bawa saat memilih jalan sebagai pelatih.
Mengawali karier kepelatihan dengan menjadi pelatih Barcelona B. Karir awal Enrique sebagai pelatih juga terbilang biasa-biasa saja dan tidak semoncer rekannya, Josep "Pep" Guardiola. Tak ada gelar juara saat ia menangani AS Roma dan Celta Vigo.
Tak heran banyak yang meragukan ketika dia ditunjuk jadi manajer pelatih FC Barcelona di tahun 2014. Apalagi kebijakannya yang sering melakukan rotasi dan memainkan pemain muda banyak ditentang pemain bintang.
Tapi, Enrique berhasil menjawab keraguan itu justru dengan meraih treble winners di tahun 2014-2015 dengan membawa Barca juara La Liga Spanyol, Piala Liga dan Liga Champions. Ia juga sukses meramu trio Messi-Suarez-Neymar (MSN) jadi penyerang paling menakutkan di La Liga dan Liga Champions.
Filosofi sepakbola Enrique yang senang memberikan kesempatan bagi pemain muda pun terus berlanjut saat ia menukangi Tim Nasional Spanyol hingga ditunjuk jadi manajer Paris Saint Germain (PSG) musim 2023/2024.
Saat menukangi Timnas Spanyol, Enrique bahkan berani tidak memanggil bek senior Sergio Ramos atau kiper David De Gea. Dia lebih memilih kiper Unai Simon dari Bilbao atau bek Villareal Pau Tores, serta gelandang 17 tahun Barcelona Pedri.
Begitu pula di PSG, ia lebih memilih membeli Ousmane Dembele, Bradley Barcola, Kolo Muani dan Gonzalo Ramos ketimbang pemain berlabel bintang. Padahal, PSG klub kaya raya dimana pemiliknya tak akan segan mengeluarkan dana untuk membeli pemain paling hebat di dunia.
Lionel Messi, Neymar Junior, atau Kylian Mbappe sudah pernah didatangkan, tapi PSG cuma dapat gelar lokal saja, belum jadi juara Eropa.
Namun, Enrique yang cuma disodori kontrak 2 tahun ini berhasil menjawab keraguan itu lagi-lagi dengan prestasi. Puncaknya, PSG berhasil meraih juara Liga Champions untuk kali pertama.
Dia mampu memadukan pemain baru, pemain muda dengan pemain bintang PSG yang masih ada seperti Achraf Hakimi, Marquinhos, dan kiper Gianluca Donnaruma.
Permainan kolektif, umpan pendek serta kecepatan pemain bikin PSG sukses. Permainan yang menonjolkan individu tidak ada lagi sejak PSG dilatih Enrique.
"Ini adalah permainan tim, sebagus apapun kemampuan individu pemain, jika tidak bermain sebagai tim, tidak akan memenangkan apapun, Enrique dan PSG baru saja memperlihatkan bagaimana permainan sebuah tim itu," kata eks pemain PSG asal Nigeria, Jay Okocha.
Bintang Penuntun Keluarga
Atas semua pencapaian dalam kariernya, Luis Enrique membuktikan bahwa keteguhan hati akan mampu menjawab semua keraguan. Keyakinan yang sama saat ia mengatakan akan selalu ingat mendiang anaknya, Xana, dengan atau tanpa trofi, dengan atau tanpa penghormatan.
”Dia ada di sini, mendukung keluarga saya. (Kami) merasakan kehadirannya, bahkan saat kami kalah. (Ini) semua tentang menyatukan semua yang telah kami lalui dan mengambil sisi positif dari situasi negatif,” kata Enrique selepas laga kontra Inter, dikutip dari The Athletic.
”Itulah mentalitas saya, mentalitas kami sebagai sebuah keluarga. Sungguh fantastis melihatnya, tetapi saya tidak perlu trofi untuk memikirkan putri saya. Ia selalu ada di sini,” ujarnya lagi.
Enam tahun setelah kepergian Xana, Luis Enrique masih membawa putrinya ke mana pun ia pergi. Bukan sekadar sebagai memori, tetapi sebagai kehadiran yang nyata.
"Kau akan menjadi bintang penuntun bagi keluarga kami," tulisnya di media sosial setelah kematian Xana. (est)
Simak info kebijakan publik & geopolitik dunia di kanal Whatsapp dan Telegram TheStanceID.